December 23, 2024

Efek Ekor Jas Pemilu 2019 OLEH DJAYADI HANAN

Pemilu Legislatif 2024 kembali dilaksanakan secara serentak dengan pemilu presiden. Bila pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan serentak atau berdekatan waktunya, terdapat efek ekor jas/EEJ atau (coattail effect). Artinya, perolehan suara parpol antara lain dipengaruhi oleh siapa calon presiden yang diajukan atau didukungnya.

Untuk mempertahankan atau meningkatkan perolehan suara, parpol harus mengajukan capres/cawapres yang bisa mendongkrak elektabilitasnya. Bila ini sulit dilakukan, minimal partai harus mengajukan calon yang tak berdampak negatif (menurunkan perolehan suara).

Karena sistem pemilunya tak berubah, maka penting bagi parpol untuk memahami bagaimanakah EEJ ini bekerja di Pemilu 2019 lalu. Bagaimana hubungan perolehan suara capres dengan perolehan suara partai-partai koalisi yang mendukungnya? Apakah EEJ berdampak sama ke semua anggota koalisi? Bila tidak, partai mana yang memperoleh keuntungan terbanyak? Adakah partai yang dirugikan dan mengapa?

Hasil exit poll oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada hari-H Pemilu 2019 menunjukkan bahwa ada korelasi atau hubungan yang signifikan antara dukungan terhadap pasangan capres/cawapres dengan suara partai-partai pengusung/pendukung.

Secara keseluruhan, sekitar 76 persen pemilih partai-partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) mendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan hanya 24 persen yang mendukung Prabowo Subianto- Sandiaga Uno. Sebaliknya, sekitar 78 persen pemilih partai-partai Koalisi Adil Makmur (KAM) mendukung Prabowo – Sandi dan hanya 22 persen yang mendukung Jokowi – Ma’ruf.

Untuk mempertahankan atau meningkatkan perolehan suara, parpol harus mengajukan capres/cawapres yang bisa mendongkrak elektabilitasnya.

Bila kita lihat sumber dukungan untuk partai, maka kita dapati fakta yang konsisten dengan arah dukungan partai kepada pasangan capres/cawapres. Sekitar 85 persen pemilih Jokowi-Ma’ruf, mendukung partai-partai anggota KIM, dan hanya 15 persen yang mendukung partai-partai KAM. Sebaliknya, sekitar 67 persen pemilih Prabowo-Sandi memberikan dukungannya pada partai-partai KAM dan 33 persen yang mendukung partai-partai KIM.

Manakah yang menjadi faktor penyebab dan akibat dalam hubungan antara perolehan suara pasangan capres dengan dukungan untuk partai-partai koalisi itu? Dalam survei eksperimen untuk melihat pengaruh figur capres terhadap perolehan suara partai yang dilakukan SMRC pada Desember 2017 ditemukan fakta bahwa figur capres memengaruhi suara partai. Pengaruh bisa bersifat positif, bisa juga negatif.

Temuan eksperimen itu menunjukkan dukungan untuk PDI-P lebih tinggi bila responden diberi informasi bahwa PDI-P mencalonkan Jokowi dibanding tanpa informasi pencalonan Jokowi. Demikian juga untuk Golkar, dukungan lebih tinggi bila responden diberi informasi bahwa Golkar mencalonkan Jokowi, dibanding tanpa informasi itu.

Bila responden diberi informasi dengan calon lain, dukungan terhadap partai tersebut tak berpengaruh atau pengaruhnya menjadi negatif. Dengan kata lain, capres yang diusung suatu partai adalah salah satu faktor yang memengaruhi dukungan terhadap partai. Artinya, ada EEJ dalam Pemilu 2019.

Hubungan perolehan suara capres dengan partai-partai pendukungnya tak sama dari satu partai ke partai lain. Di tingkat nasional data exit poll menunjukkan dukungan paling kuat untuk Jokowi-Ma’ruf berasal dari pemilih PDI-P (94 persen), PKB (74 persen), Nasdem (73 persen), Golkar (62 persen), dan PPP (55 persen). Yang menarik, jumlah pemilih PPP (45 persen) dan Golkar (38 persen) cukup banyak yang mendukung Prabowo-Sandi. Ini menunjukkan di dua partai ini, akar rumputnya cukup terbelah, terutama PPP, dalam mendukung capres.

Dukungan paling besar untuk Prabowo-Sandi berasal dari Gerindra (88 persen), PKS (88 persen), PAN (78 persen), dan Demokrat (64 persen). Meski bervariasi, dukungan partai-partai pendukung KAM tampak lebih solid.

Sebaliknya pemilih Jokowi-Ma’ruf paling banyak mendukung PDI-P (33 persen), lalu Golkar (14 persen), PKB (13 persen), dan Nasdem (12 persen). Sedangkan pemilih Prabowo-Sandi paling banyak memilih Gerindra (25 persen), PKS (16 persen), PAN (12 persen), dan Demokrat (11 persen). Yang menarik, cukup banyak pemilih Prabowo-Sandi yang memilih Golkar (10 persen).

