Misinformasi terjadi diantara publik awam dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Banyaknya kasus-kasus penanganan pelanggaran yang tak membuahkan hasil putusan pengadilan dimaknai sebagai keberpihakan oleh publik. Resah akan hal tersebut, anggota-anggota Bawaslu mulai sering berbicara tentang kemandulan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Tiga pihak yang mesti seragam dalam pandangan, yakni Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, lebih banyak tak seragam dalam penanganan perkara.
“Inilah yang seringkali membuat tuduhan publik kepada Bawaslu, bahwa Bawaslu tebang pilih atau diskriminasi. Bawaslu sudah memaksimalkan agar ada kesamaan pikiran antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. Maknaya, perlu desainke depan, apakah Gakkumdu ini masih efektif untuk menjadi ujung tombak dari penanganan tindak pidana pemilu sehingga tidak ada kasus yang berhenti di Gakkumdu untuk masuk ke proses di pengadilan,” tandas anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo, pada diskusi “Mendorong Akuntabilitas Pengadilan dalam Menangani Perkara Pemilu: Mengawal Profesionalisme Hakim dalam Proses Peradilan Pemilu” di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senayan, Jakarta Selatan (2/4).
Ratna menyebutkan sejumlah kasus yang diputuskan berbeda oleh Sentra Gakkumdu. Salah satunya adalah kasus politik uang yang serupa di DKI Jakarta dan Semarang. Kasus di DKI Jakarta berhasil diputus dengan pemberian sanksi diskualifikasi bagi pelaku, namun di Semarang, pelaku terbebas dari sanksi pidana. Komisi Yudisial (KY) diharapkan dapat hadir melakukan pengawasan terhadap proses penanganan tindak pidana pemilu.
“Politik uang itu ada di Pasal 280 dan Pasal 521. Nah, terkadang tidak jadi diputus karena jaksa memandang Pasal 280 yang jadi acuan. Padahal, dalam pendekatan hukum pidana, yang jadi acuan harusnya asal 521. Akibatnya ada kasus yang sama, tetapi perlakuannya berbeda, tergantung pada jaksa. Nah, disinilah peran Komisi Yudisial untuk mengawasi,” jelas Ratna.
Tak hanya itu, Ratna juga meminta agar KY mengawasi proses penanganan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena kerap bermasalah. Kasus terakhir di Yogyakarta, seorang calon anggota legislatif (caleg) yang didiskualifikasi melalui keputusan pengadilan karena terbukti melanggar Pasal 280 dan Pasal 284, diminta dimasukkan kembali ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) oleh PTUN.
“Di Yogyakarta, sudah dibatalkan, kemudian diproses di TUN. Keluar putusan TUN, memerintahkan KPU untuk memasukkan kembali di DCT. Padahal, Bawaslu, terhadap permohonan sengketa dengan objek keputusan KPU yang menindaklanjuti putusan pengadilan, tidak bisa diterima. Jadi, KY bisa juga memeriksa putusa-putusan dari peradilan TUN,” ujar Ratna.
Ratna mendorong masyarakat agar melaporkan temuan pelanggaran kepada jajaran Bawaslu. Bawaslu menindaklanjuti semua temuan dan laporan, serta berupaya memprosesnya secara transparan. Masyarakat diimbau untuk berani menempuh jalur hukum karena perlindungan hukum akan diberikan kepada pelapor.
“Jadi, kalau ada peristiwa yang disaksikan di lapangan, yang menurut masyarakat itu pelanggaran, silakan lapor ke Bawaslu sehingga tidak jadi kegundahan sendiri. Kami tidak hanya ada di pusat, tapi juga di desa dan kelurahan. Jadi, jangan tidak melapor tapi menyebar informasinya. Itu bisa jadi fitnah bagi kami,” tutup Ratna.