October 15, 2024

Isi Putusan DKPP yang Berhentikan Arief Budiman dari Posisi Ketua KPU RI

Rabu (13/1), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) membacakan Putusan No.123/2020 untuk pengadu Jupri, dengan teradu Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman. Dalam putusannya, DKPP memuat petitum dan dalil-dalil pengadu, jawaban teradu, keterangan ahli dari pengadu dan teradu, serta dissenting opinion yang disampaikan oleh anggota DKPP ex officio KPU RI, Pramono Ubaid.  Simak selengkapnya.

Surat Kemensesneg, Surat KPU RI No.663/2020, dan pengaktifan kembali Evi Novida secara sepihak

Surat No.663/2020 yang diterbitkan oleh KPU RI adalah surat yang ditujukan kepada Evi Novida Ginting, anggota KPU RI yang diberhentikan oleh DKPP melalui Putusan No.317/2020, setelah keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) No.83/2020 tentang pencabutan Keppres No.34/2020 yang memberhentikan Evi secara tidak hormat sebagai tindak lanjut dari Putusan DKPP No.317/2020.

Keppres No.83/2020 diterbitkan oleh Presiden lantaran Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Evi dan memutuskan dalam salah satu amar putusannya agar Presiden mencabut Keppres No.83.2020 dan mengembalikan hak-hak Evi sebagai anggota KPU RI periode 2017-2022.

Surat No.663/2020 dipermasalahkan oleh pengadu, yang dari informasi yang didapatkan oleh rumahpemilu.org, merupakan warga Lampung yang pernah mengikuti seleksi KPU Provinsi Lampung namun tak terpilih. Penerbitan surat tersebut dinilai pengadu tak memiliki landasan hukum yang kuat, lantaran Keppres No.83/2020 tak menyebutkan secara eksplisit pengaktifan kembali Evi Novida.

“Karena selain tidak mempunyai landasan hukum yang kuat, patut diduga tindakan Ketua KPU RI hanya disebabkan oleh rasa galau dan kekhawatiran saja sehingga mengabaikan asas kepastian hukum dan kepentingan umum,” halaman 2 Putusan DKPP No.123/2020.

Jupri menghadirkan Rudy Lukman, pakar Hukum Tata Negara Universitas Lampung. Rudy menerangkan bahwa Putusan PTUN bersifat ex nunc, artinya tidak membatalkan suatu keputusan administrasi negara sebelumnya. Oleh karena itu, setelah keluar putusan PTUN yang meminta Presiden mengembalikan hak-hak Evi sebagai anggota KPU RI, mesti ada tindakan dari Presiden yang mendudukkan kembali Evi pada posisinya.

“Hal ini yang tidak dilakukan, inilah yang menurut saya, saudara Teradu melampaui kewenangannya dengan menerbitkan surat yang diklaim bukan surat keputusan tetapi juga bentuknya surat yang memerintahkan dan membuat aktifnya saudari Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU RI,” halaman 19.

Rudy memandang semestinya KPU RI berkirim surat kepada Sekretariat Negara (Setneg) guna meminta kejelasan terkait proses rehabilitasi dan kedudukan Evi Novida Ginting sehubungan dengan PTUN dan meminta fatwa kepada DKPP. Hal yang pertama, jika membaca dissenting opinion Pramono Ubaid, telah dilakukan KPU RI.

“Sdr. Arief Budiman mengirimkan Surat Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020 tersebut setelah yang bersangkutan melakukan komunikasi intensif dengan Kementerian Sekretariat Negara yang pada awalnya menyatakan bahwa Sdri. Evi Novida Ginting Manik dapat menindaklanjuti Putusan Pengadilan TUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT dengan secara langsung aktif sebagai Anggota KPU RI tanpa menunggu keluarnya Keputusan Presiden,” halaman 27.

Terkait Surat No.663/2020 pula, ahli yang dihadirkan Arief Budiman, Feri Amsari, pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas mengatakan bahwa Arief selaku Ketua KPU RI mengalami dilema dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pemilu. Pasalnya, dirinya dapat dilaporkan melanggar etik jika tidak mematuhi putusan DKPP dan pula jika tidak menjalankan putusan PTUN.

