November 15, 2024

Jalan Panjang Pemilu dan Kerinduan Konsolidasi Demokrasi

Setelah Soekarno memproklamirkan Demokrasi Terpimpin dan kemudian menjadikan dirinya “Presiden Seumur Hidup”, maka menurut kriteria demokrasi, Indonesia bergerak menjadi negara yang non-demokratis (otoritarian). Transisi dari Soekarno ke Soeharto adalah transisi dari otoritarianisme ke demokrasi melalui jalan modernisasi (pembangunan).

Pada era Soeharto dikenal konsep Demokrasi Pancasila yang menggunakan instrumen demokrasi bercirikan pola yang tetap. Perjalanan transisi demokrasi pasca-Pemerintahan Soeharto yang digantikan oleh BJ Habibie antara lain ditandai dengan dibahasnya paket undang-undang bidang politik yang menghasilkan UU 2/1999 tentang Partai Politik, UU 3/1999 tentang Pemilu, dan UU 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Upaya tersebut mengarah pada terciptanya sebuah sistem politik yang lebih demokratis dibandingkan masa sebelumnya

Bingham Powell JR berpendapat, pemilu bukan hanya satu-satunya instrumen demokrasi. Pemilu harus didukung oleh instrumen lainnya dan mengatur guna mendorong komunikasi dan kerjasama. Namun, pemilu tetaplah merupakan instrumen demokrasi yang utama. Pemilu mengklaim membentuk sistem yang memaksa atau mendorong pembuat undang-undang agar memperhatikan aspirasi rakyatnya. Konsensus kolektif menghendaki pemilu yang kompetitif, lebih dari sekedar fungsi lainnya, akan melahirkan negara yang memiliki sistem politik demokratis.

Di tengah arus Reformasi

Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pada Reformasi yang menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan asas Luber Jurdil. Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, pemilu segera dilaksanakan, sehingga segala hasil Pemilu 1997 segera diganti.

Pada 29 Januari 1999, sekitar 6 bulan setelah Tim Tujuh merampungkan rancangannya, DPR mengesahkan 3 undnag-undang, yakni UU 2/1999 tentang Partai Politik, UU 3/1999 tentang Pemilu, dan UU 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD. Tidak semua usulan Tim Tujuh dipenuhi DPR, tetapi 3 undang-undang ini memberikan keleluasaan bagi siapa pun untuk mendirikan parpol. Pemilu tidak dibatasi hanya boleh diikuti PPP, Golkar, dan PDI, seperti pada Orde Baru.

Demi keperluan itu, Departemen Dalam Negeri, dengan segala keterbatasan legitimasinya, membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (P3KPU) yang terdiri atas 11 orang, sehingga dikenal dengan Tim Sebelas. Tim terdiri atas Nurcholis Madjid (yang ditunjuk sebagai ketua tim), Adnan Buyung Nasution (wakil ketua), Adi Andojo Soetjipto (wakil ketua), Andi A. Malarangeng (sekretaris), Rama Pratama (wakil sekretaris), dan anggota-anggota Afan Gaffar, Mulyana W.Kusumah, Miriam Budiarjo, Kastorius Sinaga, Eep Saifullah Fatah, dan Anas Urbaningrum.

Dalam waktu hanya 5 bulan sejak menjelang berhentinya Soeharto sampai April 1999, terdapat 181 partai politik, 141 di antaranya tercatat di dalam Lembar Negara dan memperoleh pengesahan dari Departemen Kehakiman.

Kala itu, jumlah pemilih yang ikut pemilu mencapai 105.786.661 suara. Jumlah ini nantinya akan dibagi sesuai dengan total 462 kursi di parlemen. Setelah penghitungan, ada 18 partai politik yang masuk ke parlemen. Hasil pembagian itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Hasil-hasil pada Pemilu 1999 yang membuat KH. Abdurrahman wahid dari partai PKB menjadi presiden terpilih  dengan 53,28% dan Megawati Soekarno Putri dari partai PDIP sebagai wakil presiden terpilih 44,72% kemudian menghasilkan PDIP adalah partai politik terkuat.

