November 15, 2024

Kalyanamitra: Ada 6 Bentuk KBG di Pemilu 2024

Hasil studi Kalyanamitra menunjukkan ada enam bentuk kekerasan berbasis gender (KBG) yang terjadi selama Pemilu 2024. Bentuk KBG yang pertama yakni, intimidasi. Intimidasi dilakukan oleh tim sukses calon kepada pemilih perempuan, berikut dengan ancaman akan mencabut bantuan sosial apabila pemilih tak memilih calon yang dikampanyekan tim sukses bersangkutan. Intimidasi juga terjadi pada perempuan aktivis, perempuan penyelenggara pemilu, dan relawan oleh relawan kandidat lain.

“Melalui 47 indikator pemantauan, kami menemukan banyak sekali KBG dalam pemilu yang terjadi. Dalam bentuk intimidasi, korbannya sangat beragam. Yang terjadi pada penyelenggara pemilu misalnya, ada intimidasi agar mereka mau memanipulasi suara,” kata Koordinator Pengelolaan Pengetahuan Kalyanamitra, Lailatin Mubarokah, pada diskusi “Hasil Pemantauan Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu di Indonesia” (24/6).

Bentuk KBG kedua ialah diskriminasi terhadap perempuan calon penyelenggara pemilu. Ditemukan kasus perempuan yang tidak dipilih sebagai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) karena adanya bias gender dari penyelenggara pemilu di tingkat atas. Perempuan ibu rumah tangga tak dipilih lantaran dipandang tak dapat bertugas secara optimal, karena memiliki tugas domestik, seperti mengasuh anak dan memasak.

“Tidak dipilih dengan alasan, kalau perempuan kayaknya susah kerja malam-malam, karena punya anak kecil, di rumah harus masak, dan lain-lain. Maka, dipilih yang laki-laki saja. Jadi, banyak yang berkasnya tidak diproses,” ujar Lailatin.

Pada seleksi penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota pun masih ditemukan pertanyaan tim seleksi yang bias gender. Kandidat perempuan diberikan pertanyaan seputar peran domestik, yang tak ditanyakan kepada laki-laki.

“Pertanyaannya bias gender. Ketika Anda terpilih sebagai penyelenggara pemilu, bagaimana urusan rumah tangga? Siapa yang akan mengurus anak?” kata Suryani dari Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, pada diskusi yang sama.

Diskriminasi juga dialami oleh perempuan calon anggota legislatif (caleg). Ada perempuan caleg yang semula bernomor urut 1 di daftar calon, namun dipindahkan ke nomor urut 3 secara tiba-tiba oleh partai politiknya. Perempuan juga tak memperoleh pendampingan dan bantuan apa pun dari partai dalam kompetisi Pemilu Legislatif.

Bentuk ketiga dari KBG yaitu narasi seksis dan misoginis terhadap perempuan caleg. Masih ditemukan narasi bahwa perempuan haram menjadi pemimpin, kurang rasional, kurang berpendidikan, dan terdapat stigma negatif terhadap perempuan yang bercerai.

“Ada juga stigma negatif terhadap perempuan janda. Narasi seperti jaga keluarga saja tidak bisa, apalagi menjadi anggota legislatif,” tukas Lailatin.

Bentuk KBG keempat yang ditemukan ialah pelecehan dan kekerasan seksual. Korbannya mulai dari perempuan kader partai yang menjadi caleg, hingga jurnalis yang meliput kampanye. Dua bentuk kekerasan yang terjadi yakni, pemaksaan penggunaan jilbab, eksploitasi istri untuk pembiayaan kampanye, pengungkapan orientasi seksual caleg tanpa izin dari caleg terkait, dan kawin paksa.

“Kami juga menemukan adanya kawin paksa yang dilakukan oleh salah satu caleg kepada anaknya, karena dianggap kalau menikahkan anak di desa di dapilnya, itu akan menambah perolehan suaranya,” terang Suryani.

Selain itu, Kalyanamitra juga menemukan adanya mobilisasi suara perempuan dan kelompok rentan untuk perolehan suara. Mobilisasi suara terjadi di pengajian, tempat keagamaan, juga keluarga.

“Banyak yang menggunakan pengajian-pengajian untuk memobilisasi perempuan. Mereka dijanjikan uang, kalau dapat suara segini, akan dikasih uang segini. Ada juga yang dijanjikan anaknya akan dapat beasiswa,” jelas Lailatin.

Bentuk KBG lainnya yaitu pemungutan suara yang tidak inklusif bagi ibu hamil dan lansia. Keduanya tak diprioritaskan oleh KPPS. Ibu hamil dan lansia mesti ikut mengantre untuk memberikan suara. []