November 15, 2024

Iseh Penak (Pemilu) Jamanku To?

Judul tulisan ini diambil dari kalimat “Piye kabare? Iseh penak Jamanku to?” yang marak ditulis di kaos dan reklame mobil truk. Kalimat bergambar Soeharto, presiden Orde Baru yang kuasannya langgeng dari Pemilu 1971-1997. Penting mengklarifikasi benar/tidak-nya kalimat itu dengan membandingkan pemilu saat zaman dinilai penak (enak/gampang) dengan pemilu di zaman setelahnya yang dinilai tak enak.

Ada kesan, pertanyaan itu mau membenarkan Orde Baru lebih baik dibandingkan orde setelahnya. Padahal pembenarannya sangat bisa disanggah. Nilailah kualitas zaman (Orde) dengan menilai kualitas pemilunya. Pemilu adalah miniatur demokrasi. Kualitas pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat” sangat bisa dinilai dari kualitas penyelenggaraan pemilunya.

Jelas, penyelenggaraan pemilu yang pura-pura di saat Orde Baru merupakan cerminan dari pemerintahan otoriter Soeharto yang penuh kepura-puraan demokrasi. Tak ada kontestasi di pemilu Orde Baru karena pemilih sudah tahu, “golongan kuning” akan terpilih. Tak ada kegairahan akademis mengenai sistem pemilu, karena otoritarian Soeharto telah mengabadikan sistem presidensial yang kuasanya pun diabadikan melalui pengkondisian parlemen. Anggota legislatif yang dipilih dari sistem pemilu proporsional tertutup didominasi “golongan kuning” di iklim kontestasi yang menghitamkan partai hijau dan partai merah.

Tak ada penegakan hukum karena kecurangan berupa rekayasa dilakukan massif dan sistemik menyertai mobilisasi warga negara. Jadi, tak ada partisipasi saat “zaman penak” itu, yang ada mobilisasi. Pegawai negeri dipaksa melalui ancaman karir jika tak patuh memilih “beringin”.

Tak ada “komisi pemilihan umum” yang bersifat (nasional, tetap, dan) mandiri. Penyelenggara pemilu saat itu hanyalah perpanjangan tangan eksekutif dan legislatif yang ingin meneruskan kuasanya di masa pemerintahan berikutnya.

Pemilu=miniatur demokrasi

Berdasarkan aspek kontestasi peserta pemilu, sistem, penyelenggara (komisi), hukum dan penegakannya, serta demokratisasi, kita bisa menilai kualitas pemilu dan pemerintahan demokrasi. Penilaian berdasar lima aspek itulah yang bisa menjelaskan pemilu merupakan miniatur demokrasi.

Demokratisasi baik berjalan jika pembagian pilar kuasa bisa berjalan mandiri dan saling mempengaruhi. Yang terjadi di Orde Baru, legislatif hasil pemilu beserta perwakilan golongan militer merupakan satu kesatuan dengan eksekutif dan yudikatif. Fungsi kendali pilar pers dan organisasi massa tak berjalan karena sistem pemerintahan membungkam warga dengan ancaman.

Jika setuju dengan buku “Demokrasi adalah Diskusi”, Orde Baru yang dihasilkan pemilu pura-pura pun menghasilkan kepura-puraan bicara. Yang muncul di publik bukan gambaran sebenarnya. Kaum “merah” harus sembunyi menyampaikan referensi “kiri” dan berbisik-bisik mengatakan “alineasi”. Kaum “hijau” tak bisa bicara-dengar khilafah, jihad, dan sunatullah pergantian kepemimpinan meski berada di dalam rumah tuhan. Tak ada kebebasan bicara, apa lagi diskursus deliberatif yang menurut Habermas suatu axioma demokrasi.

Musisi saat itu banyak memprotes melalui kalimat kiasan dalam lirik lagunya. “Anissa” (1986) karya Sang Legenda Iwan Fals tak ada yang berani memasukannya dalam album karena liriknya merekam pembantaian massa oleh kuasa. Pas Band (1995) teriak, kita selalu jawab “iya” dan “iya”, dicetak jadi penjilat. Azis MS (Jamrud) dalam “Berakit-Rakit” (1996) bilang, kita tak bisa nyanyi di rumah sendiri karena esoknya tubuh pasti luka atau jadi berita “Dijemput” dan “Menghilang”. Lalu Reformasi terjadi, Ahmad Dhani dalam “Impotent” berkata, apa arti damai (perut kenyang) bila otak terkubur dan semuanya membisu.

Soal kesejahteraan

Ada yang mewajarkan, Orde Baru lebih “penak” dari pada orde setelahnya. Aspek penilainya adalah kesejahteraan. Tentu, “sejahtera” merupakan kata dan makna berbeda dengan “pemilu” dan “demokrasi”. Tapi demokrasi yang pemerintahannya dipilih melalui pemilu (salah satunya) bertujuan mencapai kesejahteraan rakyat. Jadi, jika kualitas pemilu bisa mengukur kualitas demokrasi, kualitas kesejahteraan pun bisa diukur melalui kualitas pemilu.

Sebut saja negara yang kualitas pemilunya baik, kemungkinan besar negara itu tingkat kesejahteraannya baik. Maknai pemilu dan ukur kualitasnya melalui lima aspek: kontestasi peserta, sistem, penyelenggaraan (komisi), hukum dan penegakannya, serta demokratisasi. Semakin baik kualitas dari setiap aspek itu pemilu akan semakin baik. Kualitas pemilu yang baik akan sesuai dengan kesejahteraan suatu negara demokrasi.

Mungkin kita kesulitan mencari indeks pemilu suatu negara yang mencerminkan kualitas kesejahteraannya. Tapi, mudah kita menilai Tailand dan Mesir yang belum mapan menyelenggarakan pemilu dan mengakui hasil pemilu sampai pemilu berikutnya, tingkat kesejahteraanya di bawah Indonesia. Tentu saja kualitas demokrasi dua negara ini di bawah Indonesia. Dan apa yang terjadi di Tailand dan Mesir mirip dengan yang terjadi di zaman penak Soeharto. Saat di mana negara yang pemerintahannya terbentuk (dan remuk) melalui fondasi militer dan oligarki.

Kualitas pemilu, demokrasi, dan kesejahteraan Zaman Penak lebih rendah dari zaman setelahnya. Sama halnya dengan penyelenggaraan pemilunya yang pura-pura, kesejahteraan Orde Baru pun dirasa baik karena penyelenggaraan negara yang pura-pura menyejahterakan. Hutang luar negeri terus ditumpuk untuk pembangunan sentralistik yang hasilkan kesenjangan pusat dan daerah luar Jawa. Bisa dibayangkan jika kalimat, “piye kabare? Sek penak zamanku to?” dibaca orang Papua, Timor, atau Pulau Rupat yang mengalami alineasi pembangunan. Pemerintahan hasil pemilu pasca-Reformasi akhirnya menghasilkan demokrasi yang menutup kesejahteraan semu Orde Baru yang tak bisa atasi krisis ekonomi.

Di jelang pencoblosan 9 April Pemilu 2014 kita akan percaya diri menjawab pertanyaan: “Piye kabare? Sek penak zamanku to?”. Dengan meyakinkan kita menjawabnya: penak kabare. Pemilu, demokrasi, dan kesejahteraan zaman setelah mu (Soeharto), lebih baik. Gunakan hak pilih untuk pemilu, demokrasi, dan kesejahteraan yang lebih baik. []

USEP HASAN SADIKIN