Tenggat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2018 tinggal tujuh bulan lagi. Sisa waktu inilah yang harus dioptimalkan untuk meningkatkan sosialisasi. Meningkatkan partisipasi pemilih layak dilakukan oleh semua penyelenggara pilkada untuk perbaikan berbagai aspek pemilihan umum di daerah.
Partisipasi pemilih dalam pilkada serentak 2018 yang mengalami peningkatan tercatat dalam pilkada termutakhir. Pada pilkada serentak gelombang kedua (15 Februari 2017) yang digelar di 101 daerah, tingkat partisipasinya mencapai 74,2 persen suara dari total pemilih. Jumlah tersebut meningkat dari pilkada serentak gelombang pertama(9 Desember 2015) di 269 daerah yang mencapai 70,0 persen pemilih.
Proporsi peningkatan itu merupakan prestasi bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pilkada serentak. Hal tersebut karena menghapus berbagai kekhawatiran sebelumnya terkait sifat keserentakan pilkada. Sebenarnya jika melihat pemilu legislatif dan pemilu presiden periode 2009-2014, kenaikan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu itu sudah terlihat. Dari angka partisipasi 70-an persen pada Pemilu 2009 telah naik menjadi 75,11 persen pada pemilu legislatif 2014.
Meski demikian, keberhasilan penyelenggaraan pemilu tersebut tidak lepas dari sejumlah persoalan tingkat partisipasi yang minim. Tingkat partisipasi minim artinya kerugian dari segi ekonomi hingga sosial politik. Dari segi ekonomi berarti ada anggaran negara/daerah yang tidak termanfaatkan dengan optimal karena setiap pemilu/pilkada sudah memiliki alokasi penganggaran. Adapun dari segi sosial politik adalah problem legitimasi dalam mengemban amanat kepemimpinan daerah.
Pada pilkada serentak 2015, ada sekitar 30 persen pemilih yang tidak menggunakan suaranya. Sejumlah kabupaten/kota yang tingkat partisipasinya rendah di antaranya Kota Medan (26,88 persen), Kabupaten Serang (50,84 persen), Kota Surabaya (52,18 persen), Kabupaten Jember (52,19 persen), dan Kabupaten Tuban (52,25 persen). Sedangkan pada pilkada serentak 2017, paling tidak terekam Kota Ternate dengan tingkat partisipasi relatif rendah (58,93 persen).
Sejumlah persoalan diidentifikasi jadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih pemilu. Persoalan pertama adalah hambatan geografis wilayah, khususnya bagi daerah-daerah kepulauan dan berjarak jauh dari pusat administrasi wilayah. Kedua, hambatan yang bersifat teknis terkait dengan sikap pragmatis sebagian pemilih yang tidak memanfaatkan hari libur pemungutan suara untuk mencoblos, tetapi justru untuk keperluan lain.
Sementara yang paling parah adalah rendahnya partisipasi politik berkaitan dengan ketidakpedulian publik terhadap calon yang bertarung di pilkada. Kekecewaan dan rasa pesimistis bisa memicu rendahnya tingkat partisipasi politik pemilih dalam pilkada. Oleh karena itu, menjadi penting memberikan harapan dan semangat bagi publik di daerah yang menyelenggarakan pilkada agar memanfaatkan momen demokrasi itu sebaik-baiknya.
Dalam jajak pendapat ini terekam keinginan untuk mencoblos dalam pilkada yang sangat tinggi dari responden di kotanya yang akan melakukan pilkada serentak pada 27 Juni 2018. Nyaris semua responden yang ditanya menyatakan akan menggunakan hak pilihnya dalam ajang pilkada serentak tahun depan. Meski demikian,jawaban yang bersifat normatif tersebut, sebagaimana terekam pula dalam jajak pendapat tahun-tahun sebelumnya, biasanya kurang mencerminkan tingkat partisipasi yang terjadi.
Problem umum
Sangat disayangkan jika hajatan yang menelan biaya triliunan rupiah ini hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan yang minim partisipasi rakyat. Anggaran Pilkada 2018 telah disepakati mencapai Rp 11,4 triliun. Kesepakatan itu adalah antara KPUD dan pemerintah daerah setempat. Hal ini karena anggaran pilkada ditanggung oleh tiap-tiap daerah. Ini berbeda dengan pemilu DPR dan pemilu presiden yang ditanggung pemerintah pusat.