“Untuk itu harus dipertegas bahwa langkah-langkah hukum yang diiringi langkah administrasi tidak dapat dilaporkan secara etis,” halaman 18.

Dalam pertimbangan hukumnya, DKPP menganggap Arief Budiman telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan menandatangani Surat No.663/2020 yang berisi permintaan agar Evi segera aktif melaksanakan tugas sebagai anggota KPU RI.  Pasalnya, pertama, di dalam Surat Kemensesneg, tidak terdapat ketentuan yang memerintahkan Teradu untuk mengangkat dan mengaktifkan kembali Evi sebagai anggota KPU RI Periode 2017-2020. Surat itu hanya meminta kepada Teradu untuk menyampaikan Keppres No.83/2020 sebagai tindaklanjut Putusan PTUN Jakarta No.82/2020 yang mewajibkan Presiden untuk mencabut Keppres No.34/2020.

“Tindakan Teradu meminta Sdri. Evi Novida Ginting Manik aktif kembali merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang (detournement de povoir) baik dalam kategori melampaui kewenangan (ultra vires) dalam pengertian tindakan bertentangan dengan ketentuan hukum maupun dalam kategori mencampuradukkan kewenangan dalam pengertian bertindak di luar materi kewenangan (onbevogheid ratione materiae) dan kategori sewenang-wenang yang bertindak tanpa dasar kewenangan (willekeur) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.”

Lebih dari itu, DKPP berpendapat bahwa Keppres No.83/2020 yang tidak disertai dengan pelaksanaan amar putusan PTUN Jakarta keempat, yakni merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan Evi sebagai anggota KPU RI periode 2017-2022, merupakan sikap bijaksana Presiden yang memahami bahwa sifat Putusan DKPP adalah final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu.

Kedua, surat tersebut dinilai DKPP tak dibuat atas dasar keputusan bersama secara collective collegial. Tak ada dokumen Berita Acara Rapat Pleno atau alat bukti lainnya yang dapat membuktikan bahwa Surat KPU RI No.663/2020 dibuat atas sepengetahuan anggota KPU RI lainnya.

“…sehingga keputusan tersebut menurut DKPP merupakan tindakan sepihak Teradu tanpa melibatkan atau sepengetahuan anggota lainnya,” halaman 25.

Ketiga, isi Surat KPU RI No.663/2020 berbeda dengan isi Surat KPU RI No.664-668/2020 yang dikirimkan KPU RI kepada DKPP, Bawaslu RI, Kementerian Dalam Negeri, Ketua DPR RI, dan Ketua Komisi II DPR RI. Surat KPU RI No.663 secara khusus menambahkan klausul yang meminta saudara Evi Novida Ginting Manik untuk segera aktif melaksanakan tugas sebagai anggota KPU RI Periode 2017-2022.

Dengan demikian, “Tindakan Teradu menerbitkan Surat KPU Nomor 663/SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020 dengan menambah klausul yang meminta Sdri. Evi Novida Ginting Manik aktif melaksanakan tugas sebagai anggota KPU Periode 2017-2022 merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang dalam kedudukan sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia yang sepatutnya memastikan seluruh kerangka hukum dan etika dalam setiap tindakannya,” halaman 25.

Kesalahan Arief Budiman mendampingi Evi di PTUN

Selain Surat No.663/2020 yang membuat DKPP menilai Arief Budiman menyalahi wewenang, tindakan Arief selaku Ketua KPU RI yang mendampingi Evi dalam proses hukum di PTUN Jakarta juga dipermasalahkan DKPP. Menurut DKPP, Arief semestinya “dapat menempatkan diri pada tempat dan waktu yang tepat di ruang publik dan tidak terjebak dalam tindakan dan perbuatan yang bersifat personal emosional yang menyeret lembaga hingga berimplikasi pada kesan pembangkangan dan tidak menghormati Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 yang bersifat final dan mengikat.” (halaman 23)

Tindakan Arief yang mendampingi Evi dalam proses hukum di PTUN Jakarta, menurut DKPP, memberi kesan KPU sebagai lembaga utama yang melakukan perlawanan terhadap DKPP.

