August 8, 2024

Kajian IDEA, Demokrasi Indonesia Menguat di Tengah Perubahan Dunia

International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) merilis hasil analisis perkembangan demokrasi di 35 negara di dunia dalam kurun waktu 1975 hingga 2015. Rilis menunjukkan bahwa indeks partisipasi masyarakat Indonesia dalam demokrasi adalah sangat baik.

Pada tahun 2015, tingkat partisipasi masyarakat sipil Indonesia berada di posisi yang lebih baik dari 29 negara lain. Skor Indonesia hanya lebih rendah dari Denmark, Finlandia, Jerman, Yunani, dan Irlandia. Kemudian, dalam indeks partisipasi pemilu, Indonesia berada di urutan ke-3 dari 35 negara. Skor Indonesia adalah 0.80, setara dengan Denmark dan Guinea-Bissau.

Indeks ini memberikan skor terendah 0.00 dan tertinggi 1.00.

Peningkatan Partisipasi Masyarakat Sipil

Indonesia meraih skor 0.82 untuk tahun 2015 atas tingkat  partisipasi masyarakat sipil. Skor ini meningkat drastis dibandingkan tahun 1975 hingga 1995, dimana skor Indonesia hanya 0.32 selama dua puluh tahun. Skor Indonesia beranjak meningkat, yakni 0.73 untuk tahun 2005.

Angka berbicara bahwa masa reformasi memberikan kesempatan yang jauh lebih besar bagi masyarakat sipil untuk ikut serta dalam kehidupan demokrasi warga negara ketimbang masa Orde Baru. Reformasi menjadi tanah subur bagi tumbuhnya lembaga-lembaga masyarakat sipil di Indonesia.

Jika membandingkan dengan negara lainnya, partisipasi masyarakat sipil dalam demokrasi di Indonesia lebih baik dari lima negara dengan perekonomian yang lebih besar atau teknologi yang lebih maju, yakni India, Israel, Jepang, Italia, dan Prancis. Indonesia juga, dengan penduduk mayoritas muslim, menunjukkan daya akselerasi yang lebih baik dari lima negara dengan penduduk mayoritas muslim lainnya, yaitu Mesir, Iran, Irak, Kazakhstan, dan Jordan.

Skor untuk India, Israel, Jepang, Italia, Prancis, Mesir, Iran, Irak, Kazakhstan, dan Jordan untuk tahun 2015 adalah 0.65, 0.66, 0.64, 0.70, 0.79, 0.45, 0.45, 0.59, 0.47, dan 0.61.

Tingkat Partisipasi dalam Pemilu

Tak seperti hasil analisis partisipasi masyarakat sipil di Indonesia yang meningkat, tingkat partisipasi warga negara dalam pemilu cenderung stagnan setiap per sepuluh tahunnya. Namun, rapor Indonesia menunjukkan hasil yang baik.

Pada 1975, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu bertengger pada angka 0.86. Pada 1985, 0.89. Pada 1995, 0.88. Pada 2005, 0.75. Dan pada 2015, 0.80. Hal ini menunjukkan bahwa sejak masa Orde Baru hingga Reformasi, partisipasi masyarakat dalam pemilu terbilang tinggi. Dengan kata lain, ketika partisipasi masyarakat sipil dalam demokrasi pada masa Orde Baru rendah, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu tetap tinggi.

Bandingkan dengan Mesir, tingkat partisipasi sejak 1985 hingga 2015 stuck di angka 0.20-an. Revolusi Mesir 2011 tak mendongkrak keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Sama halnya dengan Haiti dan Gambia yang mengalami penurunan drastis antara 1975-1985 dengan 2005-2015.

Angka Partisipasi dan Hasil Demokrasi

James Q. Wilson dan John J. Dilulio dalam buku mereka American Government (1980) mengatakan bahwa rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu dan demokrasi bisa jadi menandakan dua hal berbeda, yakni politik sedang sehat, atau politik sedang sakit. Pertanyaan yang tepat untuk dapat mendengarkan jawaban tentang kebaikan demokrasi bukanlah berapa tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu, melainkan dampak apakah yang diberikan dari sebuah tingkat partisipasi pemilih terhadap pemerintahan yang seluruh warga negara dapatkan?

“A virtue is a virtually, not an imaginary.” Tingginya partisipasi masyarakat dalam pemilu dan demokrasi semestinya turut disertai dengan peningkatan kualitas pemerintahan yang Indonesia dapatkan. Pemerintahan, yang menurut International IDEA, bersih dari korupsi, menjamin hak-hak asasi manusia, memiliki sistem pemilu yang tidak manipulatif, efektif dan efisien, dan menjamin warga negara mendapatkan “safety”, “wellbeing”, dan “livelihoods” yang baik.

“Apa yang membuat demokrasi tangguh?” tanya IDEA. Jawabnya sendiri adalah kemampuan sosial yang dimiliki oleh elemen-elemen demokrasi untuk mengatasi, bertahan, dan menyembuhkan diri dari tantangan dan krisis yang kompleks. Demokrasi Indonesia mesti bertahan di tengah maraknya populisme yang mengancam hak-hak minoritas, menolak munculnya rezim otokratik, dan mencegah praktek manipulasi dalam proses pemilu.