Memiliki penghidupan yang sejahtera menjadi impian semua warga negara. Namun sayangnya, publik tak memahami cara kerja politik kepemiluan dan demokrasi vis a vis kesejahteraan.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Topo Santoso, yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), mengatakan bahwa untuk membangun negara demokrasi yang sehat dan mampu menyejahterakan semua masyarakat, dibutuhkan rentetan sorotan sejak pra pemilu, pemilu, dan pasca pemilu. Sorotan kepada aktor politik tak cukup membuat negara menjadi baik.
“Jangan pas pemilu atau pra pemilunya saja yang disorot. Misal, Undang-Undang Pemilu terlambat dibuat, itu disorot, tapi setelah pemilunya selesai, kerja bupati, gubernur, tidak disorot. Padahal mereka adalah produk pemilu,” tegas Topo pada acara “Catatan Akhir Tahun Perludem: Masih Prosedural, Belum Substansial” di Guntur, Jakarta Selatan (27/22).
Selanjutnya, Topo menjelaskan, korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, yang marak terjadi di 2017, tak terlepas dari proses pra pemilu dan pemilu yang bermasalah. Seringkali, praktek korupsi terjadi akibat masuknya sokongan dana “haram” kepada para calon kepala daerah.
“Pasti ada, misal, yang menyokongi atau proses tidak benar sehingga dia kumpulkan uang dari hal-hal yang tidak benar. Masyarakat harus memperhatikan proses pencalonan dan kampanye mereka, karena tidak lepas dari itu,” kata Topo.
Topo mengajak masyarakat untuk aktif mengawal dan menagih janji yang disungguhkan oleh para kandidat. Jika kerja tak sesuai janji, masyarakat sebagai pemilik kedaulatan berhak mencabut mandatnya dengan tidak memilihnya kembali pada pemilu selanjutnya.
“Harus terus dikontrol sebab proses pemilu tidak hanya soal pemungutan suara Harus ada peningkatan terhadap hasilnya. Di sinilah makna kedaulatan rakyat itu akan bekerja,” tutup Topo.