August 8, 2024

Feri Amsari: Putusan DKPP terhadap Evi Bukan Hukum Progresif

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari menjadi saksi ahli dalam perkara yang diajukan oleh Evi Novida Ginting kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta (24/6). Dalam keterangan kesaksiannya, Feri menyatakan bahwa putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap Evi bukanlah kebijakan hukum progresif. Hukum progresif berpegang pada peraturan perundang-undangan, dan hanya dapat diambil jika terjadi kebuntuan karena undang-undang tak mengatur hal yang dipermasalahkan. Keputusan yang menabrak peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan DKPP, pun mesti mengikuti prosedur persidangan yang pasti, atau prosedur yang sama dengan prosedur yang digunakan pada perkara lainnya.

“Hukum progresif itu bukan berarti mengabaikan peraturan perundang-undangan, dia hanya bisa progresif jika tidak ditemukan hal yang menurut undang-undang bisa dicapainya sebuah keadilan. Jadi, kalau stagnan, baru ditafsirkan berbeda. Breaking the law, kalau prosedurnya tidak diatur duluan sebelum menentukan substansi, bermasalah. Makanya, sebelum membahas keadilan yang substansial, harus adil dulu dalam pemenuhan prosedur,” terang Feri.

Putusan DKPP yang memberhentikan tetap Evi disebut tidak sah karena tidak memenuhi aturan kuorum yang diatur di dalam Peraturan DKPP. Ketiadaan satu anggota DKPP, yakni Hardjono, dan anggota KPU serta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ex officio sebagai anggota majelis hakim dinilai Feri tak dapat menjadi diskresi bagi terbitnya sebuah putusan yang diambil oleh kurang dari jumlah yang dinyatakan kuorum. Putusan DKPP No.317/2020 hanya diputus oleh empat orang hakim, kurang satu dari jumlah yang dinyatakan kuorum.

“Kalau ada tafsir yang memaknai kalau kondisi kosong, sementara KPU dan Bawaslu tidak bisa menjadi anggota DKPP ex officio karena posisi mereka berkaitan dengan perkara itu, itu tafsir yang berlebihan. Karena, ada aturan menyuruh menunggu. Demi keadilan dan hak seseorang, tidak boleh DKPP mengabaikan ketentuan yang ada sehingga peraturan kuorum itu menjadi terabaikan,” tandas Feri.

Ia lanjut menguraikan bahwa dalam hukum, terdapat tiga nilai yang tak bisa dipisahkan, yakni kemanfaatan, kepastian, dan keadilan. Putusan yang dijatuhkan DKPP kepada Evi dengan tidak sesuai prosedur persidangan dipandang tak memenuhi nilai keadilan karena memperlakukan Evi secara berbeda. Tak hanya tak kuorum, DKPP juga melanjutkan perkara yang telah dicabut oleh pengadu.

“Putusan DKPP boleh berbeda, tapi prosedurnya harus sama. Apa yang menjadi standar juga harus sama. Kalau tidak, akan timbul ketidakadilan. Jadi, keadilan itu berawal dari kepastian hukum agar bisa menimbulkan kemanfaatan,” pungkas Feri.

Karena diputus dengan prosedur yang berbeda, maka DKPP, tegas Feri, mesti menjelaskan alasannya. DKPP tak bisa hanya menuliskan merasa perlu menindaklanjuti perkara yang diadukan oleh Hendri Makaluasc. Setiap badan peradilan yang memutus secara berbeda perkara yang sama mesti menjelaskan secara rinci.

“Ketika peradilan punya tafsir berbeda pada kasus yang sama, dia harus betul-betul menjelaskan kenapa dia mengingkari juris prudensi yang dia yakini sebelumnya. Karena, juris prudensi itu mengikat. Ada marwah peradilan di dalamnya. Mestinya DKPP bisa menjelaskan kepada para pencari keadilan, kami memutuskan ini karena ini,” tandas Feri.

Dijadwalkan, sidang Evi akan dilanjutkan pada Selasa (7/7)pukul 9 WIB. Agenda sidang yakni mendengarkan keterangan saksi ahli dari tergugat dan penggugat. Adapun saksi ahli dari penggugat yakni mantan hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, dan Fernando E Manullang, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ketua KPU RI, Arief Budiman, juga akan hadir sebagai saksi.

“Untuk Pak Palguna melalui zoom pemeriksaannya. Kemungkinan juga ada ahli tergugat,” kata Evi kepada rumahpemilu.org (6/7).