August 8, 2024

Jalan Pintas Pencalonan Kepala Daerah

Partai akan makin pragmatis dalam mencalonkan kepala daerah di Pilkada 2018 yang berjarak hanya sepuluh bulan dari Pemilu 2019. Calon populer dan berduit dibidik.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018 adalah ajang bagi partai untuk memanaskan mesin. Pelaksanaan Pilkada 2018 begitu dekat dengan dengan Pemilu 2019—hanya berjarak 10 bulan. Partai akan masak-masak mengusung kepala daerah, tentu dengan pertimbangan pragmatis—agar bisa meraup banyak suara sebagai modal untuk Pemilu 2019 nanti.

Hal tersebut bisa dilihat pada dinamika pencalonan di tiga daerah lumbung suara: Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jumlah pemilih di tiga daerah itu mencapai 48,38 persen dari total daftar pemilih tetap Indonesia pada Pilpres 2014 lalu. Tiga daerah tersebut menyumbang 48,11 persen suara bagi kemenangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla serta 49,43 persen suara bagi pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa. Di daerah-daerah itu, belum ada calon pasti. Koalisi masih begitu cair.

“Pilkada 2018 begitu dekat dengan Pilpres 2019. Bangunan koalisi calon di setiap daerah akan mirip kepentingan politik untuk 2019. Mungkin ada sedikit variasi, tapi kecil,” kata Sebastian Salang, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), di Jakarta (27/11).

Pragmatis

Popularitas, elektabilitas, dan kemampuan finansial calon juga jadi pertimbangan partai dalam menentukan calon yang hendak diusung di setiap daerah. Pertimbangan pragmatis yang bertemu dengan momentum politik itulah yang membuat proses pencalonan lebih alot.

“Semakin lumbung suara, semakin pragmatis. Hitung-hitungan power yang menentukan. Jadi alot,” kata Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam diskusi “Menyongsong Pilkada Serentak yang Berkualitas di Lumbung Suara” (27/11).

Penentuan calon dengan pertimbangan pragmatis ini menunjukkan ada persoalan di internal partai. Kader yang memadai tidak tersedia di partai. Ada jarak antara kader, partai, dan masyarakat. Saat partai membutuhkan kader untuk mendekat ke masyarakat, hal tersebut jadi masalah. Partai merasa ragu pada kadernya sendiri dan memilih jalan pintas dengan melirik kader lain, baik dari partai lain maupun nonpartai. Selain itu, proses penentuan calon lebih banyak dilakukan oleh elite yang menguasai partai. Proses kandidasi ini masih tersentralisasi di level pusat atau DPP partai.

“Kalau ini diteruskan bisa mematikan demokrasi internal partai dan aspirasi kader,” tegas Firman.

Kader yang tak terfasilitasi di partai, akhirnya menempuh pencalonan melalui jalan pintas jalur perseorangan. Jalur yang semestinya menjadi jalan bagi calon alternatif justru dibajak partai karena persoalan yang dialami di internalnya sendiri.

Syamsuddin Alimsyah, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), berpendapat hal ini disebabkan oleh ketiadaan terma yang menyatakan jalur perseorangan tak boleh ditempuh oleh anggota partai.

“Jadi, masalahnya adalah ketika tidak ada terminologi yang kuat untuk calon perseorangan. Apakah parpol atau non parpol,” tukas Syam (29/11).

Sejak anggota partai menggunakan jalur perseorangan, muncul kasus-kasus manipulasi dukungan atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) palsu. Masalahnya, tak ada aturan di UU Pilkada yang menyatakan bahwa pelaku penyerahan dukungan palsu dapat didiskualifikasi.

Hal yang semakin ironi, kata Syam, ketika anggota partai mencalonkan lewat jalur perseorangan, pengurus partai hadir mendampingi bakal calon dalam proses pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Begitu pula saat kampanye berlangsung, anggota partai calon perseorangan menggunakan mesin partai.

“Begitu kampanye di lapangan, dia pasti menggunakan struktur parpol. Bahkan, ada parpol yang belum jadi peserta pemilu, tapi ketua atau anggotanya maju lewat jalur perseorangan,” ujar Syam.

Pencalonan inklusif

Revitalisasi kader dan pelembagaan aturan main menghapus keterlibatan elite yang berlebihan dibutuhkan untuk mengatasi persoalan tersebut. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kodifikasi Undang-undang Pemilu sempat merumuskan pasal pencalonan yang lebih inklusif. Partai atau gabungan partai dalam mendaftarkan pasangan calon kepala daerah wajib menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani oleh ketua pengurus partai dan sekretaris di provinsi untuk pemilihan gubernur atau di kabupaten/kota untuk pemilihan bupati/walikota. Proses pencalonan itu juga didorong untuk dilakukan secara transparan dan terbuka bagi kader.

Pilkada seharusnya mengontestasikan kualitas atau kompetensi calon, bukan semata-mata hanya karena faktor populer dan memiliki modal besar saja. Menyediakan calon yang berkualitas adalah tanggung jawab partai.

“Partai politik harus bertanggung jawab (terhadap demokrasi) dengan cara mengusulkan tokoh-tokoh yang berkualitas,” kata Siti Zuhro, peneliti LIPI (27/11).