Beberapa hari setelah pelaksanaan pilkada serentak di 171 daerah di Indonesia pada 27 Juni lalu, perdebatan publik mengenai survei muncul ke permukaan.
Pertanyaan dari beberapa pihak muncul terkait hasil hitung cepat (quick count) di beberapa daerah yang dianggap berbeda dari hasil serangkaian survei (jajak pendapat) yang berlangsung sebelum pelaksanaan pemungutan suara.
Muncul dugaan lembaga-lembaga survei tertentu melakukan kegiatannya berdasarkan pesanan dan pendanaan politisi-politisi dan atau partai yang berkepentingan. Dengan kata lain, jajak pendapat tak independen dan mungkin terjadi manipulasi data sehingga hasil yang diumumkan tidak sama dengan pendapat umum yang sebenarnya.
Dugaan-dugaan ini muncul terutama karena hasil hitung cepat di dua provinsi (Jawa Barat dan Jawa Tengah) memperlihatkan hasil perolehan suara yang jauh lebih tinggi bagi dua pasang calon, yaitu Sudrajat/Akhmad Saikhu di Jawa Barat dan Sudirman Said/Ida Fauziah di Jawa Tengah, dibandingkan hasil-hasil survei yang diumumkan sebelum hari pemilihan. Beberapa lembaga survei menemukan dalam survei yang dilaksanakan sebelum pemilihan kedua paslon ini mendapatkan suara berkisar pada angka 10 persenan.
Sementara, hasil hitung cepat memperlihatkan Sudrajat/Saikhu mendapatkan lebih dari 20 persen, dan Sudirman/Ida lebih dari 40 persen. Keduanya ternyata tak terpaut jauh dari perolehan pasangan yang menurut hasil hitung cepat memenangkan pilkada yaitu Ridwan Kamil/UU Ruzhanul sebesar 30-an persen dan Ganjar Pranowo/Taj Yasin 50-an persen.
Bagaimana hal ini bisa dijelaskan? Lebih jauh, beberapa pertanyaan relevan bisa diajukan: apa masalah-masalah lembaga penyelenggara survei? Aspek apa saja yang perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan— baik kandidat, politisi, partai, media maupun masyarakat — untuk memahami jajak pendapat?
Beberapa kemungkinan penjelasan
Perbedaan hasil hitung cepat dan jajak pendapat bisa dijelaskan melalui perspektif metodologis. Pertama, keduanya adalah pengumpulan data dengan cara berbeda. Dalam jajak pendapat (survei), manusia/responden adalah obyek yang ditanya persepsi atau preferensinya terhadap sebuah hal, bisa preferensinya terhadap kandidat atau partai yang akan dipilih, bisa juga persepsinya tentang pelayanan publik yang diberikan pemda tempatnya tinggal. Dengan kata lain, survei adalah persepsi subyektif individual yang tentu mengalami fluktuasi dan bisa berubah.
Sementara, hitung cepat adalah pengumpulan data dari hasil rekapitulasi penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) setelah para pemilih memberikan suaranya. Dengan melakukan sampling yang ketat secara metodologis TPS mana yang akan diambil, akan didapatkan gambaran cukup akurat dari hasil pemilihan, bukan lagi pada tingkat persepsi pemilih, tetapi real preferensi pemilih karena pemungutan suara telah dilakukan. Bila dalam survei toleransi kesalahan (margin of error/moe) bisa cukup lebar bergantung jumlah responden yang ditanya, biasanya moe berkisar 3-4 persen, maka dalam hitung cepat moe jauh lebih kecil, umumnya pada angka 1 persen.
Pertanyaannya tetap relevan untuk diajukan: mengapa bisa berbeda? Ada beberapa kemungkinan jawaban. Pertama, penting dicatat bahwa apa yang terjadi di Jawa Barat hari ini bukan hal mengejutkan dan bukan pula pertama kali terjadi. Pada pilgub Jabar sebelumnya di 2013, pasangan yang diajukan PDI Perjuangan yaitu Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki adalah pasangan underdog di mana dalam setiap survei sebelum pilgub berlangsung selalu berada di urutan terbawah dalam perolehan tingkat dukungan di antara pasangan lain. Rieke/Teten menurut beragam survei ketika itu hanya akan memperoleh suara berkisar 10 persen.
Toh ketika pilgub berlangsung, pasangan ini mendapat suara kedua terbanyak setelah pasangan Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar sebagai petahana yang didukung PKS. Selisih suara hanya sekitar tiga persen. Artinya, sejarah berulang namun kali ini yang mengalaminya adalah pasangan Sudrajat dan Saikhu.
Kemungkinan kedua, dalam hal Jawa Barat, mungkin pemilih Jawa Barat memiliki karakter keunikan berbeda. Loyalitas terhadap kandidat atau partai tertentu tak solid, mungkin pula mengubah dan memantapkan pilihan pada saat-saat terakhir. Bisa dikatakan bahwa pemilih Jawa Barat adalah swinging voters.
Pada 1999, PDI-P adalah pemenang dari pemilu legislatif pertama di masa Reformasi, di Provinsi Jawa Barat. Namun, pada Pemilu Legislatif 2004 provinsi ini dimenangi Golkar, selanjutnya pada 2009 dimenangi Partai Demokrat dan pada 2014 kembali dimenangi PDI-P. Penyebabnya mungkin karena tingkat party identification yang rendah sebagaimana ditemukan umumnya di Indonesia, yang menyebabkan kandidat lebih penting daripada ideologi partai.
