Sebelumnya, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengatakan bahwa pihaknya akan memilih anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang berkomitmen untuk mengupayakan pemilu elektronik atau e-voting. Teknologi dinilai sebagai suatu keniscayaan yang mampu menjawab permasalahan pemilu di hari pemungutan suara.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyatakan bahwa e-voting adalah obat yang salah bagi masalah kepemiluan. Pemanfaatan teknologi tak diperlukan bagi pemungutan suara secara manual yang dinilai Titi, merupakan cara pemberian suara yang akuntabel dan transparan. Masalah pemilu ada di tahap rekapitulasi, bukan pemungutan suara.
“Suksesnya ojek online jangan dijadikan parameter kalau kita siap untk e-voting. Teknologi komersial berbeda dengan teknologi pemilu. Yang harus dipertanyakan adalah, apakah nature demokrasi dapat diwadahi oleh teknologi?” tukas Titi.
Titi menekankan bahwa diperlukan adanya studi kelayakan e-voting dan persepsi publik terhadap e-voting. Pelaksanaan e-voting di negara lain belum tentu menjadi kebutuhan di Indonesia. E-voting, menurut Titi, adalah keinginan dari pihak tertentu, bukan kebutuhan kepemiluan di Indonesia.
“Kedepankan kebutuhan, bukan keinginan. Yang layak di Meksiko belum tentu layak untuk Indonesia. Kita punya kebutuhan sendiri untuk dijawab. DPR dan KPU mesti adakan kajian strategis mengenai teknologi pemilu sebelum diterapkan,” kata Titi.
Titi juga mengatakan bahwa keinginan Komisi II DPR untuk e-voting mesti dicurigai. “Jangan sampai pengadaan mesin e-voting menjadi lahan basah baru seperti kasus e-KTP (Kartu Tanda Penduduk elektronik).”