Masa kampanye Pilkada 2020 akan berlangsung selama 71 hari dimulai pada 26 September dan berakhir pada 5 Desember. Rentang waktu tersebut menjadi musim semi pencitraan politik di 270 daerah yang menggelar pilkada.
Penyelenggaraan pilkada di musim pandemi sudah seharusnya dikelola tak sekadar coba-coba. Taruhannya nyawa manusia dan kesehatan masyarakat di tengah euforia politik citra. Jangan sampai pilkada menjadi kluster baru penyebaran Covid-19.
Ada dua dimensi yang harus padu saling menguatkan, yakni kesadaran masyarakat dan kepastian aturan main berbentuk kebijakan yang bisa memandu perilaku dalam penyelenggaraan pilkada.
Modifikasi kampanye
Kampanye merupakan aktivitas penting dalam tahapan pilkada karena bisa menjadi momentum pengenalan diri, visi dan misi program, sekaligus uji publik kapasitas calon pemimpin daerah.
Dalam perspektif akademik, mengacu kepada Roger dan Storey dalam bukunya, Communication Campaign (1987), kampanye didefinisikan sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dan bertujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Secara praktis, soal pembatasan waktu ini juga ditegaskan di masa kontestasi elektoral, seperti pilkada ataupun pilpres.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan masa kampanye Pilkada 2020 selama 71 hari. Rentang waktu ini lebih singkat dibandingkan Pilkada 2015 sepanjang 81 hari dan pemilu serentak 2019 yang berlangsung panjang mulai dari 23 September 2018 hingga 13 April 2019.
Tentu saja penyelenggaraan kampanye dalam pilkada kali ini wajib menjadikan variabel pandemi di urutan pertama. Bagi KPU, tidak ada pilihan lain selain keseriusan pada detail pelaksanaan kampanye dengan protokol kesehatan. Sementara para pihak yang berkampanye, baik pasangan calon maupun tim suksesnya, harus berdisiplin dengan aturan dan bersama-sama membangun kesadaran peduli penanganan Covid-19 di tengah implementasi ragam cara memersuasi basis pemilih.
Kampanye harus berbasis identifikasi masalah, terlebih lagi kini banyak khalayak terdampak yang membutuhkan dukungan baik dari sisi kesehatan, ekonomi, maupun sosial.
Seorang praktisi sekaligus ilmuwan kampanye, Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip Hans-Dieter Klingemann, Public Information Campaigns and Opinion Research (2002), menggarisbawahi pentingnya proses kampanye yang dimulai dengan riset identifikasi masalah dan berujung dengan tawaran nyata mengurangi masalah (reduce problem). Dengan demikian, kampanye diharapkan menjadi bagian dari solusi, bukan justru menjadikan masalah kian tak terkendali.
Kita bisa belajar dari Korea Selatan dan Singapura yang relatif sukses menggelar pemilu di musim pandemi Covid-19. Republic of Korea National Election Commission (KPU Korsel) menggelar pemilu untuk memilih 300 anggota legislatif nasional pada 15 April 2020.
Partisipasi pemilih cukup baik, bahkan ini menjadi capaian terbaik dalam 20 tahun terakhir pemilu di Korea Selatan dengan 66,2 persen atau lebih dari 28 juta pemilih menggunakan hak suaranya. Dari sisi pandemi, penyelenggaraan pemilu juga patut diapresiasi karena dalam rentang waktu 14 hari masa inkubasi virus dari hari-H pencoblosan tak ada kasus baru Covid-19 akibat penyelenggaraan pemilu.
Tentu banyak faktor yang membuat Korea Selatan sukses menggelar pemilu di musim pandemi. Salah satu yang menjadi faktor menentukan adalah modifikasi metode kampanye. Penyelenggara mengoptimalkan kampanye daring.
Metode kampanye berbasis daring mengoptimalkan ragam konten kreatif dan bersifat multimedia. Hal ini berhasil menekan kerumunan massa yang berpotensi menyebarkan virus. Jika dalam pemilu sebelumnya hanya sebagai pelengkap, kampanye di media daring pada musim pandemi menjadi metode kampanye utama.
Metode kampanye berbasis daring mengoptimalkan ragam konten kreatif dan bersifat multimedia.
Modifikasi metode kampanye juga dilakukan pada pemilu Singapura yang telah berhasil melewati hari pemilunya pada 10 Juli lalu. Kampanye akbar secara tegas dan jelas ditiadakan untuk mengantisipasi penyebaran pandemi. Calon parlementarian didorong menggelar kampanye daring melalui livestreaming.
Hal menarik lain adalah partai politik diberikan alokasi waktu lebih panjang untuk menyampaikan program serta visi-misinya melalui saluran siaran televisi nasional. Kandidat memang masih diperkenankan berkomunikasi dengan warga secara door-to-door selama mematuhi peraturan yang mengizinkan perkumpulan maksimal lima orang di fase kedua menuju kenormalan baru.
Perbaikan mekanisme
Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19 yang ditetapkan 6 Juli lalu masih perlu diperbaiki dalam banyak hal, terutama karena belum mencerminkan kebijakan yang mendukung penanganan Covid-19 dalam hal penyelenggaraan kampanye.
