August 8, 2024

Kemendagri Akan Selesaikan Masalah E-KTP Paling Lambat Desember 2018

Permasalahan hak pilih menjadi perhatian Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam pembahasan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum. Undang-Undang (UU) Pemilu memberi mandat agar hak pilih berbasis pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik, sementara menurut data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), masih ada 4,8 juta pemilih wajib KTP yang belum memiliki KTP elektronik karena belum melakukan perekaman.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri, Suhajar Diantoro menyebutkan bahwa  progres perekaman KTP elektronik telah mencapai 97,4 persen dari 185.249.711 penduduk wajib KTP. Terhadap 2,6 persen sisanya, Kemendagri akan menyelesaikan hingga akhir Desember 2018.

“Kami akan selesaikan paling lambat akhir Desember 2018. Bagi 12.224 penduduk yang pada tanggal 17 April 2018 akan berumur 17 tahun, kebijakan kita akan memproses sebelum tanggal 17 April,” kata Suhajar pada rapat konsultasi PKPU di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan.

Kemendagri, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) akan menyerahkan KTP elektronik kepada pemilih muda ke kampung-kampung agar KTP elektronik dapat digunakan untuk memilih. Dengan catatan, KTP elektronik hanya diberikan kepada penduduk yang telah merekam data kependudukannya sebelum 17 April 2019.

“Ini diberikan sepanjang orang yang bersangkutan datang untuk merekam. Tapi, kalau dia tidak datang, sembunyi, kita panggil gak mau, ya sudah. Kita sudah usaha sampai bikin doorprize agar masyarakat mau merekam KTP elektronik. Hampir di seluruh Indonesia melaksanakan ini,” tandas Suhajar.

Sebelumnya, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Fritz Edward Siregar, juga Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron dan anggota Fraksi Partai Demokrat, Libert Kristo Ibo, meminta agar KPU memperbolehkan pemilih menggunakan kartu identitas lainnya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengamanatkan agar masalah administrasi tak menjadi penghalang hak pilih warga negara.

“Pasal 9 dan 7 PKPU, berarti KPU tetap dalam posisi bahwa selama seseorang tidak terdapat di dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) dan tidak punya KTP elektronik, maka orang itu tidak bisa memilih. Bawaslu dalam posisi, kita harus memperhatikan lagi putusan MK yang jelas mengatakan bahwa masalah administrasi seperti ini tidak dapat menghilangkan hak pilih seseorang,” tegas Fritz.

Menanggapi permintaan Fritz, Anggota KPU, Viryan menjelaskan bahwa hak pilih berdasarkan KTP elektronik ditujukan untuk mencegah manipulasi data pemilih dan kecurangan. Penggelembungan suara yang terjadi akibat diperbolehkannya penggunaan Surat Keterangan pada Pilkada 2017 menjadi latar belakang munculnya ketentuan hak pilih berdasarkan KTP elektronik dalam perumusan Rancangan UU Pemilu.

“Kami kunci di KTP elektronik karena kalau dengan dokumen kependudukan yang tidak resmi, bisa terjadi potensi kecurangan. Ini bermanfaat untuk mencegah manipulasi data pemilih. Pilkada 2015, banyak terjadi dimana ada Surat Keterangan Domisili sehingga pada saat pembentukan UU No.10/2016, tidak lagi menggunakan itu. Begitu bertahap hingga akhirnya di UU Pemilu, hanya menggunakan KTP elektronik,” jelas Ilham.

Keputusan KPU untuk mengunci hak pilih dengan KTP elektronik didukung oleh Kemendagri, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). 15 Oktober 2018, DPR akan melakukan evaluasi pelaksanaan perekaman KTP elektronik oleh Kemendagri.