April 16, 2024
iden

Fakta Politik Soal Perempuan yang Mencalonkan Kepala Daerah

Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Aditya Perdana, menguak empat fakta tentang perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Fakta ini memberikan gambaran lebih jelas mengenai kondisi “keperempuanan” dalam proses pencalonan.

Fakta pertama, kata Aditya, perempuan calon kepala daerah (cakada) biasanya memiliki tingkat pendidikan yang baik. Perempuan calon juga berasal dari keluarga terhormat kelas menengah, yang memiliki posisi penting di masyarakat sekitar.

“Di kultur masyarakat kita, ada kebanggaan kalau perempuan punya pendidikan yang baik, dia perempuan yang pintar, yang peduli pada masyarakat. Rata-rata perempuan yang mencalonkan ini S1, S2, dan ada juga yang S3,” terang Aditya pada diskusi “Potret Perempuan Calon Kepala Daerah di Pilkada 2018” di Media Center Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Menteng, Jakarta Pusat (21/2).

Fakta kedua, perempuan cakada mahir membangun jaringan dengan tokoh-tokoh masyarakat. Sebagai starting point atau langkah awal, perempuan akan mencari simpati para tokoh agama sekitar. Perempuan calon, sama seperti laki-laki calon, dapat menganalisa strategi komunikasi politik untuk kerja pemenangan.

“Perempuan-perempuan calon ini sudah tau bahwa penting melakukan strategi menarik dukungan tokoh-tokoh agama, ulama, dan kiai pemimpin pesantren. Sebab, ada problem di konteks masyarakat muslim, perempuan masuk di ranah politik formal itu belum dikatakan baik,” jelas Aditya.

Kemudian, fakta ketiga, perempuan yang maju adalah yang memiliki relasi positif dengan keluarga, terutama suami. Peran suami amat penting dengan memberikan kebebasan kepada perempuannya untuk beraktivitas di dunia politik dan publik. Dukungan positif dari keluarga akan ditampilkan oleh perempuan cakada sebagai salah satu strategi kampanye.

“Bahkan, dukungan suami menjadi motivasi kuat untuk mencalonkan. Sebagian besar, di Pilkada sebelumnya, perempuan yang menang adalah istri bupati atau gubernur. Karena istri-istri ini, saat jadi istri pejabat, punya kesempatan langsung bertemu dengan ibu-ibu dari berbagai kalangan. Dia jadi Ketua PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga),” urai Aditya.

Fakta keempat, yang disayangkan Aditya yakni, kebanyakan perempuan kepala daerah tak memiliki komitmen tinggi terhadap isu-isu perempuan dan anak. Perempuan masih pasif dalam gerakan perubahan di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan perempuan di daerah.

“Meskipun mereka perempuan, tapi sikapnya ke isu perempuan rendah. Dari anggaran yang mereka miliki, mereka tidak berpikir kira-kira bisa diapakan untuk perempuan,” tandas Aditya.

Perempuan cakada diharapkan membawa perspektif gender saat memimpin kepala daerah. Hanya perempuan sendiri yang dapat memahami kondisi perempuan. Visi-misi dan program kerja pro kepentingan perempuan akan selalu ditagih.