August 8, 2024

Jabatan Publik dan Diskriminasi Pemuda

Tak ada yang salah dengan pemuda berpolitik. Namun berbahaya jika ia mampu mengendalikan perangkat negara untuk melegalisasi dirinya masuk ke dalam arena kompetisi. Berbahaya karena ini adalah karakter Orde Baru yang pernah membangkitkan amarah publik. Amarah yang pada akhirnya menancapkan mata panah Reformasi ke jantung politik. Drama calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka menoreh sejarah yang memalukan dalam lini masa demokrasi Indonesia. Momentum yang sama sekali tak memberi inspirasi bagi kaum muda.

Dalam situasi normal, fenomena Gibran menjadi cawapres di usia muda harusnya menjadi energi baru bagi kelompok muda. Di umur 36 tahun, Gibran menjadi cawapres termuda dalam sejarah Indonesia. Mungkin patut disandingkan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Ekuador Daniel Noboa, Presiden Chile Gabriel Boric, Presiden Montenegro Jakov Milatovic, atau Presiden El Salvador Nayib Bukele. Mereka terpilih menjadi presiden di usia yang relatif muda. Namun tak ada di antara mereka yang mencalonkan diri karena “dipaksa” oleh kekuasaan. Tak seperti Gibran, yang pencalonannya dilegalisir sang paman dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Paman Gibran, Ketua MK Anwar Usman, sesungguhnya telah memberi tanda-tanda. Sebelum putusan diucapkan, Anwar pernah menyinggung bahwa Nabi Muhammad SAW mengangkat Usamah Bin Zaid yang berusia usia 17 tahun sebagai panglima perang. Juga menyebut Muhammad Al Fatih memimpin penaklukan Konstatinopel di usia 17 tahun. Kemudian terbitlah putusan MK bahwa syarat usia capres dan cawapres boleh di bawah 40 tahun jika yang bersangkutan pernah atau sedang menjadi kepala daerah. Anwar lupa, contoh yang ia hadirkan adalah kepemimpinan yang melibatkan tangan Tuhan. Bahkan ada yang berkarakter dinasti. Alasan yang dipaksakan itu tak padu padan dengan karakter demokrasi yang kita kenal. Putusan MK memang dipersembahkan untuk Gibran.

Jika Anwar Usman ingin sekadar mencari pembenaran, banyak contoh yang lebih ekstrim. Misalnya Tutankhamun, usianya 9 tahun saat menjadi Firaun di Mesir Kuno. Louis XIV, menjadi Raja Perancis saat berusia 4 tahun. Aisin Gioro Puyi atau Henry Pu Yi, masih berusia 3 tahun saat menjadi Kaisar terakhir China. Henry VI, menjadi Raja Inggris saat masih berusia sekitar 8 bulan. Alfonso XIII, menjadi Raja Spanyol saat baru lahir, menggantikan ayahnya yang meninggal dunia. Mereka semua adalah pemimpin di usia yang sangat belia. Tetapi kekuasaannya telah ditentukan bahkan sebelum mereka dilahirkan. Itulah mengapa disebut Monarki; monos, tunggal, kekuasaan tunggal. Semuanya tak perlu Pemilu. Bukan Demokrasi.

Menghapus Dosa Anwar Usman

Putusan MK ini adalah aib bagi dunia peradilan. Bukan pada materinya, namun pada proses pengambilan putusannya. Itulah yang menyebabkan Majelis Kehormatan MK (MKMK) menyatakan Anwar Usman bersalah secara etik. Sebagai hakim, ia melanggar Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Namun sialnya, dunia hukum menilai putusan MK adalah final dan binding. Semua ahli hukum sepakat, putusan Anwar Usman tak bisa dianulir, termasuk oleh MK sendiri. Norma usia pencalonan presiden dan wakil presiden akan berlaku sepanjang masa. Tak peduli seberapa pun aneh bunyinya atau seberapa berat kesalahan Anwar Usman.

Namun sebetulnya pandangan itu sangat debatable. Norma usia calon mestinya masih dapat diluruskan. Dalam sidang “gugatan ulang,” MK jelas menyerahkan kembali pengaturan syarat usia ini ke pembentuk undang-undang (open legal policy). Sehingga, satu-satunya jalan untuk menghapus dosa Anwar Usman adalah mengembalikan kebijakan ini ke tangan Presiden dan DPR. UU Pemilu perlu direvisi, langkah yang diambil harus radikal. Bukan untuk mencantumkan kembali hasil putusan MK di dalamnya, tetapi agar syarat usia calon presiden dan wakil presiden dicoret dari ketentuan. Hal ini dapat menganulir kebijakan akal-akalan yang memberikan karpet merah hanya bagi (mantan) kepala daerah yang belum cukup umur. Dengan begitu, dosa sejarah ketatanegaraan ini dapat dihapus.

Mengapa dihapus? Karena selain untuk menyelamatkan wajah politik kita, secara prinsip ketentuan ini diskriminatif terhadap kelompok muda. Aturan ini juga sama sekali tak relevan dengan kebutuhan menghadirkan kualitas kepemimpinan. Belum ada studi spesifik yang menyatakan bahwa usia muda cenderung menghadirkan kepemimpinan yang gagal dalam pembangunan dibandingkan dengan usia tak muda. Apalagi kegagalan dan keberhasilan dalam politik sangat subjektif. Variabel kepemimpinan pun tak hanya usia, sangat beragam dan kompleks, model atau gaya kepemimpinan, pengalaman, kompetensi, karakteristik individu, konsep etik, kinerja, kultur, dan sebagainya. Studi-studi ilmiah tak aplikatif secara universal.

Itu sebabnya, di berbagai negara, syarat usia untuk menjadi calon presiden atau kepala pemerintahan berbeda-beda. Di negara-negara Amerika Latin misalnya. Ada Brazil, Chili, dan Mexico yang syaratnya 35 tahun. Argentina dan Kolombia, 30 tahun. Di negara-negara Asia ada China, 45 tahun atau Taiwan, Korea Selatan, dan Filipina, 40 tahun atau India, 35 tahun. Di negara-negara Eropa ada Italia, 50 tahun atau Jerman, 40 tahun, atau Rusia, 35 tahun malah Perancis dan Inggris, 18 tahun. Bahkan Eropa telah menggagas penyeragaman usia minimum pencalonan menjadi 18 tahun, 21 tahun, 23 tahun, dan 25 tahun pada Pemilu 2024 nanti. Dari pilihan pengaturan usia minimal di negara-negara tersebut, sama sekali tak mencerminkan bahwa usia adalah faktor penentu keberhasilan dalam memimpin.

Menariknya lagi, empat negara dengan Global Freedom Scores tertinggi seperti Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Selandia Baru, hanya membatasi usia minimal 18 tahun untuk kepala pemerintahannya. Empat negara ini pun punya nilai Liberal Democracy Index tertinggi di dunia. Negara maju seperti Australia, Belanda, dan Kanada bahkan tidak mengatur batasan usia bagi kepala pemerintahannya. Hanya saja secara umum usia 18 tahun adalah usia bebas bagi warga negaranya untuk mengakses jabatan publik. Catatan penting dari negara-negara ini, menghapus atau menurunkan syarat usia calon presiden atau kepala pemerintahan bukan hal baru dalam demokrasi. Tak menjadi faktor penghambat kemajuan. Bukan pula momok bagi republik.

Delusi Usia Kepemimpinan

Pengaturan usia dalam syarat calon presiden dan wakil presiden di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh sejarah, norma sosial, dan pertimbangan politik praktis. Kehadirannya datang dari renungan perasaan, bukan pertimbangan akademis yang matang. Mungkin juga komposisi usia pembentuk undang-undanglah yang selama ini menghasilkan angka 35 atau 40 sebagai syarat minimum. Aspirasi pemuda tenggelam bahkan sebelum disuarakan. Ada kegagalan dalam bernalar, bahwa kematangan usia dan kebijaksanaan hanya ada pada pemangku usia tua. Cara berpikir inilah yang menyebabkan perjuangan untuk membuka akses jabatan publik bagi kaum muda penuh tantangan.

Dalam diskursus publik mengenai Gibran, ketakutan banyak pihak dibangun dengan narasi Kesehatan Prabowo yang mengkhawatirkan. Pernah mengalami stroke 2 kali membuat siapa pun mempertanyakan keandalan Prabowo menjalankan amanah publik nantinya. Seandainya Prabowo-Gibran terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, kemudian karena alasan kesehatan Prabowo berhalangan memimpin dalam jangka waktu yang lama, lalu kekuasaan dipegang oleh Gibran, lantas bagaimana nasib negara. Kompetensi pemuda bau kencur dalam mengambil keputusan penting, dipertanyakan. Di satu sisi skenario ini masuk akal, secara historis kesehatan Prabowo memang bermasalah. Di sisi lain, ketakutan yang dikonstruksikan dalam pikiran ini tak beralasan.

Presiden adalah sebuah institusi yang kompleks, tak sekedar individu. Kendati simbolisasinya tertumpu pada dua orang pilihan bangsa. Namun kepemimpinan tertinggi ini dilengkapi dengan atribut-atribut kekuasaan dan kebijaksanaan. Mulai dari penasihat, menteri-menteri pelaksana, sampai pada pengawal kebijakan bersenjata. Sehingga andai pun Gibran menggantikan Prabowo atas suatu alasan tertentu, kepemimpinan negara dan pemerintah pasti akan tetap berjalan. Kritik atas “negara auto-pilot” yang selama ini disuarakan publik terhadap Jokowi adalah indikator sederhananya. Tanpa kehadiran Jokowi selaku generasi tidak muda, seluruh instrumen pemerintahan dinilai tetap akan beroperasi mencapai target-target pembangunan. Sehingga menyematkan kematangan usia dalam kepemimpinan hanyalah delusi.

Karakter kepemimpinan Jokowi pun cenderung menyerahkan banyak pengambilan keputusan penting negara kepada menteri atau orang-orang yang ditugaskannya. Misalnya, Jokowi tak pernah menghadiri secara langsung sidang-sidang umum PBB, selalu mengirimkan wakil dengan berbagai alasannya. Saat pandemi COVID 19 merebak dan sedang tinggi-tingginya, dalam pertemuan terbuka Jokowi justru mempertanyakan langkah apa yang akan diambil oleh menteri yang ditugaskan. Bukan bertanya tentang apa saja solusi potensial yang bisa diambil, lalu presiden mengambil keputusan. Ini membuktikan, dengan kepemimpinan yang berwawasan terbatas pun, pemerintah akan tetap menemukan akhir masa jabatannya. Tinggal mencari kaki tangan yang tepat dan kompeten. Maka skenario terburuk dari presiden muda dan nihil gagasan adalah mode autopilot akan diaktifkan.

Beri Tempat untuk Kaum Muda

Dengan berlepas diri dari inspirasi anak Jokowi menjadi cawapres, sudah saatnya kaum muda diberi tempat untuk terlibat dalam mengelola negara. Diberikan akses untuk menguji dirinya dalam kontestasi jabatan publik. Negara-negara maju mungkin telah menyadari potensi kelompok muda dalam politik dan pemerintahan. Mungkin saja itulah yang menginspirasi mereka sehingga menurunkan batasan usia dalam akses jabatan publiknya menjadi 18 tahun, atau sama sekali menghilangkannya. Mungkin juga hak asasi manusia dan prinsip aksesibilitas yang menjadi alasan fundamental. Yang terpenting, para pengambil kebijakan di Indonesia selayaknya mempertimbangkan gagasan ini dalam pembangunan politik ke depan.

Selama ini, pemuda hanya menjadi objek pendulang suara. Padahal di Indonesia jumlahnya tak tanggung-tanggung, mencapai 31,12% dari 204 juta pemilih. Itu karena Komisi Pemilihan Umum menggunakan UU Kepemudaan dalam mendefinisikan pemuda, yaitu rentang usia 16 s/d 30 tahun. Namun jika definisinya dimaksimalkan dengan mengambil usia yang menjadi perdebatan syarat calon belakangan ini, yaitu 30 sampai 40 tahun, maka potensi suara kelompok muda sangat jauh lebih besar. Mencapai 51,82% dari DPT. Suara pemuda menjadi penentu kekuasaan. Kelompok muda adalah penyedia golden ticket bagi kepemimpinan Indonesia. Namun sayangnya, angka sebesar itu sama sekali tak tergambar dalam komposisi kekuasaan kita sekarang.

Pemuda di Indonesia jarang mendapat tempat istimewa dalam peran maupun program politik. Jika pun ada, itu sekadar memuaskan citra keberpihakan dan merawat suara. Kesungguhan dalam keberpihakan terhadap kelompok muda hanya dapat dibuktikan dengan menyingkirkan hambatan utama bagi kaum muda dalam politik, yaitu usia. Agar pemuda tak dirugikan oleh ketentuan perundang-undangan, maka syarat usia dalam ketentuan persyaratan capres dan cawapres harus dihapus. Bahkan tak hanya jabatan presiden, mestinya menghilangkan aturan diskriminatif ini di seluruh jabatan publik. Kalaupun gagasan ini dinilai terlalu buru-buru, maka menurunkannya menjadi 18 tahun cukup rasional. Sebagaimana parameter kecakapan untuk berbuat dalam hukum yang diakui oleh negara. Selebihnya menyerahkan keputusan kepada pemilih.

Seandainya politik warga ternyata berpihak kepada anak kemarin sore yang nihil pengetahuan, maka itu hanya mempertontonkan muka partai politik kita yang sebenarnya. Mengingat partai politik adalah pabrik kepemimpinan, dengan berbagai idealisme yang diperjuangkan. Realita itu hanya memperjelas orientasi sesungguhnya dari tabir ideologis yang selama ini dipamerkan ke pemilih. Parpol hanya peduli terhadap jumlah suara ketimbang kualitas kepemimpinan. Seluruh telunjuk patut diarahkan ke partai politik. Mungkin itulah momentum yang dibutuhkan agar akselerasi pembangunan politik terjadi. Partai politik Indonesia sudah sepatutnya berbenah. Namun tentu saja, terlalu naif untuk menyandingkan pemuda pejabat publik dengan kualitas kepemimpinan. Sesungguhnya, setiap orang punya potensi dan kapasitas yang sama, yang membedakan hanyalah kesempatan. []

KHOLIL PASARIBU