August 8, 2024

Empat Sebab Banyaknya Calon Tunggal di Pilkada 2020 Menurut CSIS

Peneliti Central for Strategic and Internasional Studies (CSIS), Arya Fernandes menyoroti empat faktor yang menyebabkan maraknya kasus pasangan calon (paslon) tunggal di Pilkada Serentak 2020. Faktor pertama, yakni daya tarik petahana. Dari 28 paslon tunggal, 23 diantaranya merupakan petahana, baik petahana kepala daerah maupun petahana wakil kepala daerah. Bahkan, 10 paslon merupakan pasangan petahana yang berpasangan kembali.

“Petahana memang punya daya tarik. Mereka punya sumber daya politik, sosial, juga modal,” kata Arya pada diskusi daring “ Oligarki Parpol dan Fenomena Calon Tunggal” (9/9).

Faktor kedua, yakni sulitnya biaya politik di masa pandemi. Mundurnya Pilkada 2020 ke 9 Desember 2020 dari semula 23 September dinilai memperbesar biaya politik. Situasi pandemi yang membatasi kegiatan kampanye rapat umum juga diprediksi membuat kampanye dari rumah ke rumah akan semakin gencar dilakukan.

Kondisi tersebut, bagi kandidat yang tak berkantong tebal, merupakan tantangan. Pandemi juga menyebabkan perkembangan bisnis tak menentu. Kandidat sepi investor.

“Di situasi pandemi, siapa yang akan biayai orang? Investor akan berpikir sekali apakah akan berinvestasi ke kandidat atau tidak. Dalam situasi bisnis kan tidak pasti juga. Profit mungkin menurun, mengalami kerugian. Akhirnya, kandidat mau fund rising ke pemodal, pemodalnya mikir-mikir juga,” tandas Arya.

Faktor ketiga yaitu sebagai konsekuensi dari daerah pemilihan (dapil) besar tanpa ambang batas parlemen daerah yang mengakibatkan terjadinya multipartai ekstrim. Multipartai ekstrim membuat situasi pencalonan sulit. Partai-partai kecil mesti lihai melobi dukungan partai-partai lain untuk membentuk koalisi pencalonan.

“Karena bagi partai menengah kecil, untuk mendapatkan pencalonan 20 persen kursi, mereka harus lobi sana sini. Perlu 2 sampai 3 partai untuk memenuhi syarat,” tukas Arya.

Faktor lain yang berkontribusi pada maraknya paslon tunggal yakni daerah yang berpilkada merupakan daerah basis massa partai tertentu. Arya mencatat, 12 dari 28 daerah memiliki hubungan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

“Misal di Kebumen, Wonosobo, Boyolali, Semarang, Grobogan, Badung, Ngawi, Kediri, hampir semuanya basis salah satu partai. 12 daerah punya hubungan dengan PDIP. Dari 12 itu, semuanya kader PDIP,” jelas Arya.

Efek calon tunggal terhadap tata kelola pemerintahan daerah

Paslon tunggal akan direpotkan dengan beberapa hal pasca keterpilihan, jika merunut pada prediksi Arya. Utamanya, paslon akan dibebankan dengan tuntutan untuk dapat mengakomodasi semua kepentingan partai pengusung, berikut politik uang bentuk pork barrel atau pembiayaan barang publik.

“Dia akhirnya harus mengakomodasi pembentukan kabinet. Sekda (Sekretaris daerah)nya siapa, kepala dinas siapa, pimpinan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dari partai mana, kelompok mana. Dan dia akan mengakomodasi pork barrel ke partai. Misal dana sumbangan aspirasi untuk daerah ini, untuk pembangunan ini. Dia harus membagi rata ke partai-partai pendukung,” pungkas Arya.

Selain itu, korupsi politik juga berpotensi terjadi. Suap kepada anggota DPRD untuk memuluskan penyetujuan Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (RAPBD) kerap terjadi dalam praktik politik di Indonesia.

“Kalau lihat data yang dikeluarkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sejumlah kasus korupsi punya muatan politik, misal dalam pengesahan RAPBD. Terutama soal apa yang sering disebut dengan uang ketok palu,” ungkapnya.

Borongan dukungan juga merugikan demokrasi lokal. Tak ada kontrol kuat dari parlemen daerah terhadap kinerja dan kebijakan kepala daerah. Masyarakat sipil di daerah pun tak sekuat masyarakat sipil di level nasional.