August 8, 2024

Hakim MK Semestinya Dipilih, Bukan Mengajukan Diri

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) tahun 2001-2008, Bagir Manan, mengusulkan agar hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dipilih melalui proses pencarian tokoh negarawan, bukan proses seleksi terhadap orang-orang yang melamar. Proses pemilihan pun, menurut Bagir, perlu untuk dilakukan melalui satu jalur, bukan tiga jalur seperti pemilihan hakim MK yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam pandangan Bagir, Hakim MK baiknya dipilih oleh kepala negara dengan pertimbangan dari MK dan konfirmasi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini ditujukan agar dapat disusun suatu standar baku yang jelas pertanggungjawabannya.

Adapun hal lain yang perlu diubah, yakni menjadikan masa jabatan hakim MK hanya untuk satu periode dengan jangka waktu yang memadai, yaitu tujuh atau delapan tahun. Peraturan saat ini, yakni Pasal 22 UU No.24/2003 tentang MK menyebutkan bahwa masa jabatan hakim MK adalah lima tahun, dan dapat dipilih kembali pada satu kali masa jabatan berikutnya

“Ini perlu dipertimbangkan untuk memenuhi standar yang mendekati das sollen dan mengurangi pengaruh politization of judiciary dalam pemilihan hakim MK,” kata Bagir, pada forum “Mahkamah Konstitusi Mendengar” di Hotel Borobudur, Pasar Baru, Jakarta Pusat (9/2).

Hal senada diungkapkan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun. Menurut Refly, hakim MK adalah negarawan, dan negarawan bukanlah orang yang mencari lowongan kerja. Hakim MK semestinya dicari dan dipilih, bukan melamar lalu diseleksi. Ukuran negarawan pun mesti dijelaskan secara detil di dalam UU untuk memastikan hakim MK sesuai dengan syarat yang diamanatkan oleh konstitusi.

“Ukuran negarawan ini apa? Apa saja yang menjadikan seseorang pantas disebut negarawan? Ini harus dibreakdown di dalam UU, bukan di masing-masing kepala Pansel (Panitia seleksi),” tegas Refly.

Sama seperti Bagir, Refly juga mengusulkan agar hakim MK hanya menjabat untuk satu periode. Namun, dengan jangka waktu sembilan tahun.