Dalam keterangan sebagai ahli, Usman Hamid, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) pada Lembaga Amnesty Internasional, mengatakan bahwa tindakan Arief yang mendampingi Evi dapat dimaklumi sebagai tindakan seorang pemimpin lembaga KPU yang ingin memastikan bahwa anggotanya dalam semangat kolektif kolegial mendapatkan hak atas pengadilan yang adil.

Dalam prinsip Duty of Care pula, terdapat “kewajiban bagi pimpinan untuk melindungi hak-hak yang melekat pada setiap individu dalam hal ini koleganya di KPU, termasuk untuk melindungi kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial maupun juga kesejahteraan psikologis bagi mereka yang bekerja di KPU atau seseorang yang tengah nenghadapi masalah hukum.”

Feri Amsari turut menerangkan bahwa seorang pimpinan yang menghadiri proses hukum yang dijalani oleh mantan anak buahnya bukanlah tindakan tidak etik. Kehadiran sang atasan tak dapat dianggap sebagai dukungan bahwa si atasan menyetujui pelanggaran yang dilakukan bawahannya karena proses hukum yang menentukan.

“Sejauh atasannya tidak mengintervensi proses hukum maka tidak dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran etik terkait kehadiran atasan dalam proses peradilan,” halaman 18.

DKPP berhentikan Arief Budiman dari jabatan ketua KPU RI

Sebab dua hal, yakni satu, Surat KPU RI No.663 yang dinilai dibuat secara sepihak oleh Arief yang isinya melampaui Keppres No.83/2020; dan dua, mendampingi Evi dalam proses hukum di PTUN, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan ketua KPU RI.

Arief dinyatakan terbukti tidak mampu menempatkan diri pada waktu dan tempat di ruang publik, dan terbukti menyalahgunakan wewenang sebagai Ketua KPU yang mengaktifkan kembali Evi Novida dan bertindak sepihak menerbitkan surat No.663/2020.

“DKPP berpendapat Teradu tidak lagi memenuhi syarat untuk menyandang jabatan Ketua KPU,” halaman 26.

Pramono Ubaid sampaikan dissenting opinion

Dalam dissenting opinionnya, Pramono menjelaskan bahwa pengaktifan kembali Evi sebagai anggota KPU RI didasarkan atas Keppres No.83/2020. KPU RI telah melakukan berkomunikasi dengan Kemensesneg, dan Kemensesneg menyatakan bahwa Evi dapat secara langsung aktif sebagai anggota KPU tanpa menunggu keluarnya keppres.

Namun kemudian, KPU RI meminta kepada Presiden untuk mengeluarkan keppres. Alhasil, keluarlah Keppres No.83/2020. Karena itu, KPU RI memandang KPPU RI tak bisa meminta kembali agar Presiden mengeluarkan keppres yang secara eksplisit menyatakan pengaktifan kembali Evi sebagai anggota KPU RI.

“Sebab pada awalnya, Kementerian Sekretariat Negara memandang tidak diperlukan Keputusan Presiden untuk mengaktifkan Sdri. Evi Novida Ginting Manik sebagai tindak lanjut atas Putusan Pengadilan TUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT,” halaman 28.

Pramono juga menyatakan tak setuju pada sanksi yang diberikan DKPP kepada Arief. Mengacu pada satu dari dua hal yang dipermasalahkan DKPP, yakni Surat No.663/2020, Pramono memandang penandatanganan surat tersebut oleh Arief selaku ketua KPU RI bukanlah pelanggaran etika berupa tindak asusila yang selama ini sering mendapatkan sanksi yang paling berat, baik berupa pemberhentian tetap atau pemberhentian dari jabatan tertentu.

“Seandainya, sekali lagi saya tegaskan seandainya, tindakan tersebut dianggap sebagai sebuah pelanggaran, maka saya berpandangan bahwa Sdr. Arief Budiman tidak selayaknya untuk dijatuhi sanksi paling berat, baik berupa pemberhentian tetap sebagai Anggota dan jabatan Ketua, atau pemberhentian dari jabatan Ketua,” halaman 28.