Pilkada Papua 2018 menjadi perhatian khusus bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Analisis potensi isu sebagai upaya antisipasi dilakukan sejak dini. Sedikitnya, ada empat masalah yang tengah terjadi di Pilkada Papua, yang berpotensi mendorong kerusuhan di kemudian hari.
Di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Papua, kewenangan melakukan verifikasi syarat orang asli Papua menjadi perdebatan. Jika merujuk pada Putusan Mahkmah Konstitusi (MK), kewenangan untuk memverifikasi yang semula diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dialihkan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun, belakangan ramai muncul isu DPRD meminta kembali kewenangan tersebut.
Kemudian, di Pilkada kabupaten, yakni Puncak dan Jayawijaya, kasus pasangan calon (paslon) memborong dukungan partai menyebabkan adanya paslon yang tak dapat mendaftarkan diri ke KPU akibat ketidak cukupan kursi DPR Daerah (DPRD). Baik di Puncak maupun Jayawijaya, dualitas dukungan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) menimbulkan ketidakpastian peta politik elektoral.
Di Puncak, paslon Repinus-David melakukan protes karena pendaftarannya tak tertera di Sistem Informasi Tahapan Pendaftaran (SITAP) KPU. Di Jayawijaya, dukungan final Hanura kepada paslon John Richard-Martin Yogobi membuat Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) tak bisa mengusung paslon Bartholomeus-Ronnie.
“Syaratnya di Jayawijaya itu harus punya minimal 6 kursi. Gerindra hanya punya 4 kursi. Jadi, gak bisa mengusung Bartholomeus-Ronnie. Gerindra akhirnya lapor ke Panwas (Panitia Pengawas), dan sedang dalam proses,” jelas Anggota KPU RI, Ilham Saputra, pada diskusi “Pilkada Papua 2018: Akankah Mengulang Persoalan yang Sama?” di Media Center KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat (31/1).
Situasi di Puncak telah memanas setelah paslon perseorangan di Puncak tak diperbolehkan mendaftar, meskipun paslon memenuhi persyaratan minimal dukungan.
Di daerah lain, Biak Numfor, Pilkada terancam ricuh karena dana Nota Perjanjian Hadiah Daerah (NPHD) untuk Biak Numfor belum dicairkan.