Sejumlah lembaga kepemiluan yang melakukan pemantauan Pilkada 2018, yakni Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Pemilh Indonesia (TePI), dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), menemukan fakta di lapangan bahwa ada ketidakseragaman prosedur yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Empat lembaga melaporkan, ada perbedaan penyelenggara dalam memahami pemberian hak pilih bagi pemilih yang tak membawa formulir C6 dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik atau Surat Keterangan (Suket).
Kaka Suminta, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP) mengatakan bahwa di Jawa Timur dan Sulawesi Tenggara, pemilih yang tidak membawa KTP elektronik atau Suket tetapi namanya terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) tak dilayani pada waktu 7 pagi hingga 12 siang. Namun, di TPS lain di daerah yang sama, petugas melayani pemilih yang namanya terdata di DPT tetapi tak membawa KTP elektronik atau Suket.
“Sekarang kan aturannya kalau dia tidak membawa KTP elektronik atau Suket tapi terdaftar di DPT, dia boleh dilayani jam 7 sampai 12 siang. Tapi ternyata ada perbedaan prosedur,” terang Kaka pada diskusi “Evaluasi Pilkada Serentak 2018” di Media Centre Bawaslu, Gondangdia, Jakarta Pusat (29/6).
Kaka juga melaporkan bahwa di Serang, Banten, ada TPS yang tak mendahului pemungutan suara dengan penghitungan jumlah surat suara terpakai, tidak terpakai, dan surat suara rusak. TPS pun didirikan di rumah penduduk yang tak jelas netralitasnya.
Melengkapi laporan KIPP, Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustiyati mengungkapkan bahwa petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tiga TPS di Depok, Jawa Barat, memiliki prosedur berbeda terhadap pemilih yang tak membawa formulir C6. Di TPS pertama, KPPS mengharuskan agar pemilih memberikan salinan KTP elektronik sebagai syarat untuk memilih. Sedang di dua TPS lainnya, KPPS tak meminta salinan KTP elektronik.
“Padahal kan ditunjukkan saja, tidak perlu difotokopi. Nah, ini kan merepotkan. Padahal namanya ada di DPT,” ujar Khoirunnisa.
Khoirunnisa juga menceritakan bahwa sang suami yang menjadi anggota KPPS di Depok tak mendapatkan briefing sebelum hari pemungutan suara. Hal ini, diduga terjadi di banyak wilayah sehingga banyak pemantau yang menemukan fakta bahwa terdapat prosedur berbeda yang dilakukan oleh petugas KPPS.
“Jadi pas datang, langsung ditanyakan, Mas mau tugasnya apa, Mbak apa. Tidak ada briefing. Ini yang menyebabkan adanya standar prosedur yang tidak sama,” kata Khoirunnisa.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jerry Sumampouw turut mengisahkan hasil temuannya. Ia menemukan petugas KPPS dan pengawas TPS yang pada saat menjalankan tugas di TPS, terpaku pada buku panduan. Hal ini dinilai berbahaya karena tak semua kasus dijelaskan dalam buku panduan.
“Jadi setiap kali ada keluhan, dia harus buka bukunya. Ini bahaya karena saat dia gak menemukan di buku, gak akan diakomodir. Padahal, ini soal hak pilih. Begitu juga pengawas TPS. Mereka bawa buku dan agak textbook,” tandas Jerry.
Untuk Pemilu 2019, masyarakat sipil meminta agar KPU melakukan kontrol kepada jajaran di tingkat bawah guna memastikan setiap anggota KPPS mendapatkan pelatihan dan bimbingan tentang proses pungut-hitung di TPS. Tak boleh ada ketidak seragaman prosedur yang berdampak pada pengurangan pelayanan penyelenggara TPS kepada pemilih.