August 8, 2024

Kenal Tak Kenal Mahasiswa pada Penyelenggara Pemilu

Founding Father House (FFH) bersama Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) mengadakan penelitian mengenai citra penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum  (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), di mata mahasiswa. Penelitian dilakukan di enam provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, Sumatera Barat, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Riau.

“Riset ini adalah kawin antara FFH dan SPD, yang difasilitasi oleh Direktorat Politik Dala Negeri Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). Yang kita cuplik adalah mahasiswa atau milenial karena kita asumsikan mahasiswa ini literate lantaran mendapat asupan informasi,” kata peneliti senior FFH, Dian Permata pada diskusi “Citra Lembaga Penyelenggara Pemilu di Mata Publik” di kantor DKPP, Gondangdia, Jakarta Pusat (22/14).

Hasil riset terhadap 600 responden menunjukkan bahwa tak banyak mahasiswa yang mengetahui kepanjangan, jumlah anggota, dan tagline masing-masing lembaga penyelenggara pemilu. Untuk pertanyaan soal kepanjangan nama lembaga, jawaban untuk KPU adalah yang paling banyak benar. Rata-rata 80 persen responden menjawab Komisi Pemilihan Umum untuk kepanjangan KPU. Sedangkan untuk Bawaslu, yang menjawab benar dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum hanya 6 persen di DKI Jakarta, 5 persen di Sumatera Barat, 4 persen di Jawa Barat, dan 2 persen di Yogyakarta dan Riau. Mayoritas menjawab Badan Pengawas Pemilu. Angka ini lebih baik dibandingkan dengan jawaban untuk DKPP, dimana lebih dari 70 persen responden mengatakan tak tahu kepanjangannya.

“KPU memang sudah lama ya. Jadi, kepanjangan itu melekat padanya. Nah untuk Bawaslu ini, kita melihat kayaknya Bawaslu gak aware deh sama citra lembaganya,” ujar Dian.

Pertanyaan kedua, berapa anggota KPU, Bawaslu, dan DKPP. Mayoritas, yakni di atas 60 persen responden menjawab tak tahu. Bahkan, 100 persen mahasiswa di Jawa Barat mengaku tak tahu jumlah anggota KPU, Bawaslu, dan DKPP. Di ibukota Republik Indonesia, DKI Jakarta, hanya 1 persen yang benar menjawab jumlah anggota Bawaslu dan DKPP. Tak ada mahasiswa di DKI Jakarta yang benar menjawab jumlah anggota KPU.

“Jadi, di DKI ini memprihatinkan. Yang lumayan bagus itu di Sumatera Barat, 14 persen responden menjawab benar jumlah anggota Bawaslu,” tukas Dian.

Pertanyaan ketiga, tagline lembaga penyelenggara pemilu. Mayoritas responden, di atas 80 persen, tak dapat menjawab tagline KPU. Segelintir orang menjawab “KPU Melayani”, “Pemilu Damai”, “Pemilih Berdaulat Negara Kuat”, “Damai dan Gembira”, dan “Pemilu Hebat Negara Kuat”.

Untuk Bawaslu, di atas 89 persen menjawab tak tahu. Namun, ada 4 persen responden di Yogyakarta yang menjawab benar dengan menulis “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Rakyat Tegakkan Keadilan Pemilu”. Begitu pula 2 persen responden di Sumatera Barat dan 1 persen di Banten.

Adapun untuk DKPP, lebih dari 96 persen responden tak mampu menjawab.

“Tagline Bawaslu, kami melihatnya, apakah tagline ini terlalu panjang atau tidak disosialisasikan? Kalau KPU, saya kebingungan, mana sih tagline KPU yang ditampilkan sebagai citra kelembagaan? DKPP lebih bingung lagi, apa sebetulnya tagline DKPP?” ungkap Dian.

FFH dan SPD juga menanyakan tingkat kepercayaan mahasiswa terhadap lembaga penyelenggara pemilu. 59,96 persen ada pada posisi mempercayai KPU, 55,78 mempercayai Bawaslu, dan 52,85 mempercayai DKPP.

“Angka ini bisa jadi modal agar tidak terus turun selama tiga bulan ke depan. Penyelenggara pemilu harus terus melibatkan mahasiswa dalam penyelenggaraan Pemilu ini. Saya usul, bikin kalimat yang atraktif,” kata Dian.

Menanggapi hasil riset tersebut, anggota DKPP, Alfitra Salamm berpendapat bahwa rendahnya pengetahuan mahasiswa terhadap DKPP disebabkan karena tak adanya lembaga turunan DKPP di tingkat daerah. Meski sejak 2017 dimungkinkan untuk dibentuknya Tim Pengawas Daerah (TPS), namun TPD hanya dibentuk jika ada pengaduan etik.

“DKPP ini kan bukan lembaga vertikal. DKPP hanya ada di pusat,” ujar Fitra.

Kemudian, Fitra menyapaikan , mahasiswa jarang mengadukan laporan pelanggaran etik kepada DKPP. Tren pelapor paling banyak adalah tim kampanye calon dan sesama penyelenggara pemilu.

“Selama ini, mahasiswa gak pernah menyampaikan pengaduan. Yang saya ingat hanya ada dua orang. Memang, yang paling banyak melapor adalah masyarakat di luar mahasiswa, lalu tim kampanye dan penyelenggara pemilu,” terang Fitra.

Fitra melaporkan lembaganya pernah melakukan pendidikan etik kepada mahasiswa di Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Manado. Jika anggaran tahun 2019 mencukupi, DKPP akan mengadakan pendidikan etik di 31 provinsi lainnya.

“Moga-moga tahun ini, kalau anggaran cukup, bisa semua provinsi akan ada pendidikan etik. Agar mahasiswa tahu bagaimana melaporkan pelanggaran etik, dimana alamat DKPP, dan prosesnya apa saja. Kita harap, mahasiswa jadi duta-duta pengadu,” tutup Fitra.