Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Saan Mustopa menyampaikan bahwa semua fraksi di DPR menginginkan adanya ambang batas pencalonan presiden. Besarannya, minimal 10 persen dari total jumlah kursi di parlemen.
“Ada yang ingin tetap 20 persen kursi parlemen. Ada juga yang ingin berubah, minimal 10 persen kursi parlemen atau suara sekitar 15 persenan. Semuanya ingin ada threshold,” kata Saan pada webkusi “Kemana Arah RUU Pemilu”, Minggu (7/6).
Penerapan ambang batas pencalonan presiden dinilai bermakna untuk konsolidasi politik oleh Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muchamad Nurhasim. Namun, ia tak setuju jika besaran ambang batas pencalonan presiden di angka 20 persen dari kursi parlemen atau 25 persen dari perolehan suara di pemilu legislatif. 10 persen kursi parlemen atau 15 persen perolehan suara dipandang cukup. Tak ada ambang batas pencalonan, menurut Hasim, dapat menyebabkan fragmentasi politik.
“10 persen untuk kursi di DPR atau 15 persen untuk suara ansional. Agar ada 4 sampai 5 calon. Agar sejak awal, para politisi ini diharapkan bisa melakukan konsolidasi politik, dan tidak ada fragmentasi politik,” jelas Hasim.
Di Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu, syarat dukungan pencalonan kepala daerah juga ditarik ke perolehan suara DPR RI atau kursi DPR RI. Besarannya, sama seperti syarat mencalonkan presiden, yakni 20 persen kursi DPR atau 25 persen dari perolehan suara pemilu DPR RI. Hal ini berubah dari UU Pilkada, dimana syarat dukungan pencalonan berdasarkan perolehan kursi DPRD provinsi atau kabupaten/kota. Konsep pencalonan demikian dipandang tak masuk akal oleh Hasim.
“Menurut desain ini, syaratnya sama persis dengan presidential threshold. Menurut saya konyol. Kalau ini akan diteruskan, ini akan menimbulkan keributan,” pungkas Hasim.
Berbeda dengan Hasim, Deputi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustiyati menentang adanya ambang batas pencalonan presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensialisme, lembaga eksekutif dan legislatif semestinya tak saling bergantung.
“Memang ada fungsi check and balance, tapi keduanya tidak mempengaruhi yang lainnya, karena dua-duanya ada pemilunya. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang pemerintah dibentuk tergantung dari hasil pemilu parlemennya,” terang Khoirunnisa.
Ia menambahkan, dalam konsep pemilu serentak, pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden dari hasil pemilu lima tahun sebelumnya tak relevan. Di Pemilu 2014 dan 2019 pun, ambang batas pencalonan presiden menyebabkan polarisasi politik di masyarakat.
“Kita tidak mau ada polarisasi politik di masyarakat. Dua kali pilpres menyebabkan keterbelahan di masyarakat. Apalagi, dukungan ini berdasarkan hasil pemilu sebelumnya,” tutup Khoirunnisa.