September 13, 2024

Kelembagaan Partai Politik Tak Direformasi, Sebab dari Buruknya Pemerintahan Hasil Pemilu dan Pilkada

Reformasi politik 1998 dilakukan tanpa perubahan berarti terhadap institusi partai politik. Indonesia telah melakukan empat kali perubahan terhadap Undang-Undang Partai Politik, namun tak menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya, yakni tak adanya mekanisme akuntabilitas keuangan partai politik dan tak adanya demokrasi di internal partai.

“Dua hal itu adalah jantung dari partai politik yang menjadi pilar demokrasi. Tapi dua ini justru tidak pernah dibenahi,” kata Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, pada diskusi “20 Tahun Reformasi Pemilu” di Sultan Agung, Jakarta Selatan (29/5).

Tak adanya pembenahan secara serius terhadap partai politik menyebabkan demokrasi berjalan di tempat. Utak-atik sistem pemilu menjadi kesia-siaan, sebab partai politik, sebagai pencipta dan hasil dari sistem pemilu, masih tetap pada ciri khas sentralistik dan non demokratis Orde Baru.

Usep Hasan Sadikin, peneliti Perludem yang lain, menjelaskan lebih lanjut. Ia menggelitik ingatan publik dengan pernyataan, “Dari enam nama yang dianugerahi Bung Hatta Anticorruption Award, tak ada satu pun yang berasal dari partai politik.”

Menurutnya, partai politik merupakan lembaga demokrasi yang semakin buruk pasca reformasi.  Hal ini dibuktikan oleh salah satunya, pengetatan syarat pembentukan partai politik oleh partai-partai parlemen.  Jika pada awal masa reformasi syarat pembentukan partai politik mudah, syarat ini diperketat secara berangsur. Partai politik menyebabkan praktek oligarki menggurita dan demokrasi semakin eksklusif.

“Syaratnya kan berat, harus punya kantor tetap dan keanggotaan tetap di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan. Ini membuat hanya orang yang punya uang banyak yang bisa bikin partai,” jelas Usep.

Kesalahan fatal dalam pengaturan soal partai politik tertuang di dalam definisi partai politik di UU Partai Politik. Partai politik dipaksa untuk menjadi institusi yang bersifat nasional, sehingga hanya identitas mayoritas yang dapat bertahan dalam sistem politik pasar.

“Ada identitas-identitas lokal, seperti misal partai buruh dan partai kristen. Mereka gak bisa menang, bahkan ikut pemilu, karena identitas mereka tidak banyak untuk dipaksa menjadi nasional,” terang Usep.

Adapun Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menambahkan bahwa belum ada keterhubungan antara sistem kepartaian dengan sistem pemerintahan dan sistem pemilu. Partai politik parlemen mencampur-adukkan syarat pendirian partai politik dengan syarat kepesertaan pemilu yang sejatinya merupakan dua hal berbeda.

“Partai politik adalah refleksi kebebasan berserikat. Sedangkan partai politik peserta pemilu, partai memang harus menjadi institusi yang teruji. Ketika syaratnya disamakan, ini kekeliruan dari partai-partai parlemen yang memandang bahwa partai politik secara otomatis akan jadi peserta pemilu,” urai Titi.

Titi menyanyangkan kesalahan paradigma partai-partai parlemen terhadap syarat pendirian partai politik. Jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hendak mengefektifkan sistem kepartaian, melimitasi kebebasan berserikat adalah obat yang salah.

Pendapat Titi senada dengan pendapat Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2012-2017, Hadar Nafs Gumay. Hadar menyebut partai politik, dalam perjalanannya, telah mendistorsi semangat perubahan yang dibawa oleh Reformasi 1998. Salah satu hal yang disinggung yakni, pengaturan keuangan partai politik yang tak berangkat dari kebutuhan.

“Yang diperlukan sesungguhnya adalah menata laporan keuangan partai agar transparan dan akuntabel. Tapi, partai politik malah memperbesar sumbangan dana kepada partai. Itu tidak diperlukan. Yang kita perlukan adalah partai melaporkan keuangannya,” tegas Hadar.

Perludem dan Hadar bersepakat bahwa perlu ada UU tentang keuangan partai politik yang mengintegrasikan antara keuangan partai politik dengan dana kampanye. Selama partai tak dapat mempertanggungjawabkan keuangannya, masyarakat sulit berharap akan adanya demokrasi yang substansial dan berkeadilan.