Juga menarik, proporsi pemilih kedua pasangan yang mendukung PPP hampir sama yaitu 5 persen (dari Jokowi- Ma’ruf) dan 4 persen (dari Prabowo- Sandi). Dengan kata lain, pemilih Golkar dan PPP cukup tersebar di kedua pasangan. Data ini menunjukkan bahwa pengaruh pasangan capres tak sama terhadap partai-partai pendukung/pengusungnya. Bila dianalisis lebih jauh dengan melihat hubungan perolehan suara capres dengan perolehan suara partai di masing-masing daerah pemilihan (dapil) perbedaan pengaruh ini terlihat lebih jelas. Berdasarkan perolehan suara partai di 80 dapil untuk DPR, terlihat ada tiga jenis hubungan bila kita menggunakan korelasi Pearson (r).

Pertama, hubungan yang positif dan signifikan, artinya makin tinggi suara capres di dapil, makin tinggi pula perolehan suara partai koalisinya di dapil tersebut. Di KIM ini diperoleh PDI-P, PKB, dan Nasdem. Kedua, hubungan yang negatif dan signifikan yang diperoleh PPP dan PBB. Ini artinya makin tinggi suara Jokowi-Amin di dapil, suara untuk PPP dan PBB cenderung makin turun. Ketiga, hubungan yang tak signifikan alias tak terlihat jelas pengaruhnya. Ini terjadi pada partai pendukung Jokowi-Amin lainnya yakni Golkar, PKPI, PSI, Hanura, dan Perindo.

Sementara, di partai-partai KAM, hubungan bersifat positif dan signifikan. Makin tinggi suara Prabowo-Sandi di dapil, dukungan untuk partai-partai KAM juga cenderung lebih tinggi.

Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa di koalisi pemenang pilpres, pengaruh positif capres hanya terlihat terhadap PDI-P, PKB, dan Nasdem. PPP dan PBB malah memperoleh pengaruh negatif. Partai-partai lain, cenderung tak mendapat pengaruh apapun dari capres yang diusungnya. Di pihak KAM semua partai pengusung memperoleh pengaruh positif dari pasangan capresnya.

Bila dianalisis lebih jauh dengan melihat hubungan perolehan suara capres dengan perolehan suara partai di masing-masing daerah pemilihan (dapil) perbedaan pengaruh ini terlihat lebih jelas.

Data EEJ Pemilu 2019 menegaskan kembali kepada partai-partai yang akan berkompetisi di Pemilu 2024 bahwa mereka harus melakukan analisis yang cukup sebelum mencalonkan figur-figur kandidat presiden dan wakil presiden.

Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan. Pertama, EEJ akan lebih menguntungkan partai yang dianggap memiliki hubungan paling kuat dengan capres/cawapres. Ini biasanya berkaitan dengan dua hal: ideologi dan konsistensi strategi. PDI-P, PKB, dan Nasdem memperoleh EEJ paling kuat terutama karena dua hal ini.

Jokowi kader PDI-P, sedangkan Ma’ruf dianggap paling dekat dengan PKB. Nasdem lebih menonjol konsistensi strateginya. Nasdem adalah partai pertama di luar PDI-P yang mencalonkan Jokowi pasca-Pemilu Legislatif. 2014 dan konsisten bersama Jokowi dan PDI-P sampai Pilpres 2019. Masalah konsistensi strategi juga mungkin penyebab Golkar tak memperoleh EEJ signifikan: Golkar partai yang berpindah dari kompetitor Jokowi di Pilpres 2014 sebelum bergabung ke pemerintahan.

Kedua, partai yang jarak ideologisnya paling jauh dari capres bisa menimbulkan EEJ negatif seperti dialami PPP dan PBB. Di Indonesia, meskipun secara sosial dan ekonomi, jarak ideologi antar partai cenderung kabur, tapi dari segi sikap terhadap hubungan agama (baca: Islam) dan politik, PBB dan PPP cenderung berada di sisi kanan (lebih religius) sedangkan PDI-P dan Jokowi cenderung di posisi kiri (lebih sekuler).

Akibatnya di daerah-daerah yang kuat PPP dan PBB-nya, karena posisinya di KIM, kedua partai ini mengalami penurunan dukungan. Pengaruh Jokowi terhadap dukungan pemilih kepada kedua partai ini bersifat negatif.

Ketiga, partai-partai kecil, secara teoretis sulit memperoleh EEJ bila hanya jadi pendukung koalisi (West & Spoon, 2013). Partai kecil akan memperoleh manfaat EEJ bila punya peran sebagai sponsor (sponsoring role) baik sebagai pengusul capres (memiliki asosiasi kuat dengan calon) ataupun sebagai pengusul cawapres. Semua partai kecil (yang kekuatannya sekitar 5 persen atau kurang) di Pemilu 2019, terutama di KIM, tak ada yang memiliki peran sponsor, semuanya pengikut saja di koalisi. Karena itu mereka tak memperoleh EEJ.

Peran sponsor atau pengusul memang tak mudah bagi partai (dan ini bukan hanya bagi partai kecil) karena adanya batas minimal syarat pencalonan presiden (presidential threshold). Bila persyaratan ini tetap berlaku di Pemilu 2024, maka salah satu jalan keluar yang mungkin adalah partai-partai berkoalisi terlebih dulu, lalu bersama-sama mencari capres/cawapres. Mungkin melalui proses seperti konvensi bersama. Dengan begitu, terbuka peluang bagi semua anggota koalisi (besar maupun kecil) untuk memiliki klaim jarak yang sama dengan pasangan capres dan cawapres yang nantinya diusung.

Djayadi Hanan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI); Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi  di halaman 6 dengan judul “Efek Ekor Jas Pemilu 2019”. https://www.kompas.id/baca/bebas-akses/2022/01/27/efek-ekor-jas-pemilu-2019