Diagungkan saat pemilu, (semoga tidak) dilupakan setelahnya.
Milenial yang menjadi istilah paling populer—sekaligus overused—dalam perhelatan Pemilu 2019, kini tak lagi dibicarakan sehangat sebelumnya. Sebelum dan saat pemilu, pemilih muda berusia di bawah 30 tahun yang mencapai 60.345.070 (atau 31,3 persen dari jumlah pemilih di Pemilu 2019) terus dibicarakan.
Tapi bagaimana setelah pemilu?
Kita tidak tahu apa yang dilakukan 31,3 persen kaum muda itu di hari pemungutan suara. Data tentang partisipasi memilih kaum muda gelap belaka. Apalagi data soal seberapa berpengaruh suara mereka terhadap hasil pemilu 2019 atau seberapa besar angka golput di kalangan kaum muda. Padahal, data ini penting untuk mengukur bagaimana pendekatan-pendekatan para kandidat terhadap kaum muda mempengaruhi tingkat partisipasi di pemilu. Data ini juga penting untuk menjadi legitimasi bahwa suara kaum muda menentukan kemenangan dan oleh karena itu kepentingannya perlu diakomodasi dalam periode pemerintahan lima tahun ke depan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya bisa membuka data itu—sebagaimana ia membuka data angka partisipasi atau penggunaan surat suara. Dari formulir hasil dan rincian penghitungan perolehan suara, bisa diketahui bahwa ada 157.575.230 yang datang ke TPS untuk memilih dari jumlah 199.979.320 yang terdaftar di daftar pemilih tetap maupun tambahan (78.75 persen). Dari formulir yang sama, bisa diketahui bahwa tingkat partisipasi perempuan pemilh mencapai 80.42 persen dan laki-laki hanya 77.07 persen. Sementara data partisipasi memilih berdasarkan usia tidak bisa dilacak sama sekali. Belum ada pula lembaga survey yang mengumumkan kepada publik data berharga soal partisipasi kaum muda ini.
Di Amerika Serikat, The Center for Information and Research on Civic Learning and Engagement (CIRCLE) melakukan penelitian dan merilis estimasi angka partisipasi memilih kaum muda. Sejak 2012, CIRCLE memanfaatkan data agregat pemilih berusia 18—29 tingkat nasional yang dihimpun oleh Catalist. CIRCLE juga memanfaatkan data tentang jumlah total surat suara yang dicoblos pada Pemilu 2014 dan 2018 yang disediakan oleh Universitas Florida. Dari data-data itu, CIRCLE menghitung perkiraan partisipasi di tiap negara bagian dan distrik.
Partisipasi memilih kaum muda, beberapa faktor
Data termutakhir, Mei 2019, menunjukkan bahwa di pemilu sela Amerika Serikat pada 2018 lalu, partisipasi memilih kaum muda meningkat dua kali lipat dibanding Pemilu 2014. Berdasarkan data dari 42 negara bagian (yang merepresentasikan 94 persen populasi kaum muda Amerika Serikat), estimasi partisipasi kaum muda berusia 18—29 mencapai 28.2 persen.
Ada beberapa faktor yang membuat Pemilu Sela 2018 menjadi sorotan yang baik bagi kebangkitan partisipasi politik kaum muda Amerika Serikat. Salah satu tonggak penting adalah peristiwa pada Februari 2018 yang menjadi awal gerakan kaum muda Amerika Serikat di politik. Peristiwa itu adalah penembakan di Marjory Stoneman Douglas High School, Parkland Florida yang menewaskan 17 murid dan staf sekolah. Peristiwa ini mendorong gerakan #NeverAgain yang dipelopori oleh murid-murid sekolah tersebut. Gerakan yang menuntut pengaturan kepemilikan senjata ini terus bergulir dan membuat tuntutannya itu menjadi perbincangan elektoral di antara para kandidat.
Selain aktivisme soal pengendalian kepemilikan senjata, aktivisme lain di bidang lingkungan, hak kelompok LGBT, kemiskinan, dan masalah-masalah lain jelas menjadi jalur bagi kaum muda berpartisipasi di pemilu. Banyak kaum muda yang berperhatian di isu ini dihubungi oleh para kandidat dan tim kampanye, terutama partai Demokrat yang mencoba mengkapitalisai ketidakpopuleran Presiden Trump di kalangan kaum muda.
