August 8, 2024

I Dewa Gede Palguna Minta DKPP Cabut Pasal 19 Peraturan DKPP

Evi Novida Ginting menghadirkan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), I Dewa Gede Palguna sebagai saksi ahli pada sidang gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada sidang Selasa (7/7), Palguna mengkiritik Pasal 19 Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) No.3/2017. Pasal tersebut menormakan “Dalam hal Pengaduan dan/atau Laporan yang telah dicatat dalam Berita Acara Verifikasi Materiel dicabut oleh Pengadu dan/atau Pelapor, DKPP tidak terikat dengan pencabutan Pengaduan dan/atau Laporan”.

Menurut Palguna, aturan tersebut tak memiliki dasar konstruksi hukum. Dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum  yang bersifat inter partes dan adversarial, jika penggugat telah menarik gugatannya, maka persoalan atau kepentingan hukum telah hilang. Tak ditemukan pula penjelasan DKPP mengenai asas hukum yang dirujuk sebagai dasar pemberlakuan norma.

“Saya tidak melihat dari asas hukum apa Pasal 19 itu diturunkan, atau dari konstruksi hukum bagaimana pasal itu diturunkan. Ketika tidak ada asas hukumnya, tempat asal dari norma hukum itu tidak ditemukan, apalagi jika ternyata rumusan itu bertentangan dengan asas hukum, maka rumusan hukum yang merupakan dogmatikal hukum itu menjadi bermasalah,” tegas Palguna.

Karena tak memiliki rujukan hukum, Palguna meminta DKPP mencabut Pasal 19. Pada praktiknya, pasal tersebut juga diterapkan secara inkonsisten.

“Praktik yang ditimbulkan Pasal 19 itu sudah menunjukkan inkonsitensi dalam pelaksanaannya. Itu semakin meyakinkan saya, tidak ada dasarnya dari Pasal 19 itu. Oleh karena itu, saya minta pasal itu dicabut DKPP,” tandas Palguna.

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa dalam perkara yang bersifat adversarial, berlaku prinsip pihak yang mendalilkan yang dibebankan tugas pembuktian. Pun, hakim, merupakan legislatur yang duduk atau pasif. Pihak penggugat lah yang aktif membuktikan. Dengan terlibatnya majelis DKPP dalam pembuktian pelanggaran etik, hal tersebut dinilai melanggar prinsip imparsialitas.

“Apa kepentingan hakim di sini untuk aktif membuktikan untuk perkara yang sifatnya inter partes dan adversarial? Menurut saya, tidak ada konstruksi hukum untuk menjelaskan keaktifan hakim. Itu menyalahi prinsip imparsialitas dan juga menjadikan proses itu akuntabilitasnya menjadi dipersoalkan,” jelas Palguna.

Menanggapi penjelasan Palguna, kuasa hukum tergugat menyampaikan bahwa penyusunan Peraturan DKPP No.3/2019 yang dipersoalkan menyertakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Palguna menjawab, meskipun pihak yang berkepentingan dilibatkan dalam proses penyusunan suatu ketentuan perundang-undangan, namun bila tak sesuai dengan asas hukum, masa aturan tersebut mesti dibatalkan.