November 27, 2024

Hak Pilih Pasien Covid-19 OLEH TITI ANGGRAINI

Di tengah menanjaknya kasus positif Covid-19 dan berbagai kritik publik, pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum bergeming melanjutkan Pilkada 2020 di 270 daerah.

Ada banyak alasan yang dikemukakan untuk melaksanakan pilkada di tengah anggapan belum optimalnya upaya menangani penyebaran Covid-19. Mulai dari kemendesakan untuk mendapatkan kepemimpinan definitif secara tepat waktu, pilkada sebagai medium pengendalian Covid-19, momen untuk membantu pemulihan ekonomi masyarakat, sampai referensi negara lain yang berhasil menyelenggarakan pemilihan di masa pandemi.

Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi memang berdampak pada banyak hal. Pemilihan menjadi lebih rumit, kompleks, mahal, dan bisa memengaruhi akses informasi pemilih serta kualitas kesetaraan kompetisi antarcalon dalam berkampanye (Adhy Aman, 2020).

Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi memang berdampak pada banyak hal.

Oleh karena itu, pemilihan di masa pandemi mestinya ditopang dasar hukum yang kuat, dukungan politik yang luas, komunikasi publik yang jelas dan transparan, proporsionalitas tindakan, berdasar informasi teknis terbaik termasuk dukungan dari otoritas kesehatan, kerangka waktu yang jelas, serta memperhatikan perlindungan pada kelompok rentan yang terdampak Covid-19 (Kofi Annan Foundation Open Letter, 2020).

Hak pilih inklusif

Sayangnya, kemantapan tekad untuk melanjutkan Pilkada 2020 tidak diimbangi kehadiran produk hukum yang benar-benar kuat. Undang-undang yang digunakan saat ini adalah undang-undang yang berlaku untuk kondisi normal dan tidak punya skema khusus untuk penyelenggaraan pilkada di masa pandemi. Semua penyesuaian teknis pemilihan dilakukan berdasar pengaturan yang dibuat penyelenggara pemilu dalam peraturan mereka.

Untuk itu, KPU telah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 yang khusus mengatur pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan dalam kondisi bencana non-alam Covid-19.

Ada sejumlah ketentuan khusus yang dibuat guna memastikan pelaksanaan pilkada sejalan dengan prosedur protokol kesehatan dan tidak menjadi medium baru penularan Covid-19. Mulai dari penerapan 3M secara konsisten, pembatasan peserta kampanye, penghapusan metode kampanye rapat umum, pengurangan jumlah pemilih, pengaturan jadwal kedatangan pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS), dan lain-lain.

Bahkan, dalam rangka menjamin pemenuhan hak pilih inklusif, KPU mengatur pelayanan pemberian suara oleh pasien positif Covid-19, baik yang berada di rumah sakit maupun sedang isolasi mandiri. Ketentuannya, petugas pemilihan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) berkoordinasi dengan pihak rumah sakit dan gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 di wilayah setempat.

KPPS yang bertugas mendatangi pemilih menggunakan alat pelindung diri klengkap. Bagi pemilih yang sedang isolasi mandiri, KPPS dapat melayani hak pilihnya dengan cara mendatangi pemilih tersebut dengan persetujuan saksi dan panwaslu kelurahan/desa atau pengawas TPS, dengan mengutamakan kerahasiaan pemilih.

Aturan itu ternyata mendapat banyak sorotan publik dan juga menimbulkan kekhawatiran terkait pelaksanaannya yang dianggap kurang manusiawi karena seolah lebih mementingkan pilkada ketimbang kemanusiaan bagi pasien Covid-19 yang sedang menjalani perawatan. Ditambah lagi, per 3 Desember 2020 terkonfirmasi 8.369 kasus positif Covid-19, yang merupakan rekor tertinggi semenjak diumumkannya kasus pertama pada awal Maret lalu.

KPPS yang bertugas mendatangi pemilih menggunakan alat pelindung diri lengkap.

