Pada akhir Juli lalu, Dewan Perwakilan Rakyat telah memutuskan bahwa dalam pemilihan presiden tahun 2019 nanti akan memberlakukan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen. Artinya, hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh kursi 20 persen dari jumlah kursi parlemen yang dapat mengajukan calon presiden dalam pemilihan umum 2019. Ambang batas 20 persen ini sudah diberlakukan dalam Pemilihan Umum 2009 dan 2014. Saat itu tidak ada yang mempersoalkan.
Untuk Pemilihan Umum 2019 mendatang, pemilihan presiden, DPR, dan DPD diselenggarakan secara serentak. Karena serentak, persyaratan ambang batas pencalonan presiden 20 persen menjadi masalah. Sebagian berpendapat bahwa ambang batas itu tidak rasional karena angka 20 persen itu merujuk pada hasil pemilihan umum legislatif 2014 yang sudah dipergunakan dalam pemilihan presiden 2014. Yang lain menilai ambang batas 20 itu rasional, karena yang mencalonkan presiden dan wakil presiden itu partai politik atau gabungan partai politik.
Dilihat dari prespektif masing-masing, kedua pendapat tersebut menggunakan argumentasi yang masuk akal. Persoalannya, 2019 itu adalah pemilihan umum serentak pertama kali. Karena pertama kali, penentuan ambang batas pencalonan presiden terkesan berbau kepentingan masing-masing pihak yang setuju atau menolak angka 20 persen itu.
Pada awal kemerdekaan, setelah UUD 1945 disusun, bangsa dan negara Indonesia masih memberlakukan hukum yang dibuat oleh Belanda, dengan berdasarkan pada Pasal II aturan peralihan UUD 1945: “Segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ketentuan ini sesungguhnya tidak masuk akal. Usaha memerdekakan bangsa ini membutuhkan waktu, tenaga, pengorbanan yang sangat besar. Begitu merdeka, mengapa Indonesia masih memberlakukan hukum yang dibuat oleh bangsa yang menjajahnya? Sekilas, hal ini merupakan sesuatu yang aneh.
UUD 1945 juga menyatakan, “Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.” Bila ini diukur dari bingkai demokrasi, pastilah tidak demokratis. Tidak ada pendelegasian perwakilan rakyat Indonesia yang dilimpahkan kepada PPKI. Selain itu, untuk pertama kalinya anggota DPR tidak dipilih melalui pemilihan umum, melainkan berganti baju dari Komite Nasional Indonesia Pusat, yang semula diberi tugas membantu presiden, menjadi DPR.
Beberapa peristiwa ketatanegaraan yang terjadi di awal kemerdekaan itu menunjukkan bahwa segala sesuatunya pasti ada dasar hukum yang untuk pertama kalinya diberlakukan, yang secara logika tidak masuk akal, tetapi dapat diterima karena untuk kepentingan bangsa dan negara. Karena itu, ambang batas pencalonan presiden di UUD NRI 1945 dikategorikan open legal policy, kebijakan yang terbuka, karena konstitusi tidak melarang ataupun mewajibkan. Untuk itu, pembentuk undang-undang boleh mengaturnya.
Ketentuan ambang batas pencalonan presiden 20 persen dalam UndangUndang Pemilihan Umum 2019 menjadi perdebatan yang riuh karena terbaca tendensius dan ambisius untuk kepentingan pihak-pihak yang diuntungkan dengan angka itu. Tentu saja pihak yang dirugikan atau merasa dirugikan akan mati-matian berargumentasi di media bahwa angka 20 persen itu tidak rasional, melanggar konstitusi, dan bahkan mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Untuk mengurangi tensi perdebatan yang sangat sengit itu, semestinya para penyusun undang-undang itu kembali membuka pengalaman berhukum para pendiri negara ini. Hukum dibuat untuk kepentingan bangsa, bukan kepentingan segelintir orang yang hanya sesaat.
Pada prinsipnya, pemberlakuan ambang batas itu diperlukan dalam pencalonan presiden yang diajukan oleh partai politik. Tetapi penentuan persentase itu sebaiknya yang berkeadilan dan menguntungkan semua pihak. Alangkah indahnya apabila ambang batas itu menggunakan angka terendah dari perolehan suara partai politik pada Pemilihan Umum 2014. Adapun pemilihan presiden pada 2024 kelak baru dapat memberlakukan ambang batas 20 persen. Ini membuat semua partai politik peserta pemilihan umum 2014 bisa mengajukan calon presiden terbaiknya dalam pemilihan presiden 2019 nanti.
Demokrasi itu prinsipnya berkompetisi. Semakin ketat kompetisi dalam pemilihan presiden, semakin kuat nilai demokrasinya. Marilah berdemokrasi dengan tidak takut berkompetisi.
Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang
https://koran.tempo.co/konten/2017/08/10/420205/Jalan-Tengah-Ambang-Batas-Calon-Presiden