February 23, 2025

Kemandirian KPU Kian Diuji

Kemandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU), kian diuji sepanjang sejarah kepemiluan, kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Ia menyebut lahirnya kewajiban konsultasi Peraturan KPU (PKPU) kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai respon politisi terhadap peraturan yang dibuat oleh KPU pada Pemilu 2014. KPU periode 2012-2017 yang menyelenggarakan Pemilu 2014 mengatur hal yang tak sejalan dengan kehendak politisi, sehingga diaturlah kewajiban konsultasi di dalam Undang-Undang No.10 /2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

“Ini ada latar belakangnya. Karena ada beberapa PKPU yang oleh anggota DPR ingin agar pengaturannya sedemikian rupa, tetapi kemudian anggota KPU menunjukkan kemandirian sehingga peraturan KPU dibuat sesuai dengan kemandirian yang mereka miliki, lahirlah UU yang mengatur kewajiban konsultasi di UU Pilkada,” kata Titi pada Kelas Virtual Pemilu Perludem (22/4).

Aturan tersebut kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh anggota KPU periode 2012-2017 sehingga dikeluarkan Putusan MK No.92/2016. Putusan ini menyatakan bahwa konsultasi PKPU kepada Pemerintah dan DPR sama dengan kewajiban konsultasi publik pada undang-undang. Segala undang-undang dan peraturan perundang-undangan mesti melalui konsultasi publik, dan jika tak melaluinya maka akan dinyatakan sebagai cacat formil.

Namun, menurut Titi, meski diwajibkan konsultasi, masukan dari DPR, Pemeritah, dan publik dalam pengambilan keputusan tak mengikat KPU. KPU dapat memutuskan kebijakan sesuai dengan yang diyakini. Konsultasi dibuat agar kebijakan yang akan diterapkan KPU tidka menyimpang dan sewenang-wenang.

“Tapi, ketika KPU ingin ambil keputusan, pendapat DPR, Pemerintah, publik, itu tidak mengikat KPU. KPU merdeka untuk memutuskan sesuai dengan yang dia yakini,” tandas Titi.

Titi melanjutkan bahwa kemandirian kelembagaan KPU juga merupakan kontribusi dari masyarakat sipil. Putusan MK No.72 dan 73 tahun 2004 untuk uji materi yang diajukan oleh Centre for Electoral Reform (Cetro), serta No.81/2011 untuk gugatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan organisasi lainnya, lahir atas kesadaran masyarakat sipil akan pentingnya lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri dan independen.

“Putusan MK No.81/2011 untuk judicial review yang dilakukan oleh JPPR dan kawan-kawan, bahwa anggota partai, kalau mau jadi anggota KPU, harus mundur lima tahun sebelum mendaftar. Putusan-putusan ini menunjukkan bahwa kemandirian KPU itu kerja semua pihak, tidak hanya KPU,” ujar Titi.

Titi melihat adanya fenomena berulang penguatan dan pelemahan kemandirian KPU sepanjang sejarah kepemiluan. Sebagai contoh, UU No.15/2011 merupakan respon atas performa anggota KPU yang menyelenggarakan Pemilu 2009. UU tersebut mengatur perbaikan mekanisme rekrutmen anggota KPU karena terjadi permasalahan dalam mekanisme rekrutmen sebelumnya. Namun, ketika KPU menunjukkan kemandirian yang kuat, UU No.1/2015 yang kemudian direvisi dengan UU No.10/2016 mendegradasi kemandirian tersebut dengan kewajiban konsultasi yang mengikat.

“Kalau KPU-nya profesional dan independen, pasti disikapi dengan adanya kebijakan yang mendegradasi itu. Polanya selalu begitu. Saya duga, ini jadi siklus terus-menerus kalau perilaku politisi kita balas dendam. Kalau dia dirugikan, dia membuat kebijakan yang bisa memfasilitasi hasrat dia untuk bisa tersalurkan,” pungkas Titi.

Titi mengingatkan agar masyarakat sipil solid menjaga marwah KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang nasional, tetap, dan mandiri. Pasalnya, performa anggota KPU dapat disikapi dengan respon yang negatif atau positif dalam regulasi.