Council of Foreign Relations mencatat bahwa Indonesia berada di urutan ketujuh dari sepuluh negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di dunia. Di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia bahkan berada di urutan tertinggi kedua setelah Kamboja(Media Indonesia, 17 April 2018). Hal yang sama disampaikan oleh United Nations Children’s Fund (Unicef). Dari data yang dikelolanya, terdapat satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia yang berusia dibawah 18 melakukan perkawinan(Katadata.com, 9 Agustus 2018).
Di bidang politik, Indonesia berada di posisi ke 114 dari 192 negara di dunia dalam hal tingkat keterwakilan perempuan di parlemen nasional. Di regional ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), posisi Indonesia juga tidak membanggakan dengan mengantongi peringkat keenam(Data Inter-Parliamnet Union per 1 Februari 2019).
Faktanya, dalam sejarah politik Indonesia, negara ini memang belum pernah mencapai keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen. Pada Pemilu 2004, tingkat keterwakilan perempuan hanya 11,82 persen. Pemilu 2009, 17,86 persen. Pemilu 2014, 17,32 persen. Pemilu 2019, 20,5 persen(Detik.com, 20 Agustus 2018).
Terkait dengan kondisi perempuan tersebut, Selasa (10/12), Plan Internasional Indonesia menggelar acara “Summit on Girls, Getting Equal: Let’s Invest in Girls!” di Balai Kartini, Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Menyinggung isu politik, Plan mengadakan satu diskusi dengan topik “She Votes for Her Right” dalam rangkaian diskusi satu hari. Pegiat pemilu, pegiat isu perempuan, dan politisi hadir membagikan buah pikiran.
Pemilu memberikan ruang berinvestasi pada perempuan muda
Terdapat 13 asas pemilu yang diakui secara internasional. Dua diantaranya adalah bebas dan adil. Salah satu penjelmaan asas adil yakni prinsip one person, one vote, one value (opovov) atau satu orang, satu suara, satu nilai. Kesetaraan nilai suara merupakan pesan bahwa setiap orang, terlepas dari profesi, latar belakang pendidikan, dan status sosial, adalah sama. Prinsip opovov pendek kata merupakan pengakuan terhadap martabat manusia, termasuk perempuan di dalamnya.
“Sebagai manusia, kita diberi hak suara tanpa dibedakan oleh kelas dan ekonomi, tanpa dibedakan apakah kita profesor atau mahasiswa. Suara itu dihitung secara setara. Suara perempuan sama berharganya dengan laki-laki,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada diskusi “She Votes for Her Right”.
Titi lanjut menjelaskan, bahwa pemilu memberikan ruang investasi pada perempuan muda. Di ranah pemilih, negara dan masyarakat sipil dapat berinvestasi pada perempuan muda dengan memberikan pendidikan politik agar perempuan muda dapat menggunakan hak suaranya demi kepentingan masyarakat banyak dan lingkungan hidup yang sehat, khususnya kepentingan perempuan di segala bidang. Di ranah penyelenggara pemilu, Undang-Undang (UU) Pemilu dan Pilkada memberikan ruang bagi perempuan berusia minimal 17 tahun menjadi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dan di ranah peserta pemilu, perempuan berusia minimal 25 tahun dapat mencalonkan diri sebagai bupati dan wali kota.
“Jadi, let’s invest in girls. Pemilu itu memberikan investasi bagi perempuan-perempuan muda di politik. Yang ingin jadi peserta pemilu, maju sebagai peserta pemilu. Yang ingin jadi penyelenggara pemilu, silakan menjadi penyelenggara pemilu. Yang jadi pemilih, kehadirannya mesti menjadi bagian untuk memperkuat kepentingan perempuan,” tutur Titi.
Pada ranah peserta pemilu,Titi menyinggung wacana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Wacana tersebut dinilai Titi mengkorupsi capaian reformasi dan menutup kanal perempuan untuk memimpin sebagai kepala daerah atau presiden.
“Kita investasi untuk anak perempuan, tapi kalau ruang politik itu dihambat, apakah investasi kita menemukan salurannya? Jangan-jangan hanya sekadar investasi, tapi tidak menemukan kanalisasi. Jadi, cara kita menjaga demokrasi, memfasilitasi hak warga negara, itu cara kita berinvestasi pada perempuan,” tandasnya.
