Masalah ketaatan pajak para peserta Pemilu 2019 mulai disinggung. Ketaatan pajak dinilai sebagai salah satu bentuk komitmen kandidat terhadap kepatuhan hukum, akuntabilitas keuangan, dan kontribusi sebagai warga negara. Namun sayangnya, tak ada peraturan yang mewajibkan calon anggota legislatif (caleg) untuk menyerahkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak dalam lima tahun terakhir, sebagaimana yang diwajibkan untuk calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai ketidakseragaman pengaturan syarat calon bagi capres-cawapres dan caleg di UU Pemilu sebagai bentuk inkonsistensi dan diskriminatif dari pembuat UU. Padahal, salah satu tujuan konsolidasi UU Pemilihan Presiden (Pilpres) dan UU Pemilihan Legislatif (Pileg) adalah membuat pengaturan yang konsisten dan efektif. Pemilih tak hanya ingin pejabat eksekutif yang akuntabel, tetapi juga legislatifnya.
“Kalau lihat tujuan tadi, mestinya ada konsistensi aturan bagi peristiwa hukum yang sama dengan norma hukum yang sama. Tapi, kalau lihat UU Pemilu kita, khusus isu pajak, ada inkonsistensi pengaturan norma. Untuk presiden, dia ketat sekali, tapi untuk calon DPR, DPD, dan DPRD, meskipun pemilunya berbarengan dan diatur di dalam UU yang sama, tapi pengaturannya beda,” ujar Titi pada diskusi “Caleg Hebat, Taat Pajak: Membedah Indeks Ketaatan Pajak bagi Calon Anggota Legislatif 2019” di Cikini, Jakarta Pusat (13/9).
Titi juga mengatakan heran terhadap UU Pemilu yang mengatur ketat syarat bagi pihak yang hendak memberikan sumbangan dana kampanye. Keharusan bagi penyumbang untuk menyertakan NPWP menghalangi mahasiswa dan masyarakat tanpa NPWP untuk berpartisipasi meringankan beban dana kampanye kandidat. UU Pemilu semestinya memberikan mekanisme khusus bagi mahasiswa dan masyarakat non NPWP.
“UU Pemilu kita, yang ingin menyumbang ke kandidat, syaratnya harus punya NPWP. Jadi, kalau mahasiswa gak punya NPWP terbentur. Selain itu, harus buat surat keterangan tidak punya tunggakan pajak dan penyumbang tidak dalam keadaan pailit. Di sini ada hal yang kurang pas. Harusnya partisipasi masyarakat membiayai calon itu mudah,” kata Titi.
Titi menyarankan agar mainstreaming ketaatan pajak di dalam momentum pemilu dilakukan dengan memberikan insentif kepada warga negara yang memberikan sumbangan dana kampanye kepada kandidat. Insentif berupa pengurangan pajak pribadi.
“Di Kanada, kalau calon dapat sumbangan kecil dari pemilih, dia (si pemberi sumbangan) bisa dapat insentif untuk pajaknya. Ini bisa dipikirkan untuk diterapkan di negara kita, agar sumbangan kampanye tidak hanya dari pemodal-pemodal besar saja,” ucap Titi.