“Boleh saja pemilu itu adil, hasilnya dapat diterima, KPU-nya bisa menjadi wasit dan bisa menemukan masalah, tapi tetap saja kita memerlukan media agar proses pemilu berjalan lebih transparan. Media membantu pemilih menentukan pilihannya dengan lebih bijaksana, karena selain media meliput janji-janji para kandidat, media juga menulis hal-hal penting seperti agenda setting para elit,”-Cherian George, pakar Media dan Politik Asia Tenggara pada Hongkong Baptist University.
Cherian memberikan ceramah akademis pada Konferensi Regional “Peran Jurnalisme dalam Menyokong Pemilu Demokratis” di Jakarta (26/11) yang diadakan oleh Regional Support for Elections and Political Transitions (Respect). Adapun Respect merupakan sebuah program regional lima tahun yang dijalankan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). Program-program Respect didukung oleh USAID-Washington DC untuk mendorong demokratisasi pemilu di kawasan Asia-Pasifik.
Dalam ceramahnya, Cherian menekankan pentingnya peran media untuk mengawal pergantian pemimpin secara damai. Ia menilai, ditengah demokrasi di negara-negara Asia Tenggara, seperti Vietnam, Indonesia dan Malaysia yang tengah menurun akibat meningkatnya kasus-kasus intoleransi sepanjang pemilu, media penting mengingatkan publik untuk menjaga toleransi demi merawat inklusivitas seluruh warga negara yang hidup di negara demokratis. Tak semestinya media terjebak pada tingginya rating berita soal siapa menang siapa kalah.
“Di beberapa negara demokratis yang kuat pun sedang kritis demokrasi. Seperti di Vietnam, terjadi kurangnya intoleransi. Begitu juga di Indonesia dan Malaysia. Media harus membantu publik memahami jalannya pemilu yang demokratis dan tidak mengorbankan hak-hak minoritas,” tandas Cherian.
Meliput pemilu layaknya meliput pertandingan sebak bola. Ada terlalu banyak komentar. Media diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi dengan menyajikan berita-berita berdasarkan perspektif merawat demokrasi. Salah satu hal penting untuk ditulis, menurut Cherian, yakni pemenuhan janji-janji kampanye para kandidat terpilih.
Tantangan kebebasan pers di Thailand dan Indonesia
Pada forum yang sama, hadir pula penulis senior Khaosod English-Thailand, Pravit Rojanaphruk. Ia menceritakan kondisi pers di Thailand, menyatakan bahwa kerja jurnalis berhasil mendorong pemilu berjalan demokratis sekalipun banyak dari masyarakat yang kecewa dengan undang-undang pemilu sebagai aturan main dalam pemilu.
“Di Thailand masih ada perdebatan apakah pemilu itu demokratis, karena aturan main pemilu masih ditulis oleh pemerintah itu sendiri. Jadi, di pemilu, pihak yang mendukung undang-undang pemilu dan yang menolak benar-benar kentara terlihat,” ujar Pravit.
Di masa ketika rezim militer berpengaruh kuat, Pravit dan 899 jurnalis lainnya dipenjara karena dianggap tidak memberitakan pemilu secara benar. Para jurnalis pemilu dituntut secara hukum, sama halnya dengan jurnalis politik jika didapati mengkritik pemerintah di dalam tulisannya.
Pencekalan terhadap jurnalis pun kerap terjadi. Terutama kepada jurnalis dari media yang dilabeli sebagai anti pemerintah. Tak jarang jurnalis mesti menyamar untuk dapat meliput acara yang diselenggarakan oleh perdana menteri Thailand. Untungnya, kata Pravit, ada sebagian masyarakat yang tidak mentah-mentah mempercayai proses pemilu. Hal ini mendesak pemerintah untuk memberikan ruang lebih luas bagi jurnalis untuk meliput pemilu.
“Ini seperti sebuah keuntungan bagi pers sehingga memicu publik untuk meminta keleluasaan peliputan pemilu kepada pemerintahan yang militeristik,” tukas Pravit.
Di Indonesia, tantangan peliputan pemilu juga terjadi. Ditengah polarisasi politik yang kuat, terdapat insiden pelarangan liputan kepada jurnalis yang berasal dari media yang diidentifikasi sebagai media pendukung pasangan calon (paslon) Joko Widodo-Ma’ruf Amin oleh Tim kampanye paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno(Tirto.id, 28 November 2018). Kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi saat aksi demonstrasi 22 Mei 2019 di depan gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kali ini, kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh aparat kepolisian(CNNindonesia.com, 28 Mei 2019).
Meliput pemilu ditengah polarisasi politik yang tajam memang bukan tugas mudah. Pemberitaan yang dinilai berat sebelah terhadap salah satu paslon dapat memancing kemarahan atau perundungan dari pihak lain. Hasil riset Divisi Riset Harian Kompas pada 2019 menunjukkan, dari 500 orang responden, hanya 38% yang percaya bahwa peliputan media adalah netral. 40% lainnya meyakini pemberitaan media adalah untuk kepentingan kelompok pemilik media.
“Di sosial media, sangat ramai terjadi pemboikotan terhadap media. Salah satu korbannya adalah Kompas. Salah satu ketua partai politik mengatakan orang yang menyerang Kompas adalah bagian dari politisi yang tidak puas dengan hasil pemilu, tapi kami berusaha untuk baik-baik saja,” ujar Kepala Editor Kompas Harian, Ninuk Pambudy.
Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, terdapat 37 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang meliput Pemilu sepanjang 2017 hingga Oktober 2019. 18 diantaranya mendapatkan kekerasan saat meliput aksi demonstrasi 22 Mei. Kekerasan yang dialami jurnalis berupa kekerasan fisik, kekerasan verbal, perampasan ponsel pribadi, dan penghapusan foto atau video yang diambil oleh jurnalis (Laporan Proyeksi Masyarakat Sipil atas Situasi 5 Tahun Kedepan LBH Pers, 2019).
Demonstrasi 22 Mei dilakukan oleh pendukung paslon Prabowo-Sandi yang meyakini adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pemilu Serentak 2019. Adapun demonstrasi terjadi setelah penetapan hasil rekapitulasi Pemilu 2019 diumumkan oleh KPU RI pada 21 Mei 2019 dini hari(Republika, 23 Mei 2019).
Terjadinya kekerasan terhadap jurnalis di pemilu merupakan potret dari masih minimnya kesadaran para pihak, termasuk aparat kepolisian, terhadap kebebasan pers dan pekerja media. Padahal, publik mengandalkan laporan dari para jurnalis untuk mengetahui kabar seputar tahapan dan proses pemilu, juga informasi seputar kandidat. Pada Pemilu Serentak 2019, di tingkat nasional, terdapat dua paslon presiden-wakil presiden, 7.968 calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakil (DPR) RI(IDN Times, 15 April 2019), dan 807 caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI(Detik News, 20 September 2018).
“Jurnalisme dan pemilu adalah instrumen paling penting dalam demokrasi. Sehingga jurnalis yang meliput pemilu harus diberi kebebasan dan perlindungan agar bisa bekerja dengan baik menghasilkan laporan-laporan jurnalistik yang berkualitas,” pungkas Direktur Eksekutif PPMN, Eni Mulia.
Dalam rangka mengapresiasi kerja jurnalis yang telah bertugas selama pemilu, Respect memberikan penghargaan ExcEl Awards 2019. Terdapat sekitar seratus karya yang masuk ke dewan juri yang terdiri dari Bambang Harymurti (Indonesia), Tessa Bacalla (Filipina), Khin Maung Soe (Myanmar), Cherian George (Singapura), dan Pravit Rojanaphruk (Thailand).
Untuk kategori laporan feature/indepth, pemenang pertama diraih oleh Arkhelaus Wisnu Triyogo dan Danang Firmanto dari Koran Tempo. Pemenang kedua yakni Dieqy Hasbi Widhana dari Tirto.id. Terdapat pula penghargaan khusus untuk kategori indepth, yang diberikan kepada Agnes Theodora dari Harian Kompas.
Untuk kategori investigasi, Karol Ilagan dan Malaou Mangahas dari Phillippine Center for Investigative (PCIJ) memenangkan posisi pemenang pertama. Posisi kedua, disabet oleh Khalida Meyliza dari Kompas TV.
Respect juga mengadakan kategori commentary, namun tak ada pendaftar yang berhasil memenangkan kategori ini. Adapun para juri memberikan penghargaan khusus untuk tulisan Brita Putri Utami dari Solider.id.
“Melalui ExcEl Awards 2019, kami ingin mengapresiasi kerja-kerja para jurnalis yang telah bersetia menghadirkan berita-berita pemilu di negara masing-masing. Kami menyadari bahwa sebuah media yang profesional penting untuk menumbuhkan demokrasi dan mempromosikan tujuan pemilu yang partisipasif, inklusif, dan akuntabel,” tutup CoP Respect, Theresia Joice Damayanti.
Referensi
CNN Indonesia. Jurnalis Laporkan Kasus Kekerasan Aparat Saat Aksi 22 Mei. Berita dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190528144402-12-399136/jurnalis-laporkan-kasus-kekerasan-aparat-saat-aksi-22-mei. Diakses pada 2 Desember 2019.
Detik News. Minus OSO, 807 Orang Berebut Kursi DPD RI. Berita dalam https://news.detik.com/berita/d-4221401/minus-oso-807-orang-berebut-kursi-dpd-ri. Diakses pada 2 Desember 2019.
IDN Times. 5 Fakta Pemilu 2019, Dari Jumlah Caleg, Pemilih, hingga TPS. Berita dalam https://www.idntimes.com/news/indonesia/adrian-permana-putra/5-fakta-pemilu-2019-dari-jumlah-caleg-pemilih-hingga-tps/full.
Laporan Proyeksi Masyarakat Sipil atas Situasi 5 Tahun Kedepan LBH Pers, 2019. Laporan tidka diterbitkan.
Republika.co.id. MUI Yakin Kerusuhan Bukan Dilakukan Pengunjuk Rasa. Berita dalam https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/ps4dwu328/dunia-islam/islam-nusantara/19/05/23/prxwn6384-mui-yakin-kerusuhan-bukan-dilakukan-pengunjuk-rasa. Diakses pada 2 Desember 2019.
Tirto.id. Duduk Perkara Pemboikotan Metro TV dari Kubu Prabowo-Sandi. Berita dalam https://tirto.id/duduk-perkara-pemboikotan-metro-tv-dari-kubu-prabowo-sandi-daxd. Diakses pada 2 Desember 2019.