Kasus suap Pergantian Antar Waktu (PAW) calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang melibatkan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Wahyu Setiawan, menjadi sorotan dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II (14/1). Anggota Komisi II, diantaranya Cornelis dari Fraksi PDIP, Kamrussamad dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Mardani Ali Sera dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta KPU RI segera melakukan penggantian terhadap Wahyu dan bebenah secara kelembagaan. KPU juga didorong untuk melakukan rapat koordinasi guna memperbarui komitmen integritas penyelenggara pemilu jelang Pilkada 2020. Mardani juga mengusulkan agar ketiga lembaga penyelenggara pemilu, yakni KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengirimkan laporan analisis terjadinya kasus suap Wahyu kepada DPR RI.
“Saya minta laporan analisa dari tiga penyelenggara pemilu ini terhadap kasus Mas Wahyu. Karena, kalau kita tidak membuat otokritik, ini bisa jadi pukulan kembali. Setiap kita pasti punya kelemahan. Kalau saya lihat keputusan KPU, memang (diputuskan atas) suara terbanyak. Tapi, kenapa bisa sampai kejadian, mohon analisinya agar jangan sampai ini terjadi lagi,” saran Mardani pada RDP Komisi II di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan.
Kamrussamad menilai terjadinya kasus suap terhadap penyelenggara pemilu disebabkan oleh adanya ketidakkonsistenan terhadap sistem pemilihan legislatif proporsional daftar terbuka. Pasalnya, jika semua pihak konsisten, tak akan ada pihak yang menempuh mekanisme diluar pengadilan utama pemilu, yakni Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kalau kita konsisten dengan itu, kita tidak akan mengakomodir yang lahir dari sebuah sengketa kepemiluan diluar pengadilan utama pemilu, Bawaslu dan MK. Ke depan, revisi undang-undang pemilu harus dikonsistenkan,” ujar Kamrussamad.
Terhadap masukan tersebut, Ketua KPU RI, Arief Budiman menyampaikan kepada Komisi II bahwa KPU telah melaporkan kasus suap tersebut kepada Presiden, agar Presiden segera memberhentikan yang bersangkutan, kepada DPR karena DPR yang melakukan proses fit and proper test dan merangking calon penyelenggara pemilu, dan DKPP, karena Wahyu telah melanggar etik penyelenggara pemilu. Namun, KPU akan tetap membuat laporan tertulis kepada DPR RI sebagaimana diminta oleh Mardani.
“Karena fit and proper test dilakukan oleh DPR dan pernagkinganu juga dilakukan oleh DPR, jadi yang menggantikan adalah yang di peringkat berikutnya,” tutur Arief.
Mengenai usulan agar KPU melakukan rapat koordinasi nasional, KPU akan memeriksa kemampuan anggaran tahun 2020. Pasalnya, anggaran yang diberikan kepada KPU kurang dari yang diusulkan, yakni 2,1 triliun rupiah dari jumlah usulan 3,1 triliun rupiah.
“Nanti kami cek lagi kemampuan anggaran kami. Karena, anggaran kami hanya 2,1 triliun. Mungkin teman Bawaslu bisa menyelenggarakan rakornas karena anggaran Bawaslu jauh lebih besar dari KPU. Saya gak tau kenapa bisa anggaran KPU hanya 2,1 tapi Bawaslu 2,9. padahal usul kami 3,1 triliun,” kata Arief.
KPU RI sendiri tengah berupaya mengembalikan kepercayaan masyarakat. Sebagaimana dijelaskan oleh Arief, KPU menyelenggarakan tahapan pemilu dan pilkada secara transparan dan mengajak banyak pihak untuk bersama-sama mengambil keputusan.
“Begitu cara kami menjaga integritas kami, sehingga semua bisa tahu siapa melakukan apa, siapa berbuat apa. Pak Wahyu juga sudah memberikan statement bahwa ini persoalan pribadi, bukan institusi,” tutup Arief.
Berdasarkan catatan KPU RI, calon anggota KPU RI yang mendapatkan nilai terbanyak dari anggota Komisi II DPR RI saat proses fit and proper test selanjutnya adalah I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi. I Dewa memperoleh nilai sebesar 21. Ia merupakan anggota Bawaslu Bali periode 2018-2023.