KPU harus mengeluarkan peraturan khusus tentang penyelenggaraan kampanye agar lebih jelas, operasional, dan implementatif sesuai protokol kesehatan. Ada beberapa catatan penting sebagai masukan bagi KPU.
Pertama, menyangkut metode kampanye yang akan dipakai. Di Bab VI Pasal 57 PKPU No 6 Tahun 2020 disebut ada tujuh metode kampanye, yakni pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik dan debat terbuka antar-pasangan calon, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, penayangan iklan kampanye di media massa cetak dan elektronik, serta kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan perundangan-undangan.
Kekurangannya, seharusnya ditambahkan secara eksplisit metode kampanye di media sosial supaya ada peraturan yang jelas yang akan memandu kampanye melalui media sosial.
Di pemilu serentak 2019 lalu, terutama dalam Pasal 275 UU No 7 Tahun 2017, media sosial sudah disebutkan eksplisit sebagai satu di antara sembilan metode kampanye. Harusnya, di Pilkada 2020 juga sama. Terlebih di musim pandemi ini, penggunaan media sosial akan lebih marak lagi mengingat intensitas penggunaan media sosial yang meningkat sangat pesat akibat pembatasan sosial.
Aturan main harus jelas, rinci, dan memberi kepastian supaya juga memudahkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masyarakat untuk sama-sama mengawasi pelaksanaannya. KPU seharusnya mendorong kampanye melalui media sosial ini sebagai salah satu metode utama, bukan pelengkap, seperti di Korea Selatan dan Singapura.
Era saat ini sering disebut Blumler dan Kavanagh di buku Ian Ward dan James Cahill, Old and New Media: Blogs in the Third Age of Political Communication (2009), sebagai generasi ketiga komunikasi politik setelah era retorika dan era media arus utama. Era yang ditandai berlimpahnya informasi dengan karakteristik komunikasi multimedia dan interaktif ini akan meluap di Pilkada 2020.
Kedua, di Pasal 63 PKPU No 60 tentang kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf g masih memasukkan celah kerumunan massa dalam jumlah besar karena masih membolehkan adanya rapat umum serta kegiatan kebudayaan, seperti pentas seni, panen raya, bahkan konser musik. Selain itu, masih dibolehkan kegiatan olahraga bersama dan bazar. Kegiatan-kegiatan sejenis ini tentu lumrah jika pilkada digelar di musim normal.
KPU seharusnya mendorong kampanye melalui media sosial ini sebagai salah satu metode utama, bukan pelengkap, seperti di Korea Selatan dan Singapura.
Sementara pandemi masih menunjukkan angka tinggi, seharusnya semua pihak berhati-hati.
Memang benar di 270 daerah yang menggelar pilkada tak mungkin hanya berkampanye melalui media sosial karena masih terkendala aksesibilitas internet di banyak daerah. Oleh karena itu, masih dibuka metode kampanye luring (offline), seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik, dan lain-lain yang masih bisa dikendalikan pembatasan fisik dan sosialnya oleh penyelenggara.
Rapat umum, konser musik, bazar, dan sejenisnya dalam praktiknya akan sangat sulit ditertibkan mengingat penyelenggaraan acara semacam ini kerap memantik histeria massa. Sebaiknya KPU tegas melarang rapat umum dan kegiatan lain yang berisiko pada penyebaran Covid-19.
Ketiga, KPU sebaiknya membuka kesempatan kampanye melalui iklan di media massa dan media daring lebih lama untuk mengganti sosialisasi melalui rapat umum dan kegiatan yang melibatkan massa, seperti dilakukan di pemilu Singapura. Tinggal diatur mekanismenya supaya tetap bisa menghadirkan keadilan untuk semua pasangan calon yang berkampanye.
Misalnya, berapa spot iklan sehari di media televisi dan radio serta ukuran dan jumlah iklan di media cetak dan daring. Terutama pengaturan lebih rinci agar tidak tumpang tindih atau tabrakan dengan UU yang mengatur media, seperti UU Penyiaran No 32 Tahun 2002.
Keempat, kampanye di musim pandemi juga harus memperjelas sanksi yang lebih tegas dan jelas bagi mereka yang memanfaatkan penanganan pandemi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), ataupun dana publik lain untuk popularitas dirinya sebagai pasangan.
Misalnya, kandidat petahana yang jadi penunggang bebas popularitas melalui bantuan sosial atau penyaluran dana stimulan kepada masyarakat umum di basis daerah pemilihannya. Praktik pemanfaatan publisitas sejenis ini bisa masuk kategori penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan konflik kepentingan.
Penyelenggara pilkada wajib memiliki peta atau zonasi yang jelas dan tepat mengenai kerawanan Covid-19 di daerah-daerah. Hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan boleh atau tidak kampanye yang bersifat luring digelar secara terbatas. Jangan paksakan kampanye gegap gempita, tetapi berbahaya akibat kecerobohan yang dipraktikkan secara bersama-sama.
Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, dan Presidium Asosiasi Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia.
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2020 di halaman 6 dengan judul “Kampanye di Musim Pandemi”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/08/04/politik-kekerabatan-problem-struktural/