Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan uji materi atas Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) No.10/2016 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal tersebut mengatur salah satu syarat untuk menjadi calon kepala daerah (cakada) yakni tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. ICW dan Perludem meminta agar MK mengembalikan masa tunggu bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai cakada selama sepuluh tahun atau dua kali periode pemilu.
“UU ini tidak bisa dilepaskan dari Putusan MK terdahulu yang tetap memberikan izin bagi mantan terpidana, khususnya kasus korupsi, untuk maju kembali menjadi kepala daerah, tanpa jeda waktu. Padahal, di dalam Putusan MK No.4/2007, itu memberikan jeda waktu selama lima tahun. Tapi lalu, dengan Putusan MK No.42/2015, menghilangkan masa tunggu lima tahun tersebut. Nah, kami akan perbaiki permohonan kami, kami minta agar MK kembali memberikan jeda waktu, kali ini selama sepuluh tahun,” terang Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, kepada rumahpemilu.org usai sidang di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (8/10).
Menurut ICW, Pasal 7 ayat (2) huruf g di UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 18 ayat 4, Pasal 22e ayat 1, dan Pasal 28d ayat (1) UU Dasar 1945.
Di dalam persidangan, Kuasa Hukum pemohon, Slamet Santoso menyampaikan bahwa aturan yang membolehkan mantan terpidana, khususnya kasus korupsi, untuk mendaftar sebagai cakada dengan syarat mengumumkan kepada publik bahwa dirinya merupakan mantan narapidana tidak efektif mencapai sasaran tujuannya. Faktanya, kata Slamet, mantan terpidana cenderung asal-asalan dalam mengumumkan informasi tersebut ke publik sehingga publik tak mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam proses pemilihan.
“Tidak ada mekanisme standar yang bisa dijadikan rujukan. Terdapat fakta cakada mantan terpidana hanya mengumumkan statusnya di koran kecil di daerah. KPU juga tidak punya instrumen untuk menafsirkan kualifikasi pengumuman tersebut apakah layak atau tidak untuk diketahui publik,” tandas Slamet.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan bahwa dengan tiadanya masa tunggu bagi mantan terpidana untuk mencalonkan diri sebagai cakada, mantan terpidana dapat melakukan kembali tindak pidana yang sama. Sebagai preseden, kasus di Kota Kudus, Bupati Kudus periode 2003-2008, Muhammad Tamzil, terbukti melakukan tindak pidana korupsi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) dan dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun pada 2014. Tamzil bebas pada akhir 2015, mencalonkan diri sebagai calon bupati Kudus pada Pilkada 2018, teprilih menjadi Bupati Kudus untuk periode 2018-2023, dan kembali tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan korupsi pada 27 Juli 2019.
“Ada preseden. Jadi, belum satu tahun dia menjabat, tapi sudah melakukan korupsi lagi. Makanya, dalam permohonan kami, kami katakan bahwa ketiadaan masa tunggu bagi mantan terpidana sebagai calon kepala daerah telah merusak sendi demokrasi kita,” tegas Titi.
Perludem dan ICW berpendapat bahwa pejabat public yang dipilih melalui pemilihan umum tidak dapat diserahkan kepada pemilih tanpa persyaratan yang dapat memastikan yang bersangkutan berkualitas dan berintegritas. Metode pengumuman diri sebagai mantan terpidana kepada publik melalui media tebrukti tak efektif, negara diharapkan hadir untuk memberikan proteksi.
Terhadap permohonan tersebut, para hakim MK yang menyidangkan memberikan sejumlah masukan. Hakim MK Suhatoyo misalnya, meminta agar pemohon memberikan gambaran penghitungan jeda waktu. Terdapat kasus di MK mengenai penghitungan jeda waktu bagi terpidana yang menjalani hukuman percobaan.
“Ada persoalan kalau kita beri jeda waktu lima tahun, kapan sih dihitung ketika orang itu keluar, tapi ketika menjalani pidana percobaan. Supaya ke depan tidak menimbulkan persoalan. Tolong jelaskna ini agar MK bisa bersikap juga. Dari mana hitungnya lima tahun ketika seorang terpidana menjalani hukuman bersyarat atau dia diberi keringanan,” tukas Suhartoyo.
Hakim MK lainnya, Saldi Isra merekomendasikan agar pemohon menjelaskan rasionalisasi pemilihan masa jeda waktu yang diminta, berikut dengan elaborasi perkembangan isu mantan terpidana yang mencalonkan diri di penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat. Sedangkan Hakim MK Arief Hidayat juga meminta pemohon untuk memasukkan sejumlah kajian terkait korupsi dan rekrutmen pejabat publik, pendidikan politik masyarakat, sistem politik dan dampaknya pada biaya politik calon kepala daerah, dan teori kriminologi.
“Nanti mohon secara akademik kaitkan antara kenapa kok bisa orang yang begitu masih bisa terpilih kembali, dan kenapa orang sudah pernah terpidana karena kasus korupsi, masih mengulang. Apakah ada kesalahan sistem rekrutmen pejabat publiknya? Tolong itu dikaitkan supaya kita mendapat gambaran yang komplit dari pemohon,” saran Arief.