Banyak cuitan warganet disertai satire bahwa keputusan melakukan pemungutan suara bagi pasien Covid-19 sebagai tindakan yang tidak bijaksana dan membahayakan. Padahal, pengaturan KPU tersebut sejatinya merupakan upaya untuk memenuhi asas umum dan adil dalam penyelenggaraan pilkada yang mesti menjamin keterpenuhan hak pilih warga negara sebaik mungkin.

Problem teknis

Hanya saja, ada problem teknis yang patut menjadi kekhawatiran terkait skema pemberian suara oleh pasien Covid-19 ini. Pertama, petugas pemilihan yang melayani hak pilih, meskipun menggunakan alat pelindung diri lengkap, bukan tenaga kesehatan yang terbiasa dengan prosedur tetap penanganan pasien Covid-19. Apalagi tenaga kesehatan yang menguasai prosedur keamanan layanan saja bisa tertular Covid-19, maka potensi penularan itu bisa jadi lebih besar pada petugas yang tidak berprofesi sebagai tenaga kesehatan.

Kedua, KPU tidak memiliki simulasi khusus pelayanan pemberian suara bagi pasien Covid-19 untuk memastikan kemantapan proses dan memaksimalkan upaya pencegahan penularan virus. Ketiadaan simulasi sangat mungkin menimbulkan kegagapan petugas saat pelaksanaan pemungutan suara dan juga menimbulkan potensi terjadinya pelanggaran protokol kesehatan saat eksekusinya.

Ketiga, petugas KPPS punya sejumlah beban kerja tambahan saat pemilihan di masa pandemi. Mulai dari pengaturan TPS dan pemilih berdasar protokol kesehatan yang memerlukan konsentrasi dan kedisiplinan tinggi hingga penerapan sistem Sirekap untuk kepentingan rekapitulasi suara elektronik yang merupakan sistem baru dan perlu kecermatan petugas dalam implementasinya.

Dengan demikian, layanan pemberian suara bagi pasien Covid-19 mengandung risiko yang lebih besar meski inklusivitas layanan ini merupakan hal yang baik dan juga dipraktikkan di negara-negara yang menyelenggarakan pemilihan di masa pandemi, semisal Jerman, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan India.

Namun, yang membedakannya di beberapa negara itu pemberian suara selain dilakukan secara langsung dengan dukungan langsung petugas medis juga menerapkan skema khusus, antara lain pemilihan via pos (postal voting/mail-n ballot) maupun pemberian suara lebih awal (early voting) untuk menghindari kerumunan dan tumpukan beban kerja petugas pada hari-H.

Sehubungan dengan itu, sebaiknya KPU mempertimbangkan kembali pemberian suara oleh pasien Covid-19. Semata untuk menjamin praktik itu tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan petugas KPPS.

Konsep adil dalam pilkada harus pula dimaknai keadilan perlakuan pada para petugas pemilihan untuk mendapatkan rasa aman dari paparan Covid-19 serta bisa bertugas dengan tenang tanpa takut dan terintimidasi oleh adanya kekhawatiran akan terpapar Covid-19.

Apalagi ada beban teknis cukup berat para petugas KPPS dalam mengelola TPS guna memastikan sepenuhnya berjalan sesuai protokol kesehatan. Apalagi, dari sisi teknis, harus diakui ada persiapan kurang optimal terkait simulasi dan kemampuan penguasaan aturan dalam melayani pemberian suara bagi pemilih yang terpapar Covid-19.

Jangan pertaruhkan memori kolektif warga atas praktik demokrasi elektoral kita sebagai sesuatu yang membahayakan dan bisa mengancam jiwa manusia. Sebab, demokrasi sejatinya merupakan sistem nilai yang meninggikan martabat manusia dan bukan ancaman terhadap nyawa.

Titi Anggraini Pembina Perludem; Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI.

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 7 Desember 2020 di halaman 6 dengan judul “Hak Pilih Pasien Covid-19”. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/12/07/hak-pilih-pasien-covid-19/