Proporsi biaya terbesar pilkada adalah untuk honor penyelenggara yang alokasinya diperkirakan mencapai hingga 60 persen dari total anggaran. Dari 171 daerah yang akan menggelar Pilkada 2018, sejumlah daerah dengan perkiraan kebutuhan anggaran terbesar adalah Jawa Barat (Rp 1,2 triliun), Jawa Tengah (Rp 990 miliar), Jawa Timur (Rp 870 miliar), dan Papua (Rp 850 miliar). Besarnya anggaran itu disebabkan besarnya jumlah pemilih atau luas wilayah. Di sisi lain, besarnya anggaran yang diperlukan menegaskan pentingnya partisipasi pemilih sehingga dana yang dipakai bisa bermanfaat optimal.
Sosialisasi pra-pencoblosan menjadi penting karena tidak hanya berdampak pada jumlah pemilih, tetapi juga pada kualitas suara pemilih. Lembaga Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mencatat tingkat partisipasi pemilih di Indonesia berada pada peringkat ke-7 di Asia Tenggara. Penilaian ini didasarkan pada pemilihan umum terbaru di setiap negara. Tingkat suara pemilih yang tidak sah di Indonesia juga tercatat relatif tinggi di kawasan Asia Tenggara dan dunia.
Meski demikian, IDEA tidak memungkiri besarnya skala penyelenggaraan setiap kali pemilihan kepala daerah atau pemilu di Indonesia. Negara kepulauan terbesar kedua di dunia dengan ragam sosial budaya yang sedemikian heterogen melakukan satu proses demokrasi modern yang sama, yakni memilih kepala daerah di bilik-bilik suara. Dilihat dari ukuran itu, demokrasi Indonesia sudah sangat maju dan berpotensi semakin berkualitas.
Tidak bisa diabaikan bahwa KPU telah menyempurnakan aturan terkait sosialisasi dan pendidikan pemilih. Dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2017, KPU berkomitmen untuk meningkatkan pengetahuan dan partisipasi pemilih. Diseminasi pengetahuan menjadi kunci menggalang motivasi publik memberikan suara. Peraturan KPU tersebut salah satunya menyebutkan bahwa sosialisasi akan dilakukan melalui media sosial. Langkah tersebut tentu sangat sesuai dengan perkembangan generasi zaman now.
Namun, kenyataannya, media sosial resmi milik KPU belum digunakan secara maksimal untuk memberikan wawasan bagi pemilih. Dari hasil penelusuran, kanal media KPU terlihat masih sepi dari unggahan bernuansa pilkada. Akun Facebook KPU tidak menunjukkan keaktifan penggunaannya. Di kanal Twitter, akun @kpu_ri tidak ada cuitan terkini. Akun dengan nama pilkada2018 di Instagram yang justru mengunggah berita terkait dengan pencalonan kepala daerah. Peraturan yang tepat pun akhirnya tidak memberikan hasil yang maksimal jika praktiknya belum dijalankan dengan sepenuhnya.
Sosialisasi
Sosialisasi yang sudah dilaksanakan pada 14-23 Juni lalu pun belum mendapatkan respons baik dari publik. Sebanyak 48,2 persen publik menyatakan bahwa minimnya sosialisasi pilkada adalah kendala utama dalam pemilihan. Meski demikian, tanggung jawab untuk mengisi bagasi pengetahuan harus dipikul bersama. Keaktifan publik mencari sumber informasi dapat bersinergi dengan program-program KPU. Misalnya saja, KPU telah menyediakan buku pendidikan untuk pemilih yang dapat diakses secara gratis.
Masyarakat juga perlu mengetahui hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pemilihan umum. Misalnya, masyarakat yang bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, ASN dilarang menjadi juru kampanye. ASN juga tidak diperkenankan mengikuti kampanye dan menjadi partisan partai politik. Meski tetap memiliki hak pilih, ASN dituntut tetap bersikap netral. Hal semacam ini pada praktiknya menjadi sangat penting karena politik menjadi dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Pada Pilkada 2018 mendatang, KPU memasang target 77,5 persen partisipasi dari sekitar 189 juta pemilik hak suara menggunakan hak pilihnya. Ada optimisme untuk mencapai target tersebut. Menurut jadwal, saat ini KPU sedang melakukan pengolahan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) menggunakan hasil perekaman kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) sebagai basis data. Sayangnya, permasalahan KTP-el di negeri ini belum tuntas sehingga berpotensi menghambat pendataan DP4. Ada potensi hilangnya pemilih karena basis data yang belum lengkap. Semoga kendala ini cepat teratasi demi mengejar suara rakyat dalam pilkada serentak 27 Juni 2018.
(Arita Nugraheni/ Toto Suryaningtyas/Litbang ”Kompas”)
Sumber : https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2017/12/04/mengejar-suara-rakyat-untuk-pilkada-2018/