August 8, 2024

Keraguan pada Penundaan Pilkada 9 Desember 2020

Pilkada serentak 2020 yang pemungutan suaranya semula akan dilakukan pada 23 September 2020 disepakati ditunda selama tiga bulan—sehingga akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada hari Selasa (14/4).

Dalam rapat kerja tersebut, masih ada keraguan pilkada bisa dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Johan Budi, anggota Komisi II, menyangsikan penyusunan landasan hukum berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) bisa selesai selambat-lambatnya bulan April ini di tengah keterbatasan kondisi physical distancing.

Abhan, Ketua Bawaslu, menilai belum ada yang bisa memastikan bulan Juni—sebagai tenggat untuk melanjutkan kembali tahapan Pilkada yang tertunda—pandemi Covid 19 bisa selesai.

“Jika ternyata Juni belum bisa selesai Covid, ini ada dampak ke kepastian penegakan hukum pemilu,” jelas Abhan, dalam rapat kerja (14/4).

Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR, menegaskan bahwa pengunduran ini dilandaskan pada masa tanggap darurat penyebaran Covid-19 yang berakhir 29 Mei 2020. Sebelum melanjutkan tahapan, DPR, Pemerintah, dan penyelenggara pemilu juga mesti melakukan rapat kerja untuk melihat fisibilitas kelanjutan tahapan pilkada.

“Juni akan rapat kerja dengan Pemerintah dan KPU untuk mengevaluasi situasi pandemi dan kesiapan modifikasi untuk melakukan lanjutan tahapan,” kata Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR RI periode 2019-2024, dalam diskusi daring “Pilkada 2020: Ditunda, Lalu Bagaimana?” yang dilaksanakan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia (16/4).

Ia menjelaskan, semua opsi yang tersedia dipertimbangkan untuk diambil—dari yang optimistis Covid-19 selesai dalam waktu dekat sehingga Pilkada bisa dilaksanakan 9 Desember 2020 hingga opsi pesimistis dengan anggapan pandemi Covid-19 masih belum bisa berakhir. Penundaan sangat bergantung pada rapat kerja lanjutan bulan Juni setelah masa tanggap darurat selesai. Jika hasil evaluasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan tahapan lanjutan, pilkada akan kembali ditunda.

“Dengan sitausi tidak pasti ini kita masih membuka semua opsi sambil melihat perkembangan. Bayangan saya rapat di bulan Juni nanti kalau sitausi ini tidak jauh berubah atau makin meningkat, tidak menutup kemungkinan kita pindah ke opsi terburuk atau menambah iopsi baru di 2022. Setiap hari kami akan monitor,” tegas Ahmad Doli Kurnia.

Arya Fernandes, peneliti CSIS, menilai basis penentuan waktu penundaan pilkada sangat bergantung pada upaya pemerintah dalam penanganan Covid-19 ini. Ada empat indikator yang perlu dilihat untuk menetukan waktu penundaan pilkada. Pertama, apakah terjadi penurunan angka positif Covid-19. Kedua, apakah terjadi penurunan daerah yang terpapar. Ketiga, apakah terjadi penaingkatan pasien yang sembuh. Keempat, apakah terjadi peningkatan kesiapan fasilitas kesehatan.

“Basis penentuan waktu hendaknya ditentukan denang indikator-indikator terukur terhadap penanganan Covid-19 tersebut,” kata Arya dalam diskusi yang sama (16/4).

Senada dengan hal tersebut, Fadli Ramadhanil, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengingatkan agar Pemerintah dan DPR lebih berfokus pada penerbitan perpu terlebih dahulu untuk memberi kepastian hukum penundaan pilkada yang pada Undang-undang Pilkada masih disebutkan digelar pada 23 September 2020. Perpu tersebut memuat substansi yang fokus pada prasyarat-prasyarat yang mesti dipenuhi untuk melanjutkan pilkada serta pemberian kewenangan pada institusi untuk menetapkan secara nasional kapan tahapan pilkada yang ditunda bisa dilanjutkan. Pemerintah dan DPR disarankan untuk tidak terjebak pada opsi-opsi tanggal dan memuatnya di Perpu.