April 20, 2024
iden

Kalkulasi Objektivitas MK

ilustrasi-september-02Mahkamah Konstitusi (MK) cenderung menjadikan syarat selisih suara maksimal 2 persen yang bergantung dengan jumlah penduduk daerah berpilkada sebagai dasar menerima proses gugatan. Merujuk pengalaman MK menangani sengketa pilkada, hanya satu permohonan perselisihan hasil pilkada yang putusannya membalikan keadaan keterpilihan pasangan calon. Pasangan calon terpilih Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat 2010, dibalikan keterpilihannya oleh pasangan calon pemohon yang selisih suaranya lebih dari 2 persen.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), undang-undang yang menjadi dasar penyelenggara Pilkada 2015 yang sebelumnya berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang hadir di konteks ketergesaan. Padahal pilkada serentak merupakan pengalaman baru Indonesia berdemokrasi. Banyak hal di dalam Undang-undang No. 8/2015 tentang Revisi Undang-undang No.1/2015 yang pengaturannya tak relevan dengan konteks keserentakan. Salah satunya, penanganan perselisihan hasil.

“Pasal 158 UU 8/2015 mensyaratkan selisih suara tidak boleh lebih dari 2% dari hasil yang ditetapkan oleh KPU. Syarat ini jika dilihat dari maksud dan tujuan kehadirannya, ingin menyampaikan pesan, agar MK tidak menjadi “tong sampah” sengketa pilkada,” kata peneliti hukum Perludem, Fadli Ramadhanil kepada rumahpemilu.org.

Konteks kekhawatiran banjir sengketa itu di Pilkada 2015 menjadi tak relevan. Jumlah permohonan perselisihan hasil jumlahnya sangat sedikit. Ini di jauh lebih sedikit dari prediksi pengamat pemilu. Perludem memprediksi dari 264 daerah yang menyelenggarakan pilkada, setidaknya akan ada 264 pemohon dari paslon pemenang kedua. Tapi ternyata jumlahnya hanya 132 pemohon dari 132 daerah.

Padahal faktanya apa yang dimaksud penegakan prinsip pemilu yang jujur dan adil dibutuhkan juga dalam kasus perselisihan hasil yang selisih suaranya melebih 2 persen. Objektivitas kalkulasi MK pun menjadi mungkin dalam kasus perselisihan yang suaranya terlalu jomplang.

Veri Junaidi dalam “Mahkamah Konstitusi, Bukan Makalah Kalkulator” (2013) menuliskan penekanan objektivitas putusan perselisihan hasil. Di konteks pengadilan permohonan perselisihan suara tanpa syarat selisih suara 2 persen, MK menjaga prinsip jujur adil untuk menilai pelanggaran prinsipil di pilkada dengan isitilah terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Penilaian berdasarkan TSM itu MK bisa mengeluarkan putusan beragam. Bisa ditolak. Bisa diterima dengan melakukan pemungutan suara di sejumlah TPS. Bisa diterima dengan melakukan pemungutan suara di seluruh TPS. Bisa diterima dengan membalikan keterpilihan pasangan calon.

Satu-satunya putusan membalikan keterpilihan oleh MK terjadi pada permohonan perselisihan hasil Pilkada Kotawaringin Barat. Dari kasus ini, kita bisa mendapatkan bentuk apa yang dimaksud terstruktur, masif, dan sistematis.

Terstruktur karena dari 78.238 relawan terdapat nama-nama KPPS. Di antaranya merupakan ketua KPPS. Di Arut Selatan sebanyak 17 ketua KPPS. Di Arut Utara ada 6 ketua KPPS. Di Kotawaringin Lama ada 7 ketua KPPS. Di Kumai ada 17 ketua KPPS. Di Pangkalan Lada ada 17 ketua KPPS. Terakhir, di Pangkalan Banteng ada 21 ketua KPPS.

Sistematis karena membentuk relawan setiap Rukun Tetangga (RT) yang bertugas mendata pemilih serta menyampaikan isu, propaganda, dan juga membagikan merchandise atau uang. Tim Sukses pasangan berjulukan “Sugesti” ini mengeluarkan Surat Keputusan Nomor KEP-01/TIM KAM/KOBAR/III/2010. Sebanyak 78.238 orang atau 62,09% dari total pemilih yang menggunakan hak pilihnya di enam kecamatan: Arut Selatan, Arut Utara, Kotawaringin Lama, Kumai, Pangkalan Lada, dan Pangkalan Banteng.

Masif karena pengangkatan relawan berjumlah 78.238 tersebut dapat dikualifikasi sebagai kejahatan politik uang atau setidaknya sebagai kedok untuk melakukan politik uang. Tim Sukses Sugesti memberikan Surat Keterangan/Sertifikat kepada relawan dengan uang Rp 150.000 sampai Rp 200.000 perorang.

Selisih suara peraih suara pertama dan kedua Pilkada Kotawaringin Barat adalah 12 ribuan suara. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kotawaringain Barat 235.274 jiwa (2010), angka 12 ribu senilai dengan 5 persen. Jika diasumsikan jumlah warga berhak pilih adalah 70 persen dari jumlah penduduk Kotawaringan Barat pada 2010 (), maka jumlah pemilih sekitar 165 ribu. Selisih suara 12 ribu jika dibandingkan pemilih di daftar pemilih sejumlah 165 ribu, maka nilai persentasenya adalah 7,2. Jika selisih suara 12 ribu dibandingkan dengan suara sah, persentasenya lebih besar. Disimpulkan, sangat mungkin ada pelanggaran prinsipil di hasil pemilu yang selisih suaranya lebih dari 2 persen.

Di Pilkada 2015 ini, MK cenderung menyikapi permohonan dengan sejumlah tahapan. Konteks kekhawatiran banjir sengketa pilkada serentak yang menjadi dasar syarat selisih suara Pasal 158 sudah tak relevan. Menjadi relevan jika MK kembali merujuk pada Pasal 24C Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi MK berwenang memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Kita tahu, perselisihan hasil bukan saja soal selisih suara. Objektivitas putusan menjadi lebih mungkin jika permohonan yang disidangkan MK putusannya lebih diukur dari makna TSM. []

USEP HASAN SADIKIN