Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan 2 (DPTHP2) Pemilu 2019 sebanyak 192.828.520 orang pada Sabtu (15/12/2018). Jumlah ini ternyata lebih banyak dari total jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang telah merekam Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik, yang dicatat oleh Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per Selasa (19/3), yakni 188.445.040.
Artinya, jika DPTHP2 dalam negeri adalah 190.770.329, maka terdapat 2.325.289 data pemilih di DPTHP2 yang disinyalir belum memiliki KTP elektronik. Artinya pula, terdapat selisih 151.657 antara total WNI yang wajib memiliki KTP elektronik, yaitu 192.676.863, dengan total pemilih di DPTHP2. Jumlah DPTHP2 masih lebih banyak dari jumlah WNI wajib KTP elektronik. Hal ini menjadi sorotan pada rapat dengar pendapat di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI (19/3).
“Deviasi antara DPT dengan total penduduk yang berKTP itu, selisihnya 151.657. Dari mana juntrungannya KPU dapat DPT yang melebihi penduduk yang seharusnya ber e-KTP?” tandas anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Sirmadji.
Anggota KPU RI, Hasyim Asyarie menjelaskan, bahwa KPU membedakan antara hak terdaftar di dalam daftar pemilih dengan hak untuk memilih di hari pemungutan suara. Dalam hal hak terdaftar di daftar pemilih, KPU memasukkan WNI yang namanya tercantum di dalam Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) yang didapat dari Kemendagri, meskipun yang bersangkutan belum merekam KTP elektronik. Alasannya, KPU tak ingin menghapus begitu saja pemilih yang pada pemilihan-pemilihan sebelumnya terdaftar di daftar pemilih.
“Sanggat mungkin WNI kita yang namanya ada di DP4, tetapi administrasi kependudukannya belum tuntas. Nah, kami tidak ingin buru-buru mencoret yang sudah mausuk ke DPT di pemilu sebelumnya, makanya kami bikin form AC. Dalam Pilkada, AC KWK. Nah, daftar nama orang-orang ini kami sudah sampaikan ke Dukcapil, bahwa dia masuk di daftar pemilih, tetapi urusan kependudukannya belum tuntas,” terang Hasyim.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KPU mengakui pihaknya memasukkan nama WNI yang belum merekam KTP elektronik tetapi namanya masuk di DP4, ke dalam DPTHP2. Berdasarkan Pasal 7 Peraturan KPU (PKPU) No.3/2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara, pemilih yang telah terdaftar di DPT, dapat memberikan suaranya dengan menunjukkan form C6 dan KTP elektronik atau identitas lainnya seperti Surat Keterangan (Suket), Kartu Keluarga (KK), paspor, atau Surat Izin Mengemudi (SIM).
“Karena di UU Pemilu disebutkan bahwa sistem pemutakhiran data pemilih itu berkelanjutan, maka salah satunya menggunakan daftar pemilih sebelumnya. Makanya, mestinya tidak ada hambatan bagi warga negara yang urusan kependudukannya belum selesai, tetapi pernah tercatat di daftar pemilih sebelumnya, untuk mengggunakan hak pilih. Prinsipnya mestinya begitu,” tandas Hasyim.
Sementara itu, dalam hal hak memilih pada hari pemungutan suara, bagi WNI yang tidak terdaftar di DPT, dapat mendaftarkan dirinya pada Daftar Pemilih Khusus (DPK) dengan menunjukkan KTP elektronik. Penggunaan identitas lain sebagaimana yang diizinkan kepada pemilih yang telah terdaftar di DPT tidak diperkenankan.
“Kalau DPK, kan berari dia belum terdaftarl. Lalu, sebab hak pilih itu ditentukan dengan e-KTP, mau gak mau harus pakai e-KTP,” ucap Hasyim.
Setelah berdebat hampir dua jam mengenai fenomena ini, Komisi II akhirnya menyepakati pandangan KPU. Namun, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tak setuju. Bawaslu menganggap, dimasukkannya WNI yang belum memiliki KTP elektronik ke dalam DPTHP2 merupakan bentuk ketidakadilan terhadap WNI yang belum memiliki KTP elektronik tetapi belum terdaftar di DPT. Bawaslu mengusulkan agar KPU menetapkan DPTHP3.
“Ini akan jadi problematika pengawasan pada hari pemungutan suara. Karena muncul perlakuan berbeda kepada orang yang belum punya e-KTP. Yang satu beruntung sudah masuk di DPT, yang satu belum. Nah, ini bisa dipermasalahkan,” tegas Ratna.