January 31, 2025

Evi Serahkan Surat Keberatan ke DKPP

Senin (23/3), anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Evi Novida Ginting menyerahkan surat keberatan ke kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Gondangdia, Jakarta Pusat. Evi keberatan atas Putusan DKPP No.317/2019 yang memberhentikan tetap dirinya sebagai anggota KPU RI.

Dalam rilis pers yang diterima oleh rumahpemilu.org, Evi berkeberatan dengan Putusan tersebut karena lima hal. Pertama, DKPP tak pernah melakukan pemeriksaan keterangan terhadap pengadu atau Hendri Makaluasc. Padahal, dalam poin kesimpulan putusan DKPP dinyatakan bahwa putusan DKPP didasarkan atas penilaian terhadap fakta persidangan, setelah memeriksa keterangan pengadu.

“Majelis Sidang DKPP tidak pernah melakukan pemeriksaan keterangan terhadap pengadu. Pada sidang tanggal 13 November 2019, pengadu atas nama Hendri Makaluasc pada saat diminta keterangan justru membacakan surat pencabutan laporannya/pengaduannya. Dan pada sidang tanggal 17 Januari 2020, pengadu (Hendri Makaluasc) maupun pengacaranya tidak lagi menghadiri sidang DKPP,” sebagaimana tertulis dalam rilis pers.

Kedua, adanya perlakuan berbeda akibat tiadanya aturan mengenai aduan yang telah dicabut oleh pengadu, baik di dalam Undang-Undang (UU) No.7/2017 maupun Peraturan DKPP. Dalam perkara yang diajukan oleh Makaluasc, yang bersangkutan mencabut aduannya namun DKPP tetap memutuskan perkara tersebut. Sementara itu, pada perkara No.134/2017, DKPP memutuskan tak melanjutkan ke tahap putusan karena pengadu, Bertholomeus George Da Silva, melayangkan surat pencabutan gugatan.

“Perlakuan yang berbeda ini membuka ruang subjektivitas karena tidak ada aturan dan ukuran yang jelas, baik yang diatur dalam UU. No.7/2017 maupun Peraturan DKPP untuk menentukan apakah satu aduan dapat diteruskan atau tidak jika pengadu mencabut aduannya.”

Ketiga, DKPP tidak melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP No.2/2019 tentang Perubahan atas Peraturan DKPP No.3/2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Pasal tersebut menyebutkan agar rapat pleno putusan dilakukan secara tertutup dan dihadiri oleh tujuh orang anggota DKPP, kecuali dalam keadaan tertentu dihadiri paling sedikit lima orang. Dalam memutuskan perkara No.317/2019, sebagaimana dapat dilihat pada halaman 34 bagian penutup, rapat pleno hanya dihadiri oleh empat orang anggota DKPP.

“Dengan demikian putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tidak memenuhi syarat qorum rapat pleno untuk menjatuhkan putusan. ….Apalagi pada pengaduan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019 teradu adalah Ketua dan Anggota KPU, sedangkan Bawaslu hanya menjadi pihak terkait, sehingga anggota Bawaslu ex officio anggota DKPP dapat menjadi majelis dan atau terlibat dalam pengambilan keputusan.”

Keempat, putusan DKPP yang memandang Evi selaku Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilumemiliki tanggungjawab etik lebih besar atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil Pemilu 2019, tak sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan di KPU RI. Koordinator divisi tidak dapat mengambil keputusan sendiri, sebab setiap keputusan mesti melalui mekanisme rapat pleno dengan prinsip kolektif kolegial.

“Koordinator divisi hanya berfungsi untuk mengkoordinasi, mengendalikan, membina, melaksanakan, gugus tugas divisi yang juga harus dipertangungjawabkan dalam rapat pleno.“

Kelima, dalam laporan pengadu maupun dalam fakta persidangan, tidak ada secara spesifik membahas  peran Evi dalam mengendalikan atau mengintervensi putusan KPU Provinsi Kalimatan Barat. Pun, tak ada bukti yang dapat menunjukkan intervensi dilakukan. Adapun supervisi KPU RI kepada KPU Provinsi Kalimatan Barat dimaksudkan untuk melaksanakan Putusan MK No.154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XII/2019. Pasal 24C ayat (1) UU Dasar (UUD) 1945 mengatur Mahkamah Konstitusi sebagai pihak yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, dan putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Usai menyerahkan surat keberatan kepada DKPP, direncanakan Evi akan menyerahkan pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Setelah prosedur administratif dilakukan, setelah itu ke PTUN,” kata Evi melalui keterangan tertulis.