Kemungkinan ketiga, mobilisasi pemilih yang memengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Tingkat partisipasi pemilih ibarat pisau bermata dua. Boleh jadi seorang pemilih menyatakan akan mendukung seorang calon/sebuah partai, tetapi di hari pemilihan ia tak datang ke tempat pemilihan suara. Tentu saja ini akan memengaruhi tingkat perolehan suara kandidat bersangkutan di hari pemilihan.
Dalam literatur mengenai perilaku pemilih, umumnya disepakati bahwa kelompok kelas menengah yang “rasional” relatif lebih rentan terhadap kemalasan datang ke tempat pemilihan. Karena mereka ini merasa bahwa satu suara miliknya tak akan memengaruhi hasil dan atau hasilnya tak akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Bila seorang kandidat yang tampak terlalu kuat dalam survei-survei menjelang pemilihan berlangsung, boleh jadi pendukung kandidat yang dominan merasa satu suara miliknya tak akan menambah kemenangan kandidat itu dan berujung pada ketidakhadiran di TPS.
Dengan kata lain, efek “negatif” dari pemberitaan mengenai temuan survei sejatinya bisa dialami baik oleh kandidat yang dalam survei dianggap kemungkinan besar akan menang karena persentase dukungannya demikian tinggi, dan juga oleh kandidat yang dianggap tingkat persentase dukungan rendah. Kemungkinan ketiga ini mungkin terjadi di Jateng terhadap pasangan Ganjar/Taj Yasin dan Sudirman/Ida).
Di samping itu, survei-survei sebelum pemilihan bisa mendorong kandidat yang dianggap lemah untuk memobilisasi basis pemilih masing-masing dan mengintensifkan kampanye di saat-saat terakhir dan membuahkan hasil yang menjungkirkan hasil survei.
Kerja intensif dan efektif dari mesin partai dan mesin kampanye kandidat di saat-saat akhir ini mungkin menjelaskan mengapa pasangan Rieke/Teten yang diusung PDI-P dalam pilgub Jabar tahun 2013, pasangan Sudrajat/Saikhu dan Sudirman Said/Ida yang diusung Gerindra/PKS di Jabar dan Jateng dapat suara lebih besar jumlahnya dibandingkan data survei sebelum pilkada berlangsung.
Dalam era post-truth dan maraknya hoaks, kampanye negatif terhadap para paslon lewat berbagai medium, termasuk sosmed, mudah terjadi bahkan hingga beberapa jam menjelang pelaksanaan pemilihan. Serangan kampanye negatif di menit-menit terakhir berpotensi menyebabkan kenaikan atau penurunan suara.
Tantangan lembaga survei
Kemungkinan keempat lebih pada kemampuan lembaga-lembaga survei dalam memotret mood masyarakat. Dalam pemilu dan jajak pendapat di masyarakat yang terbelah, ada tantangan-tantangan khusus bagi penyelenggara jajak pendapat, baik secara metodologis maupun penyusunan instrumen kuesioner.
Dalam situasi kompetisi yang melibatkan emosi, sentimen dan isu primordial, tantangan bagi penyelenggara survei adalah mengurangi kemungkinan bahwa responden tidak memunculkan preferensi mereka yang sebenarnya, dan hanya memberikan jawaban yang socially acceptable. Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan agama, etnik, dan relasi sosial yang sensitif potensial menyebabkan responden waspada dan menyembunyikan preferensi mereka sesungguhnya.
Fenomena ini mulai muncul dalam pemilihan presiden di Amerika tahun 2012 antara Donald Trump dan Hillary Clinton. Kampanye sedemikian rupa yang keras dari pihak anti-Trump menimbulkan atmosfer di mana calon pemilih Trump dianggap sebagai rasis. Akibatnya banyak calon pemilih Trump menyembunyikan preferensinya dalam beragam jajak pendapat sebelum hari pemilihan berlangsung.
Relatif tingginya angka responden yang menyatakan “rahasia” atau “tidak menjawab” seperti yang terjadi dalam beberapa survei di Indonesia seperti terlihat dalam Pilkada 2018 dan juga Pemilihan Gubernur DKI 2017 sebelumnya, menurut hemat penulis, adalah tanda-tanda bahwa atmosfer serupa menghinggapi politik dan masyarakat kita hari ini.
Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi jajak pendapat di Indonesia. Penyelenggaraan jajak pendapat kita baru berkembang sejak pemilihan langsung presiden 2004 dan pilkada langsung 2005 di mana sejak itu opini publik menjadi sangat penting untuk diketahui. Karena itu, perbaikan terus menerus dari sisi metodologi, instrumen, dan manajemen penyelenggaraan survei sangat diperlukan, bekerja sama dengan media, masyarakat akademik, aktor politik dan publik yang kritis. Dengan demikian jajak pendapat bisa menjadi penyumbang bagi penguatan demokrasi di Indonesia.
PHILIPS VERMONTE, DIREKTUR EKSEKUTIF CSIS DAN KETUA PERHIMPUNAN SURVEI DAN OPINI PUBLIK INDONESIA (PERSEPI)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 4 Juli 2018 di halaman 6 dengan judul “Hasil Survei vs Hitung Cepat”. https://kompas.id/baca/opini/2018/07/04/hasil-survei-vs-hitung-cepat/