Capaian reformasi dan agenda kesetaraan gender justru membutuhkan tindakan khusus lebih banyak. Saat ini, pada mekanisme rekrutmen penyelengagra pemilu dan pencalonan di Pilkada, tindakan khusus untuk perempuan belum dihadirkan. Padalah, perempuan tak memiliki modal sosial, ekonomi, dan politik sebanyak laki-laki.
“Affirmative action masih relevan. Merebut kekuasaan itu tidak mengenal jenis kelamin. Sulit perempuan jika tidak ada affirmative action,” tukas Titi.
Titi mendorong peran sisterhood atau persaudaraan sesama perempuan diantara pemilih, penyelenggara pemilu, dan politisi. Dengan bersinergi, berkolaborasi, dan berinovasi bersama, diyakini politik kesetaraan dan berpolitik untuk keadilan, dengan perempuan sebagai aktor di garda depan, mampu diwujudkan.
Yang diserukan oleh Titi disambut oleh politisi muda, Puteri Komaruddin. Usai menceritakan usahanya dalam menyelesaikan masalah rentenir atau bank keliling yang menimpa ibu-ibu rumah tangga di daerah pemilihannya, Puteri mengatakan bahwa sebagai politisi muda perempuan, sekalipun diuntungkan dalam proses pencalonan dengan nama besar dan posisi sang ayah, Ade Komaruddin, politisi senior Partai Golongan Karya (Golkar), tetap sulit meyakinkan kawan sesama pembuat kebijakan mayoritas laki-laki, bahwa apa yang dibawanya mewakili kepentingan banyak orang. Oleh karena itu, sisterhood diharapkan mampu membantu para perempuan politisi muda dengan menciptakan support system.
“Tepat tidak mudah menjadi perempuan anggota DPR, terutama ditengah situasipartai yang masih sangat maskulin. Ruang rapat dipenuhi asap rokok, pendapat perempuan dianggap tidak mewakili suara semua orang, dan perempuan dianggap mengambil keputusan dengan lebih mengutamakan perasaan. Padahal itu tidak benar,” ujar Puteri.
Sisterhood juga dibutuhkan oleh perempuan calon penyelenggara pemilu. Seperti dikisahkan oleh Irma, petani dari Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, tanpa adanya tindakan khusus untuk perempuan dan dukungan dari sesama perempuan untuk menyuarakan pembelaan terhadap perempuan, perempuan di daerah berjuang sendirian. Irma merupakan mantan calon anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang telah lolos seleksi sepuluh besar dengan nilai yang ia klaim, terbaik. Namun, dirinya tak dipilih lantaran Tim seleksi lebih memilih calon yang memiliki kesamaan organisasi atau kekerabatan.
“Saya pernah jadi anggota KPPS, sampai jadi ketua PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) selama dua periode. Tapi, capaian kita di daerah itu tidak menjadi bekal untuk jadi komisioner KPU di daerah. Anggota KPU di Takalar semuanya laki-laki. Seleksi, saya masuk sepuluh besar. Saya satu-satunya perempuan. Saya dapat nilai terbaik, tapi yang dibawah saya yang terpilih,” kisah Irma pada diskusi yang sama.
Menanggapi kebutuhan akan sisterhood di bidang politik, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Dian Kartikasari menyatakan akan menggerakkan organisasinya untuk membela perempuan yang tak mendapatkan haknya karena politik nepotisme atau tindakan kolusi-korupsi. Dian mengonfirmasi adanya kejanggalan dalam proses seleksi anggota KPUD.
“Teman-teman di KPU memang mengalami itu. Kalau mau jadi, bayar. Di KPI, yang penting kalau dia jujur, akuntabel, kita bantu lawan yang begitu. Kami minta, agar bisa kami bantu, makanya suarakan yang tidak beres itu!” kata Dian.
Hadir pula pada diskusi “She Votes for Her Right” politisi dari Partai NasDem, Muhammad Farhan. Ia mendukung semua pihak, tak hanya perempuan, untuk melakukan penguatan perspektif gender pada organisasi, komunitas, dan lingkungan masyarakat. Pesannya, kebijakan berperspektif gender mestilah berpihak pada kelompok gender yang paling rentan.
Referensi:
https://katadata.co.id/infografik/2018/08/09/perkawinan-anak-di-indonesia-mengkhawatirkan
https://mediaindonesia.com/read/detail/155693-tingkat-perkawinan-anak-indonesia-urutan-ke-2-di-asean
http://archive.ipu.org/wmn-e/classif.htm
https://news.detik.com/kolom/d-4174432/keterwakilan-perempuan-dalam-politik