Hal ini menunjukkan faktor kunci peningkatkan partisipasi kaum muda di pemilu adalah, pertama, menjangkau kaum muda sedini mungkin. Kedua, menjangkau kaum muda kelompok demi kelompok. Ketiga, menjangkau kaum muda melalui isu yang sangat dipedulikan olehnya. Poling setelah pemilu menunjukkan bahwa kaum muda yang menjadi peserta atau pendukung gerakan pengendalian kepemilikan senjata lebih mungkin untuk dihubungi oleh kandidat atau tim kampanye dan lebih cenderung untuk memilih.
Kegagalan merespons isu yang menjadi perhatian kaum muda akan makin menjauhkan mereka dari tempat pemungutan suara. Hal tersebut dikemukakan melalui penelitian yang digagas The National Council of Young Leaders—Opportunity Youth United pada December 2015 terhadap opportunity youth (kaum muda yang tidak mengenyam pendidikan dan tidak bekerja). Banyak kaum muda menganggap kandidat tidak mempedulikan isu kemiskinan di kalangan kaum opportunity youth. Sebagian besar kandidat yang berlaga di pemilu nasional menganggap berbicara tentang kemiskinan akan mengurangi daya tarik mereka terhadap orang-orang yang kemungkinan besar akan memilihnya. Akibatnya, opportunity youth tidak merasa terdorong untuk memberikan suara pada kandidat karena mereka semua menyuarakan masalah dan solusi yang tidak berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari. Jikapun ada, kaum muda kadang merasa dikhianati ketika janji-janji penting yang telah dibuat selama masa pemilu tidak dipenuhi begitu kandidat tersebut menjabat.
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Kandidat yang berlaga di Pemilu 2019 gagal mengambil hati kaum muda yang cukup aktif secara politik dalam gerakan-gerakan yang memperjuangkan hak kelompok minoritas. Kelompok muda ini punya keresahan, tetapi para kandidat lebih berfokus pada citra dan gaya, ketimbang substansi, dengan mematut-matut diri semilenial mungkin untuk meraih individu demi individu. Para kandidat, terutama calon presiden, tidak merespons baik tuntutan mereka.
Akibatnya, mereka malah menggagas gerakan Saya Golput dan memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam Pemilu 2019. Tuntutan-tuntutan yang telah lama disuarakan itu kemudian dibukukan dalam Kertas Putih Golongan Putih untuk terus diperjuangkan setelah pemilu, siapapun pemenangnya. Tuntutan yang berisi sepuluh hal itu berkisar di soal kesejahteraan untuk rakyat; agraria, ruang hidup, dan lingkungan hidup; buruh dan ketenagakerjaan; antikorupsi; militerisme dan politik militer; agenda pemenuhan hak asasi manusia; kelompok rentan dan minoritas; masa depan tanah Papua; perbaikan sistem politik; serta reformasi hukum dan peradilan.
Pemilu telah berlalu, tetapi usaha untuk melibatkan kaum muda secara lebih bermakna dalam perumusan kebijakan baru akan dimulai. Kunci dari partisipasi kaum muda di politik adalah menciptakan ruang yang memungkinkan mereka untuk turut mempengaruhi perubahan politik yang nyata. Kaum muda tidak apatis terhadap politik. Mereka hanya frustasi pada pesan-pesan dan tindakan-tindakan politik yang tidak melibatkan suara mereka dan percaya bahwa proses yang demikian tidak memberikan perubahan sosial yang positif.
Jalannya pemerintahan lima tahun ke depan menjadi pembuktian bagaimana kaum muda diperlakukan dalam perumusan kebijakan. Meskipun sebenarnya hal ini bisa diprediksi dengan melihat hasil pemilu yang tidak cukup menggembirakan bagi kaum muda itu sendiri. Catatan Kompas, dari 575 calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terpilih periode 2019-2024, diperkirakan hanya ada 72 orang yang berusia di bawah 40 tahun—menurun dari sebelumnya 92 orang (dari 560 orang). Dari 72 orang itu, sebanyak 36 orang ditengarai punya hubungan kekerabatan dengan pejabat daerah dan elite partai, dan 25 orang berstatus anggota DPR petahana.
Tetapi bagaimanapun kondisinya, suara kaum muda yang dicari-cari pada sebelum dan di saat pemilu, seharusnya juga dicari dan didengarkan setelah pemilu dengan menempatkannya sebagai subjek dalam perumusan kebijakan. Jika tidak, kemuakan kaum muda terhadap politik akan makin menguat.
MAHARDDHIKA, Pengelola Rumahpemilu.org Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
Tulisan ini adalah tulisan kedua dari program magang di Spark Action—organisasi kaum muda yang berbasis di Brooklyn, New York, Amerika Serikat—atas dukungan US Department of State melalui program Community Solution Program. Simak tulisan pertama di sini.