Pemilu adalah variabel paling mendasar dalam sistem politik demokrasi. Sebuah keniscayaan bagi negara demokrasi untuk menyelenggarakan pemilu secara berkala. Pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat” mensyaratkan keterlibatan penuh masyarakat menjalankan pemerintahan dengan pemilu sebagai pintu masuknya.
Wahlke (1971; dalam Bishin, 2009:40) mengatakan, idealnya pemilu menjadi cara masyarakat mengevaluasi perilaku politisi. Di mana secara konseptual, pemilu dirancang sebagai wujud legitimasi masyarakat atas perilaku mereka. Apabila masyarakat cenderung abai dan apatis, maka legitimasi rezim dan kemampuan masyarakat untuk memerintah dirinya sendiri (to govern themselves) dapat dipertanyakan.
Tetapi, lagi-lagi literasi menjadi masalah. Demokrasi di Indonesia tumbuh sebagai sistem hasil cangkokan negara-negara Barat dan diimplementasi secara top-down. Masyarakat diposisikan sebagai pengikut; harus patuh pada sistem dan hukum, termasuk Pemilu. Sehingga Pemilu ini menjadi sebuah sistem yang taken for granted.
Dampaknya cukup jelas; masyarakat tak merasa menjalankan pemerintahan. Situasi ini dapat dengan gamblang kita lihat dari paradigma masyarakat yang state-centered. Keluhan personal, konflik komunitas, bahkan sampai ke masalah iman, semuanya diadukan ke negara dan diserahkan pada negara seutuhnya untuk diatur.
Padahal, tatanan yang demokratis idealnya meminimalisasi intervensi negara dan menguatkan peran masyarakat sipil. Sebagaimana yang dikatakan Singerman dan Hoodfar (1996), inti politik demokrasi adalah distribusi sumber daya dengan seadil mungkin kepada seluruh elemen masyarakat. Di mana negara harus menyediakan ruang bagi keterlibatan seluruh warga negara dalam pembuatan keputusan (decision-making) (Phillips, 1993:5).
Praktik devolusi kekuasaan semacam itu dapat kita lihat secara struktural lewat konteks desentralisasi, termasuk pembentukan Otonomi Daerah, Otonomi Khusus, Otonomi Desa, dan Otonomi Masyarakat Adat. Negara (pusat) melucuti kekuasaannya untuk dibagi pada sebanyak-banyaknya elemen masyarakat. Keabaian atau apatisme masyarakat dapat dilihat sebagai bentuk resistensi terhadap demokrasi itu sendiri. Masyarakat menolak untuk mengatur dirinya sendiri (self-governing).
Namun, saya rasa untuk kasus Indonesia, kita tak dapat menyimpulkan demikian. Angka partisipasi pemilu masih cukup tinggi untuk menjustifikasi bahwa masyarakat kita masih menginginkan demokrasi. Meskipun demikian, literasi politik demokrasi tetap harus ditingkatkan.
Dalam kaitannya dengan pemilu, upaya edukasi politik jangan lagi menggunakan jargon yang salah kaprah. Contohnya, “5 menit menentukan 5 tahun ke depan”. Jargon ini seakan-akan memaknai demokrasi sebagai proses menitipkan nasib kepada para politisi. Sebaliknya, masyarakat harus diingatkan, memilih dan menjalankan pemerintahan adalah dua hal berbeda.
Partisipasi politik setelah pemilu menjadi begitu penting agar negara mendapatkan penyeimbang kekuasaan. Diamond (1994 dalam Shelley, 2000:226) mengatakan, berkembangnya demokrasi di berbagai negara idealnya diiringi perkembangan masyarakat sipil, termasuk bertumbuhnya LSM atau Organisasi Non-Pemerintah. Pematangan masyarakat sipil membawa pemilu sebagai wajah demokrasi prosedural bergerak ke level yang lebih tinggi, yakni demokrasi substansial.
Rakner (2007:12) mengkompilasi gagasan O’Donnel, Schedler, dan Jepkins dan merumuskan 3 (tiga) indikator demokrasi subtansial. Pertama, akuntabilitas vertikal, di mana publik mendapatkan haknya untuk menerima pertanggungjawaban dan transparansi dari pemerintah. Kedua, akuntabilitas horizontal yang terdapat sistem ketat di antara lembaga-lembaga negara untuk saling melakukan pengawasan dan pertanggungjawaban. Terakhir, akuntabilitas societal, di mana fungsi kontrol dari LSM atau media massa terhadap jalannya pemerintahan berjalan baik–atau kuat.
