October 6, 2024

Empat Bulan Masa Kampanye Diisi Isu-Isu Negatif, Dampak dari Fanatisme Politik?

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi menilai bahwa selama empat bulan masa kampanye, peserta pemilu gagal melakukan pendidikan politik. Peserta pemilu tidak menyampaikan gagasan-gagasan dalam visi-misi dan program kerjanya, melainkan mengisi masa kampanye dengan isu-isu negatif.

Salah satu contoh yang disebutkan Veri yakni, Tim pendukung pasangan calon (paslon) nomor urut 02 yang mengatakan ada potensi pelanggaran dari dimasukannya disabilitas mental ke dalam daftar pemilih. Stigma dan persepsi buruk yang dilontarkan mempengaruhi publik sehingga mempertanyakan kredibilitas penyelenggara pemilu, yang dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Saya sayangkan, di masa kampanye ini, pola kampanye atau narasi yang disampaikan di ruang publik bukan narasi yang positif jelang debat kandidat. Pemilih disabilitas mental ini sudah lama dibahas, tapi kenapa baru sekarang dipersoalkan? Gak perlu ini diangkat kembali untuk mempengaruhi publik bahwa kondisi pemilu kita kacau,” tandas Veri pada diskusi “Sebar Hoaks Jelang Debat: Siapa Untung, Siapa Buntung” di Kantin Kendal, Menteng, Jakarta Pusat (15/1).

Menyampaikan kekecewaan yang sama, Direktur Eksekutif Para Syndicate, Ari Nurcahyo mengatakan masa kampanye dilalui dengan maraknya produksi dan penyebaran hoaks yang menjauhkan publik dari isu-isu substansial. Hal ini, menurut Ari, merupakan strategi kampanye atau sesuatu yang memang disengaja. Hoaks diproduksi oleh kelompok fanatis politik yang cenderung menutup ruang rasional dan meyakini bahwa kebenaran hanya ada di pihak yang didukungnya.

“Di kedua kubu (kubu pendukung paslon Joko Widodo dan Prabowo Subianto), ada pemilih loyal. Nah, pemilih loyal, karena hanya ada dua kubu itu, mendorong fanatisme politik. Fanatisme ini yang mendorong menghalalkan segala cara, termasuk membuat hoaks untuk menjatuhkan lawannya,” kata Ari.

Fanatisme politik tercermin dalam kasus ancaman tidak akan menyolatkan jenazah orang-orang yang mendukung paslon Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada DKI Jakarta 2017, serta kasus penolakan pemakanan jenazah yang berbeda pilihan calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2019. Fanatisme politik dianggap Ari berbahaya sebab menimbulkan benci yang tertanam di alam bawah sadar.

“Fanatisme itu menyebabkan di alam bawah sadar, benci itu tertanam. Ketika benci, maka menumbuhkan perasaan permusuhan,” tukas Ari.

Ari memprediksi, debat kandidat paslon presiden-wakil presiden tak akan mengubah pilihan pemilih loyal di masing-masing paslon. Pemilih loyal merupakan pemilih emosional yang tak akan terpengaruh pada argumentasi-argumentasi rasional. Namun, debat kandidat akan berpengaruh pada pemilih rasional yang belum menjatuhkan pilihan.

“Saya kira tidak akan mengubah posisi pemilih loyal, apalagi yang sudah fanatis. Pilihan mereka sudah sulit sekali diubah. Mereka gak mau mendengarkan opini atau ide yang menurut perasaannya bertentangan,” ucap Ari.