Kian bertambahnya orang yang terjangkit Coronavirus disease 2019 (Covid-19) di Indonesia memunculkan wacana pengembangan teknologi pemungutan suara atau e-voting untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 di 270 daerah. Pilkada berkaitan dengan pemenuhan hak politik warga yang semestinya dapat dipenuhi dengan pengembangan teknologi, tanpa membahayakan kesehatan dan keselamatan warga.
Menanggapi wacana tersebut, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman mengatakan bahwa pihaknya belum mengkaji metode pemungutan suara secara elektronik. Adapun teknologi yang sedang dikembangkan sebelum mewabahnya Covid-19 yakni teknologi rekapitulasi elektronik atau e-rekap dan salinan penghitungan suara digital.
Menurut Arief, tahapan persiapan teknologi e-voting memerlukan waktu yang cukup. Ditengah keterbatasan untuk melakukan pergerakan, persiapan e-voting dirasa tak akan berjalan baik. Suatu teknologi baru, menurut Arief, mesti melalui rangkaian uji coba.
“Tahapannya butuh panjang. Saya tidak merasa yakin kalau mundur satu tahun misalnya, saya persiapannya akan baik. Pada prinsipnya bukan tidak mungkin, tapi harus menghitung banyak hal. Anggaran, sumber daya manusia, kesediaan waktu, dan rangkaian uji coba,” kata Arief pada diskusi daring “Covid-19 Mewabah: Presiden Perlu Segera Terbitkan Perppu Penundaan Pilkada” (30/3).
Wacana pengembangan teknologi e-voting juga tak didukung oleh Direktur Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari. Teknologi e-voting rentan penyalahgunaan di kondisi normal. Kerentanan itu dinilai bisa lebih besar saat diterapkan di tengah pandemik dan dengan persiapan yang terburu-buru.
“Sebenarnya, ketika e-voting di kondisi bencana, resiko penyalahgunaannya lebh besar terjadi. E-voting di sini bisa jadi terlalu terburu-buru. Belum lagi soal kemampuan kita menghindari kecurangan terhadap e-voting,” tandas Feri.
Feri tak menyarankan adanya perubahan metode pemilihan di kondisi tidak normal. Terlebih e-voting, Indonesia belum memiliki pengalaman e-voting di skala daerah yang besar.
“Bahkan, kita menyelenggarakan kegaitan demokrasi di tengah situasi bencana juga suatu kekonyolan. Apalagi merubah sistem memilih yang kita tidak punya pengalaman,” ujar Feri.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyampaikan bahwa e-voting diperbolehkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, penerapannya mesti memenuhi tiga prasyarat. Satu, tidak melangar asas pemilu jujur, adil, bebas, dan rahasia. Dua, teknologinya dipersiapkan dengan matang dan telah melalui uji coba yang panjang. Tiga, penerapan teknologi harus dipahami oleh seluruh stakeholder pemilu.
“Jangan tergesa-gesa karena yang namanya teknologi itu rentan. Ada potensi disalahgunakan. Jadi, apakah akan menggunakan e-voting, itu perlu kajian panjang. Kita tidak ingin hal yang mau kita selesaikan dengan teknologi, justru menciptakan masalah baru,” tukasnya.