August 8, 2024

Fritz Edward Siregar, Politik Uang di Pemilu Diawasi di Empat Tahapan

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar menyampaikan bahwa dalam mengawasi politik uang pada Pemilu 2019, Bawaslu fokus pada empat tahapan. Pertama, tahap pencalonan. Pada tahap ini, Bawaslu mengawasi potensi terjadinya mahar politik. Namun, diakui Fritz bahwa pengawasan dan penindakan terhadap mahar politik di Pemilu 2019 terbilang sia-sia, sebab Undang-Undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilu tidak memuat sanksi pidana terhadap larangan mahar politik.

“Artinya, ada larangannya, tapi pidnanya tidak ada. Jadi, tidak ada jalan yang bisa ditempuh Bawaslu untuk melakukan fungsi jika mahar terjadi atau apa jalur yang bisa diambil Bawaslu untuk maju ke pengadilan? Pintunya tidak dibuka,” tandas Fritz pada diskusi Pembiayaan Gelap dan Korupsi Politik di Pemilu 2019: Ongkos Mahal Demokrasi di Indonesia di Gondangdia, Jakarta Pusat (28/1).

Pada tahap pencalonan ini, UU Pemilu juga tak memuat aturan untuk menyikapi fenomena candidacy buying. Padahal, terjadi kasus perpindahan calon legislatif dari partai politik A ke partai politik B karena iming-iming imbalan dari partai politik B.

“Ini kan masuk candidacy buying. Ada permasalahan di situ. Tapi tidak ada aturan penegakan hukumnya,” ucap Fritz.

Kedua, tahap kampanye. Fritz menjelaskan bahwa objek hukum pelaku politik uang pada tahap kampanye bukanlah setiap orang, melainkan pasangan calon, calon, pelaksana kampanye, dan tim kampanye. Hal ini berkontribusi pada terjadinya praktik politik uang oleh orang-orang di luar objek yang telah disebutkan.

Kontribusi regulasi terhadap praktik politik uang lainnya dapat ditemukan dalam Pasal 284. Pasal ini menyebutkan bahwa peserta kampanye boleh menerima uang transport dan uang makan sesuai dengan batas kewajaran daerah. Namun sayangnya lagi, hingga saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengatur mengenai bataskewajaran tersebut di dala Peraturan KPU (PKPU).

“Kita sudah kasih surat dua kali ke KPU, tapi belum ada jawaban. Ini, apakah kita mau mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No.49/2018? Di Peraturan itu, di Jakarta, ongkos transport 240 ribu dan uang makan 150 ribu. Berarti, kalau ada orang yang menyerahkan 240 tambah 150 ribu dalam sebuah kampanye, itu adalah proses yang dilegalkan,” ujar Fritz.

Ketiga, tahap pemungutan suara. Norma pemberantasan politik uang pada tahap ini lebih progresif dari norma pada tahap kampanye. Pasalnya, objek hukum pelaku politik uang adalah semua orang. Artinya, orang per orang di luar nama tim kampanye, pelaksana kampanye, dan peserta pemilu dapat dikenakan sanksi pidana apabila terbukti melakukan politik uang, yakni vote buying.

Keempat, tahap pelaporan dana kampanye. Semua peserta Pemilu 2019 diwajibkan menyerahkan tiga jenis laporan dana kampanye, yaitu Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (PPDK). Lucunya, ungkap Fritz, tak ada sanksi jika peserta pemilu terlambat atau tidak menyerahkan LPSDK, sementara ada sanksi bagi peserta pemilu yang terbukti tak jujur melaporkan dana kampanye.

“Jadi, ada sanksi hukum apabila memberikan keterangan yang tidak benar, tapi tidak ada sanksi hukum apabila tidak memberikan. Jadi, bagi caleg (calon anggota legislatif), lebih baik tidak menyerahkan daripada menyerahkan lalu ketahuan melanggar aturan,” kata Fritz.

Hambatan penegakan hukum akibat regulasi yang longgar

Sesuai dengan amanat UU Pemilu, Bawaslu memiliki wewenang untuk mengawasi politik uang. Namun diakui Fritz, regulasi tak memberikan norma yang cukup untuk melakukan penegakan hukum. Sebagai contoh, UU Pemilu mewajibkan agar seluruh transaksi berkenaan dengan dana kampanye dilakukan melalui rekening khusus dana kampanye (RKDK). Namun, tak ada sanksi jika peserta pemilu menggunakan rekening lain untuk transaksi dana kampanyenya sebagai upaya untuk menutupi adanya sumbangan dana kampanye yang melebihi batas maksimal sumbangan.

Kasus Pilkada 2018, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan banyaknya indikasi transaksi dana kampanye dilakukan di luar RKDK. Namun, Bawaslu kehabisan waktu untuk membuktikan kasus tersebut karena UU Pemilu hanya memberikan 14 hari penanganan.  Untuk mendapatkan bukti transfer rekening, Bawaslu harus melewati birokrasi panjang di Kepolisian RI, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pihak bank.

“Dugaannya, ada orang yang memberikan dana lebih besar dari yang seharusnya tidka lewat RKDK. Kita berdiskusi di Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu). Bagi Gakkumdu, harus ada bukti kalau dana itu mengalir. Kita buat pertemuan dengan BI dan sebagainya sehingga untuk membuktikan apakah benar transfer itu terjadi, maka Bawaslu harus kirim surat ke Kepolisian, Kepolisian kirim surat ke BI, Bi kirim ke OJK, OJK kirim ke banknya, banknya kirim ke kita. Baru kita tahu, ada bukti segini. Dan itu lewat dari waktu yang kita punya, yaitu paling lambat 14 hari,” terang Fritz.

Sebagai langkah untuk mewujudkan keadilan hukum pemilu, Bawaslu akan melakukan beberapa hal, yakni memperkuat kemampuan petugas pengawas pemilu di lapangan untuk menaksir pengeluaran kampanye para calon, uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sanksi mahar politik, dan mengupayakan perjanjian antar lembaga berwenang untuk memotong birokrasi guna mendapatkan bukti transfer dana kampanye lebih cepat.

“Harus diambil cara gimana memotong birokrasi antara PPATK, BI, dan OJK. Karena, kalau mau lanjut ke pidana, harus ada bukti transfernya,” tutup Fritz.