September 13, 2024

Izin Tambang di Masa Pilkada

170 izin tambang baru keluar sepanjang 2017—2018. Sementara 1682 dari 3078 izin tambang yang habis masa berlaku, menanti diperpanjang di 17 provinsi yang menggelar Pilkada. Lumbung uang untuk pembiayaan politik calon kepala daerah di Pilkada 2018.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat 170 izin tambang baru dikeluarkan sepanjang 2017—2018. Jawa Tengah dan Jawa Barat menjadi dua provinsi yang paling banyak mengeluarkan izin tambang baru. Di Jawa Tengah, ada 120 izin tambang baru sementara di Jawa Barat ada 34 izin tambang baru yang terbit pada 31 Januari 2018—dua pekan sebelum penetapan calon kepala daerah diumumkan. Angka-angka ini mengungkap kecenderungan peningkatan jumlah perizinan pertambangan di tahun menjelang, saat berlangsung, dan bahkan selepas Pilkada.

Sementara itu, ada 7180 izin usaha pertambangan (IUP) tersebar di 171 wilayah yang menyelenggarakan Pilkada 2018. Hampir 50 persen dari seluruh IUP di Indonesia tersebar di 17 provinsi pilkada. Ada 1682 IUP yang menanti diperpanjang di 17 provinsi yang menggelar Pilkada itu.

Calon kepala daerah, menurut Jatam, memanfaatkan penerbitan izin itu untuk mendapatkan biaya kampanye politik. Pebisnis tambang biasanya membayar sejumlah uang kepada kepala daerah. Uang dari pebisnis dibarter dengan pengeluaran izin, kemudahan izin sumber daya alam, investasi usaha, kelonggaran kebijakan, bahkan pembiaran hukum oleh kepala daerah. Praktik lancung ini kerap disebut sebagai ijon politik.

“Rata-rata kekayaan calon kepala daerah hanya 6—7 milyar. Sementara biaya politik jadi bupati atau walikota sekitar 20—30 milyar, bahkan bisa mencapai 100 milyar untuk pemilihan gubernur. Ada ruang bagi pebisnis tambang tadi untuk menjadi sponsor bagi para calon,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam, saat diskusi “Tambang Tunggangi Pilgub Kaltim” di Jakarta (22/3).

Kholilullah, peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), memandang permasalahan pemodal ilegal di balik calon kepala daerah muncul karena keterbatasan regulasi. Regulasi belum mampu menjangkau alokasi dana-dana besar—seperti biaya pencalonan, biaya konsultan atau survey, dan dana saksi—yang tak tersentuh. Persoalan ini bisa diselesaikan dengan memperkuat regulasi mengenai dana kampanye agar makin transparan dan akuntabel.

“Aturan soal transparansi dan akuntabilitas dana kampanye mesti diperkuat dan diperluas. Banyak penyumbang dan pengeluaran kandidat yang besar justru tak tercatat dan tak terawasi,” kata Kholilullah (22/3).

Kampanye generik

Para pengusaha tambang yang bersembunyi di balik para calon kepala daerah membuat kampanye dalam rangka memperkenalkan visi, misi, dan program kerja sama sekali tak menyentuh persoalan krisis ekologis akibat persoalan tambang.

Beragam krisis seperti menyempitnya ruang hidup dan ancaman krisis pangan, terjadi di beberapa wilayah. Di Kabupaten Musi Banyuasin, misalnya, 94 persen wilayahnya sudah menjadi kawasan pertambangan dan migas. Di Kota Samarinda, pertambangan mengepung 70 persen dari luas kota.

Di Bengkulu Tengah, 52 persen wilayahnya juga sudah dikapling tambang. Akibatnya, kawasan pangan pun terancam. Di Bangka Belitung, 77 persen beras didatangkan dari pulau lain akibat izin-izin tambang yang diterbitkan pemerintah mengubah kawasan pertanian. Sementara di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Pegunungan Kendeng sebagai sumber air utama pertanian masyarakat juga diberikan kepada pertambangan batu gamping dan pabrik semen.

Pilkada dari daerah ke daerah hanya disesaki pesan-pesan kampanye yang seragam—dari persoalan pengentasan kemiskinan, pengangguran, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur. Sementara persoalan riil yang dihadapi oleh daerah tak banyak diulas.

“Pesan kampanye dalam pilkada disusun dengan mengacu pada identifikasi masalah yang generik dan tak mencerminkan realitas krisis yang terjadi di wilayah yang bersangkutan,” tandas Merah.