Akuntabilitas itu menjadi kunci representasi substansial dan menjadi indikator kemampuan masyarakat menjalankan pemerintahan. Kemauan masyarakat menjalankan pemerintahan hendaknya disambut negara dengan membangun sistem yang mengakomodasi masyarakat. Di dalam pembuatan legislasi, misalnya, masyarakat harus disosialisasikan dan dilindungi haknya untuk hadir dan menyampaikan pendapat atau keberatan mereka.
Ketika masyarakat sudah mulai tergerak berpartisipasi, salah satunya di pemilu, pihak penyelenggara harus berusaha keras agar tak membuat masyarakat kecewa dengan membongkar segala kecurangan dan menjatuhkan saksi tegas. Kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi dimulai dari kepercayaan terhadap pemilu.
Di samping itu, politisi yang berkontestasi juga harus diedukasi. Jangan lagi mereka menyesatkan masyarakat dengan mengondisikan seolah-olah setelah pemilu sudah tak ada lagi jalur partisipasi.
Ini juga penyakit yang berbahaya dan kerap dilakukan dalam kampanye. Di dalam kasus Pilkada DKI Jakarta, misalnya. Pendukung Ahok kerap membangun persepsi seolah-olah kalau Ahok tak ada dunia akan runtuh. Jakarta banjir, taman kota hancur, ekonomi krisis, sampah kembali berserak, dan seterusnya. Sehingga pemilu menjadi momen mengerikan.
Padahal, dalam demokrasi, kita tak boleh saling menghilangkan. Maksudnya, apabila politisi itu kalah di pemilu, dia bukan berarti hilang ditelan bumi. Justru, dia masih ada dan dapat berkontribusi menjalankan pemerintahan.
Mouffe (2000:80-107) menjelaskan, demokrasi idealnya merupakan sebuah sistem agonistik. Gagasan demokrasi berbasis agonis ini ditulis dengan memperkenalkan konsep adversary sebagai pengganti enemy dalam pendekatan antagonisme. Adversary yang dimaksud adalah lawan yang harus dianggap sebagai kawan. Apabila enemy adalah pihak lawan yang harus kita musnahkan, maka adversary adalah pihak yang juga menjadi lawan kita, namun harus kita biarkan tetap hidup dalam demokrasi (Mouffe, 2000:101).
Paradigma ini juga kemudian menjadi penting ditegakkan dalam edukasi politik. Terutama terkait Pemilu dan sistem perwakilan. Masyarakat harus dibentengi dari upaya penyesatan para paslon yang berbahaya bagi pematangan demokrasi.
Sesat pikir semacam itu membuat demokrasi kembali mengarah pada bentuk state-centered. Keadaan yang terjadi di Singapura. Rakyat memilih, kemudian “menitipkan nasib” pada negara, bukan bersama negara menjalankan pemerintahan.
Apabila disimpulkan, maka terdapat dua hal yang menjadi penting dalam peningkatan literasi politik masyarakat, terutama yang berkait pemilu. Pertama, pemilu sebagai jalan masuk dan bukan proses menjalankan pemerintahan itu sendiri. Kedua, pemilu tak berarti memilih A dan menghilangkan B, melainkan memilih A untuk otoritas tertentu dan B untuk otoritas lainnya.
Pertanyaan yang sangat mungkin muncul setelah paradigma demokrasi agonistik ini ditanamkan adalah: Lalu, apa gunanya saya memilih? Jawabannya terletak pada posisi otoritas yang kita berikan. Masyarakat sebagai penentu jalannya pemerintahan menentukan sendiri siapa yang dapat apa, tangan siapa yang mengendalikan apa. Pembagian kekuasaan yang dikenal masyarakat dengan istilah negatif, yakni “bagi-bagi kursi” harus dikonstruksi sebaliknya.
Pembagian kekuasaan merupakan elemen fundamental demokrasi. Yang harus dikritik bukan proses “bagi-bagi kursi” itu sendiri, melainkan dasar pembagiannya. Di samping keterlibatan memenangkan paslon, politikus penerima kursi juga harus dipastikan berpemahaman dan berkepiawaian dalam menduduki kursi itu dan menjalankan tugasnya.
Dapat dilihat, pemilu telah menghasilkan banyak konsep sesat pikir. Tampaknya memang secara sengaja dibuat para kontestan dan pihak yang membantu mereka. Sungguh beban berat bagi pengedukasi masyarakat dalam meningkatkan literasi politik.
Semua elemen masyarakat harus bekerja sama menuntaskan agenda edukasi. Ini demi terciptanya sistem demokrasi yang matang, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan keterbukaan. []
CANIA CITTA IRLANIE
Mahasiswi S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia