Maret 29, 2024
iden

Jaga Kualitas Pemilu 2019

Hormati Putusan MK dan Jadwal Tahapan Pemilu

JAKARTA, KOMPAS — Pemilu 2019 yang digelar serentak harus dijaga kualitasnya. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah perlu menyusun strategi agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu dapat selesai pada April 2017 dan tidak rentan dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Ada isu-isu krusial yang membuat pembahasan RUU itu berpotensi molor dan tak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Setidaknya terdapat 18 isu krusial dalam draf RUU Penyelenggaraan Pemilu yang terdiri atas 543 pasal tersebut. Isu krusial itu antara lain terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, sistem pemilu legislatif, kedudukan penyelenggara pemilu, sengketa kepengurusan partai politik, ambang batas parlemen, jumlah kursi tiap daerah pemilihan, dan metode konversi suara ke kursi legislatif.

Dari sejumlah isu krusial tersebut, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden ditengarai menjadi isu yang sangat alot. Pada Pemilu 2014, presiden dan wakil presiden dicalonkan parpol dan gabungan parpol yang minimal memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional di Pemilu Legislatif 2014. Namun, ketentuan itu tidak bisa lagi dipakai pada Pemilu 2019. Sebab, MK pada Januari 2014 sudah menyatakan, pemilihan presiden dan pemilu anggota legislatif akan digelar serentak pada 2019.

Terkait penerapan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pada Pemilu 2019, MK menyatakan sebagai kebijakan hukum yang terbuka hingga menyerahkannya kepada pembentuk UU.

Dalam draf RUU Penyelenggaraan Pemilu yang disusun pemerintah, presiden dan wakil presiden dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Namun, ketentuan itu belum final.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (12/1), menegaskan, pemerintah akan menampung usulan semua fraksi di DPR. “Sesuai arahan Presiden, kami menampung aspirasi parpol, fraksi, dan aspirasi masyarakat,” katanya.

Informasi yang dihimpun Kompas, dari 10 fraksi, 5 fraksi, yaitu Fraksi PDI-P, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan, menilai presidential threshold tetap dibutuhkan.

Namun, empat fraksi, yaitu Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Hanura, berpendapat, presidential threshold tidak lagi diperlukan sebagai syarat mencalonkan presiden-wapres di Pemilu 2019. Hal ini karena pemilu legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak. Fraksi Partai Demokrat, meski belum menentukan sikap final, cenderung mendukung sikap tersebut.

Tenggat

Dalam rapat dengar pendapat umum dengan Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengingatkan agar pemerintah dan DPR menghindari menyusun pasal-pasal yang berisiko bertentangan dan bisa dibatalkan MK. Sebab, gugatan ke MK otomatis akan mengganggu persiapan Pemilu 2019. “Akhirnya kualitas pemilu yang menjadi taruhannya,” katanya.

DPR dan pemerintah juga harus memperhatikan tenggat yang semakin mepet. Sejauh ini, jadwal pembahasan RUU Pemilu sedikit melenceng dari batas yang ditetapkan. Sampai kemarin, ada enam fraksi yang belum mengumpulkan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang seharusnya dikumpulkan pada Selasa lalu. Enam fraksi itu adalah Fraksi Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan PDI-P.

Padahal, pada Kamis (19/1), pansus sudah harus menyerahkan DIM kepada pemerintah agar pembahasan isu-isu krusial dapat segera dimulai dan diselesaikan pada April mendatang.

“Kami berupaya paling lambat Senin (16/1) ini sudah terkumpul. Meski sedikit mundur, kami usahakan tetap sesuai jadwal pembahasan dengan pemerintah,” kata Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PKB Lukman Edy.

Catatan Kompas, persiapan pembahasan RUU Pemilu sejak awal telah banyak mengalami pengunduran. Pemerintah baru menyerahkan draf RUU itu kepada DPR pada Oktober 2016, padahal semula dijanjikan pada pertengahan 2016. DPR pun baru membentuk pansus untuk membahas RUU itu pada November 2016.

Menurut jadwal di draf RUU Penyelenggaraan Pemilu, tahapan Pemilu 2019 kemungkinan sudah dimulai Juni 2017. Dengan demikian, RUU Penyelenggaraan Pemilu diharapkan selesai dibahas pada April 2017 atau empat bulan dari sekarang.

Sebagai perbandingan, regulasi yang mengatur penyelenggaraan Pemilu 2014 disusun sekitar dua tahun, yaitu tahun 2010-2012. Padahal, saat itu tak ada perbedaan yang substansial antara Pemilu 2009 dan 2014.

Terkait terbatasnya waktu pembahasan, pansus merencanakan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu berdasarkan pengelompokan (clustering) isu krusial, bukan membahas DIM tiap pasal. Hal ini karena pembahasan lewat DIM per pasal akan memperpanjang proses pembahasan.

“Kalau mau cepat, harus membahas per isu krusial. Saat ini pansus sedang mengelompokkan beberapa isu krusial. Dengan demikian, DIM bukan hal terpenting, melainkan sikap fraksi per isu krusial,” kata Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria.

Perdebatan

Isu krusial yang saat ini berjumlah 18 buah itu akan dibahas sebagian anggota pansus. Sementara isu lain di luar pengelompokan isu krusial akan dibahas dalam tim perumus oleh anggota pansus yang lain.

Terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, Ahmad Riza Patria menyatakan, Pemilu 2019 seharusnya membuka ruang seluas-luasnya bagi parpol untuk berpartisipasi. Terkait dengan hal itu, fraksinya berpendapat, presidential threshold tak lagi diperlukan,

“Semakin banyak calon yang muncul, makin bagus karena rakyat dihadapkan pada pilihan yang lebih banyak. Ini juga konstitusional karena sesuai dengan putusan MK,” katanya.

Namun, anggota pansus dari Fraksi PPP, Achmad Baidowi, mengatakan, partai yang mengusung pasangan calon di pilpres harus memiliki dukungan nyata berupa kursi di DPR dan suara sah yang berpatok pada pemilu sebelumnya. “Itu penting sebagai modal dasar dukungan yang nyata terhadap pasangan calon yang akan diusung,” kata Baidowi.

Johnny G Plate dari Fraksi Nasdem menilai, demi memastikan tercapainya konsensus politik nasional, tetap dibutuhkan presidential threshold. Konsensus politik antara eksekutif dan legislatif bisa lebih mudah tercapai dengan adanya pembentukan koalisi yang bersifat permanen.

Peneliti Perludem Agus Melaz mengatakan, penghapusan presidential threshold tidak otomatis menghasilkan banyak calon presiden dan calon wapres. Partai pasti akan berpikir panjang sebelum memutuskan mengusung calon di tengah politik berbiaya tinggi dan sulitnya mencari tokoh yang punya elektabilitas tinggi.

(AGE/NTA)

Selengkapnya di http://print.kompas.com/baca/polhuk/hukum/2017/01/13/Jaga-Kualitas-Pemilu-2019