Jalan yang diinginkan

Huntington (1999) menjelaskan, tiga syarat terjadinya transisi demokratis. Pertama, berakhirnya rezim otoriter. Kedua, munculnya pemerintahan demokratis. Ketiga, adanya konsolidasi demokrasi.

Yang pertama dan kedua telah terjadi di Indonesia. Rezim otoriter pemerintahan Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998 kemudian digeser kepada B.J. Habibie. Pemerintahan demokratis hadir ditandai dengan dilantiknya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden melalui hasil Pemilu 1999 yang demokratis.

Sedangkan, syarat ketiga tentang tahap konsolidasi demokrasi masih menjadi perdebatan di kalangan pengamat politik. Sebagian besar pengamat menganggap sampai saat ini Indonesia belum mengalami konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi merupakan stabilitas dan ketahanan demokrasi (O’Donnell, 1993).

Parlemen Pemilu 1999 memilih Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Megawati Soekarno Putri lalu menggantikan Gus Dur. Selanjutnya ada Susilo Bambang Yudhoyono yang dipilih langsung dari Pemilu Presiden 2004 dan 2009.  Lalu ada Joko Widodo pada Pemilu 2014 dan 2019. Semua alur tersebut menggambarkan bahwa cita-cita konsolidasi demokrasi terus menjadi tujuan mulia untuk demokrasi bangsa ini.

Samuel P. Huntington (1991) pernah mencatat bahwa era transisi mestinya berakhir setelah ada dua kali pemilu berkala yang demokratis. Pemilu-pemilu tersebut mengantarkan suatu rezim demokratis, yang bekerja atas dasar konstitusi yang demokratis pula. Apabila merujuk pada hal tersebut kita lihat di Indonesia sudah lebih dari 2 kali menyelenggarakan pemilu pasca-Orde Baru yaitu pada 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019.

Oleh sebab itulah, proses demokrasi di Indonesia masih berada dalam wilayah unconsolidated democracy. Sparringa (2009) menuturkan bahwa era konsolidasi demokrasi justru sudah dimulai sejak 10 tahun terakhir. Konsolidasi sama dengan masa transisi yang menurut ukuran progresif, berlangsung dua tahun. Adapun dalam ukuran konservatif lamanya sekitar 10 tahun. Dengan perhitungan tersebut, setelah tahun 2009 Indonesia seharusnya sudah dapat memetik buah dari demokrasi yang dijalankan selama ini.

Pengukuhan demokrasi melalui transisi demokrasi, instalansi demokrasi dan konsolidasi demokrasi menjadi harapan rakyat Indonesia untuk mengembangkan sistem demokratis secara baik yang berdasarkan pada kemajemukkan negeri, kultur yang banyak, keragaman suku dan banyaknya agama. Namun masalah paling mendasar yang dihadapi pasca transisi adalah sejauh mana kesanggupan rezim pasca otoritarian membangun (instalasi) demokrasi yang ujungnya bermuara pada konsolidasi demokrasi.

Terus diuji

Di Indonesia, pemilu menjadi salah satu penyumbang instrumen demokrasi bagi seluruh proses politik. Tanpa pemilu, bangsa kita tidak akan bisa mengenal dan menerapkan indentitas demokrasi secara hakiki. Menyampaikan aspirasi secara hak kemudian pemilu berkala, tahap demi tahap bangsa Indonesia terus berproses berdemokrasi.

Presiden BJ Habibie pada 1999 berjasa besar. Ia membangun fase instalasi demokrasi dan fase konsolidasi demokrasi yang menginginkan terciptanya free and fair. Ia pun menciptakan manajamen pemilu yang bagus. Ia juga menjamin investasi demokrasi yang berintegritas sehingga membuat indonesia terus maju menguatkan demokrasinya.

