Penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020, meskipun belum ada kepastian dari Pemerintah, meninggalkan sejumlah masalah. Salah satunya, yang sering disebut oleh penyelenggara dan pegiat pemilu yakni terkait kekosongan masa jabatan kepala daerah. Mencari penjabat sementara di 270 daerah dinilai bukanlah perkara mudah.
“Gubernur itu kan (yang mengisi jabatan sementara) pejabat madya. Wali kota bupati, pejabat pratama. Nah, mereka sekarang ini kan menjadi stakeholder penanganan Covid (Coronavirus disease). Mereka dibutuhkan juga. Jadi, bisa susah mendapatkan pejabat seperti itu, akhirnya yang diangkat yang polisi-polisi,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari pada webdiskusi “Urgensi dan Substansi Perppu Pilkada” (7/4).
Menanggapi potensi sulitnya mencari penjabat sementara, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyarankan agar Pemerintah mengatur di dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) bahwa apabila terjadi kekosongan jabatan, maka sekretaris daerah (sekda) otomatis diangkat menjadi penjabat. Namun apabila sekda mencalonkan diri dalam Pilkada, posisi penjabat dapat diisi oleh pejabat setingkat kepala dinas.
“Bisa diatur demikian. Kita bisa membuat pengisian kekosongan masa jabatan itu lebih simpel,” ujar Titi.
Titi, begitu juga Feri, tak setuju jika solusi untuk menghindari kekosongan jabatan adalah dengan memperpanjang masa jabatan kepala daerah. Menurutnya, perpanjangan masa jabatan kepala daerah menimbulkan ketidakadilan dalam hal masa jabatan kepala daerah, serta berpotensi menimbulkan abuse of power dan penyalahgunaan anggaran. Terlebih bagi seorang petahana, ia mesti nonaktif sementara pada tahap kampanye.
“Ikatan jabatannya kan lima tahun. Ini juga bisa merugikan kontestan lain. Kalau kita perpanjang dia, bisa ada isu abuse of power, penyalahgunaan anggaran,” ucap Titi.
Ia juga merekomendasikan agar daerah yang akhir masa jabatan kepala daerah jatuh pada Juli 2022 hingga 2024, melangsungkan Pilkada Serentak pada akhir 2022 atau awal 2023. Hal tersebut dimaksudkan Titi untuk menata jadwal pemilu serentak nasional dan lokal, guna menghindari Pemilu Serentak nasional dan lokal di 2024.
“Dengan demikian, secara perlahan kita mulai menata jadwal dan menghindari kekacauan di 2024. Dan juga, berhubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.55/2019, keserentakkan pemilu bisa mulai kita lakukan,” tutupnya.