Pemilu 2024 adalah kali kedua Indonesia menyelenggarakan pemilu serentak nasional. Sejak 2019, menyatukan pemilu presiden dan pemilu parlemen dalam satu hari pemungutan suara akan menjawab masalah multipartai ekstrem dalam sistem presidensial Indonesia. Artinya, tujuan utama menyerentakan pemilu nasional di Indonesia adalah untuk menyederhanakan sistem kepartaian dalam parlemen.
Salah satu hal sistemik yang diharapkan bekerja dalam penyerentakan pemilu nasional adalah efek ekor jas (coattail effect). Jika pemilu presiden dan parlemen disatukan dalam satu hari pemungutan suara, maka akan tercipta masif prilaku pemilih yaitu: pemilih presiden X akan memilih partai pengusung presiden X. Pada pemilu terpisah, efek ekor jas juga ada tapi jika diserentakan ini akan lebih optimal.
Hasil menyimpang
Ternyata harapan itu tidak terjadi. Hasil Pemilu 2024 hampir sama dengan Pemilu Serentak 2019 atau pun pemilu terpisah pada 2014. Yang paling nyata adalah Gerindra, sebagai partai utama pengusung presiden terpilih, Prabowo Subianto, malah tidak menjadi pemenang pemilu. Dengan ini, Indonesia mengalami hasil yang sama saat Brasil baru menerapkan pemilu serentak pertamanya.
Prabowo meraih suara 58,59% tapi Gerindra hanya 13,22%. Hasil ini jauh dari makna efek ekor jas yang optimal. Rekor Prabowo sebagia presiden pemenang satu putara yang memperoleh suara terbanyak 96,21 juta suara tidak begitu berarti bagi Gerindra yang tidak memenangkan pemilu parlemen.
Bahkan jika merujuk Pemilu Serentak 2019, capaian Gerindra lebih buruk dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada pemilu serentak pertama itu, kemenangan Joko Widodo menguntungkan PDIP melalui efek ekor jas dalam bentuk hasil kursi parlemen yang lebih dari 20%. Sehingga, PDIP dalam pemilu berikutnya tidak perlu berkoalisi dalam mengusung calon presiden. Ini tidak juga dicapai oleh Gerindra meskipun Prabowo menang satu putaran secara signifikan dengan rekor suara terbanyak sepanjang sejarah.
Mengapa harapan pemilu serentak meleset? Mengapa efek ekor jas tidak optimal?
Sistem menyimpang
Berdasarkan penghitungan sementara sebagai proyeksi sistem kepartaian, sistem kepartaian DPR 2024-2029 adalah 7,3. Ini angka sistem kepartaian yang masih ekstrem dan mirip dengan hasil Pemilu Serentak 2019 yaitu 7,5. Artinya, masih ada sekitar 7 partai politik di DPR yang bisa mempengaruhi 50%+1 pengesahan legislasi/anggaran dalam DPR sebagai parlemen nasional.
Tidak tercapainya pengoptimalan efek ekor jas dan berdampak pada sistem kepartaian yang tetap ekstrem karena Pemilu 2024, karena pemilu legislatifnya masih menerapkan sistem proporsional daftar terbuka. Varian sistem proporsional ini tidak sejalan dengan tujuan penyederhanaan sistem kepartaian parlemen.
Suara hasil pemilu legislatif dalam pemilu serentak tidak terbentuk berdasar efek ekor jas. Dengan keleluasaan pemilih untuk memilih tiap individu caleg pada daftar terbuka, suara pemilu legislatif jadi terdistribusi merata, tidak fokus pada partai utama pengusung capres.
Daftar calon legislatif yang disusun oleh setiap partai memiliki potensi besar untuk memengaruhi hasil suara dalam pemilu. Pada hari pemungutan suara, terlihat bahwa sebagian besar pemilih lebih memilih langsung nama calon legislatif daripada memilih berdasarkan nama atau lambang partai politik pengusung presiden. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti kualitas personal, identitas, hubungan kekerabatan, popularitas, penampilan fisik, praktik politik uang, atau kombinasi dari pertimbangan-pertimbangan tersebut.
Gambaran distribusi suara yang merata dari sistem proporsional terbuka bisa digambarkan dari perbandingan hasil survei elektabilitas partai dan hasil pemilu yang resmi ditetapkan Komisi Pemilihan Umum. Perbedaan ini disebabkan oleh ketidaksesuaian pertanyaan dalam survei elektabilitas dengan sistem pemilihan umum yang diterapkan.
Pertanyaan dalam survei elektabilitas partai politik umumnya seputar pilihan partai, bukan pilihan caleg. Pertanyaan semacam ini hanya relevan dalam sistem pemilihan umum proporsional tertutup. Sedangkan pemilu legislatif Indonesia dengan memilih individu caleg sudah diterapkan sejak Pemilu 2004 (semiterbuka) hingga 2024.
Penyimpangan berulang
Apa menyimpang dari hasil Pemilu 2024 merupakan pengulangan dari Pemilu 2019. Pemilu serentak malah menguntungkan partai tengah/kecil pengusung presiden.
Pada Pemilu 2019, PDIP dan Gerindra meraih kenaikan suara yang tipis 0,38% dan 0,76%. Tapi, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai pengusung presiden terpilih, mendapat kenaikan 2,33% dibanding pemilu sebelumnya. Lalu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengusung Prabowo Subianto, meraih kenaikan suara 1,42% dibanding Pemilu 2019.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Moch Nurhasim menjelaskan, penyimpangan Indonesia seperti pengulangan yang terjadi di negara lain. Pemilu serentak dapat menyebabkan dua fenomena yang berbeda: gelombang penurunan dan pelonjakan suara. Pemilu serentak pada dasarnya hanya bertindak sebagai “stimulasi politik” untuk meningkatkan tingkat partisipasi (Campbell 1960).
Pengamatan terhadap pola efek ekor dari pemilihan presiden AS terhadap pemilihan anggota DPR dan Senat menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Meskipun terjadi lonjakan suara pada beberapa waktu, namun pada waktu lain terjadi penurunan suara. Campbell juga menekankan bahwa kombinasi pemilihan serentak antara presiden dan sistem pemilihan mayoritas cenderung memperkuat kekuatan partai tertentu.
Namun, yang menariknya, ketika kombinasi tersebut dilakukan dengan sistem pemilihan proporsional, hasilnya menunjukkan bahwa partai tengah lebih diuntungkan. Pengalaman negara-negara yang menerapkan kombinasi seperti yang dikemukakan oleh Campbell dapat menjelaskan mengapa praktik pemilihan umum serentak di Indonesia cenderung lebih menguntungkan partai lain di luar partai utama pengusung presiden. []
USEP HASAN SADIKIN