Dari Pemilu 1999 ke 2004, bangsa Indonesia telah menunjukkan tingkat partisipasi rakyatnya dalam berdemokrasi. Dari kedua tahun pemilu tersebut Indonesia masih berada dalam zona politik abu-abu. Menurut peneliti Carnegie Endowment for International Peace, Thomas Carothers, sebagaimana dikutip Bara Hasibuan, bahwa negara dalam zona abu-abu menganut feckless pluralism syndrome. Sindrom ini berwujud negara demokratis yang tampak di permukaan namun kualitas kehidupan politik di dalamnya ternyata buruk.

Krisis ekonomi global yang terjadi pada 2009 tidak menyurutkan pelaksanaan Pemilu 2009. Ada beberapa permasalahan yang terjadi ditandai dengan buruknya manajemen pemilu oleh KPU. Mahkamah Konstitusi sendiri menyebut penyelenggara pemilu telah bertindak tidak profesional dari ketidaksiapan KPU menyelenggarakan pemilu muncul kritik dari publik, perselisihan hasil pemilu dan karut-marut daftar pemilih tetap (DPT).

Pada Pemilu 2014 ada beberapa kejadian tidak bisa dihindari terjadi saat proses pelaksanaannya. Pertama, beredarnya informasi yang negatif dan tidak valid pada lawan pasangan calon. Fitnah yang berisi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) intensitasnya meningkat pada saat kampanye. Kasus tabloid “Obor Rakyat” yang isinya mendeskriditkan salah satu pasagan calon.

Kedua, klaim dari parpol terhadap DPT yang bermasalah. Selain itu berdasarkan pemberitaan dan isu di sosial media, banyak WNI di luar negeri tidak bisa menggunakan hak pilihnya, di samping panitia pemilihan juga dinilai tidak netral dan berpihak pada salah satu pasangan kandidat. Ketiga, dari sisi media massa, didapati keberpihakan pemilik dan pengurus media, khususnya televisi kepada salah satu kandidat.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melalui “Catatan Awal Penyelenggaraan Pemilu 2019” menilai kualitas Pemilu 2019. Menurut NGO pemilu ini, pemilu yang dilaksanakan ke-13 kali ini setidaknya punya empat catatan. Pertama, keterwakilan perempuan di dalam Pemilu 2019 melalui pencalonan di partai politik, masih tertutup sehingga belum sepenuhnya demokratis. Kedua, dari isu nomor urut caleg, hasil Pemilu 2009 dan 2014 menunjukkan bahwa 60% anggota legislatif terpilih adalah mereka yang bernomor urut 1. Artinya, nomor urut kecil masih sangat berpengaruh terhadap keterpilihan calon, terutama dari sudut pandang pemilih. Ketiga, ketidakjujuran peserta pemilu di dalam melaporkan dana kampanye. Keempat, masih cukup tingginya angka pemilih yang toleran terhadap politik uang.

Kemudian pasca-Pemilu 2019 iklim demokrasi di Indonesia mengalami guncangan. Bayangkan tersiar berita bahwa pemilu dan pemilihan akan diundur dari 2024 ke 2027 (cnnindonesia.com, 23 Juni 2020). Berita ini pun diklarifikasi oleh KPU RI. Wacana pemunduran pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan 2027 adalah respon kondisi saat itu (Juni 2020) di mana tengah muncul usulan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Pemilihan. Pada poin selanjutnya, juga disampaikan bahwa KPU RI melalui Ilham Saputra yang pada saat itu menjabat sebagai anggota KPU RI juga telah menyampaikan klarifikasi kepada media massa bahwa sesuai undang-undang yang berlaku, pemilu dan pemilihan dilaksanakan pada 2024.

Semua hal yang diperdebatkan dan yang disanksikan pada akhirnya akan bermuara pada tujuan akhir. Apa yang selama ini dibangun, diharapkan berbuah menjadi perubahan. Semoga pemilu yang berkeadilan memang bisa diselenggarakan untuk membentuk pemerintahan demokratis. Seperti yang disampaikan Joseph Schumpeter, “the will of the people and the common good”. Kehendak rakyat dan kebaikan bersama. []

HARFANI

Peneliti di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Bukittinggi