August 8, 2024

Ketangguhan Perempuan Politik

Hasil Pemilu DPR 2024 diproyeksikan meningkatkan angka keterwakilan perempuan. Berdasarkan publikasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) keterwakilan perempuan 2024-2029 adalah 22,1% atau 128 kursi dari 580 kursi DPR. Angka ini lebih tinggi 1,6% dibanding Pemilu 2019 dengan keterwakilan perempuan 20,5% (118/575). Hasil Pemilu DPR 2024 pun menjadi capaian keterwakilan perempuan tertinggi sepanjang sejarah pemilu Indonesia.

Hasil tersebut di luar dugaan. Sebab utamanya karena Pemilu 2024 merupakan pemilu yang paling tidak mendukung afirmasi perempuan. Ketangguhan perempuan politik menjadi salah satu faktor amat penting yang meningkatkan keterpilihan perempuan DPR. Karena ketangguhan ini perempuan bisa melawan Komisi Pemilihan Umum dan peraturannya serta bisa melawan ketidaksetaraan berpolitik.

Melawan KPU dan PKPU

Sejak ketentuan afirmasi perempuan dimuat dalam undang-undang pemilu untuk Pemilu 2004, Komisi Pemilihan Umum pada Pemilu 2024 malah tidak memastikan pencalonan perempuan dalam pemilu DPR dan DPRD. PKPU No.10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR/DPRD menjadi bukti KPU yang menghambat afirmasi perempuan. Tepatnya ada dalam Pasal 8 ayat (2) PKPU No.10 Tahun 2023 tentang formula penghitungan keterwakilan perempuan berupa pembulatan ke bawah.

KPU yang seringkali menyatakan lembaganya sebagai pelaksana undang-undang, malah membuat peraturan yang bertentangan dengan undang-undang. Jelas tertulis dalam UU 7/2017 bahwa pencalonan perempuan tiap daerah pemilihan adalah sekurang-kurangnya 30%.

Ketentuan PKPU 10/2023 itu telah dikoreksi oleh MA melalui Putusan MA No.24 P/HUM/2023 pada 29 Agustus 2023. Putusan tersebut memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal tersebut karena bertentangan dengan UUD, UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, dan UU Pemilu. Namun, sampai dengan ditetapkannya DCT, KPU mengabaikan perintah MA.

Dari semua itu, faktor ketangguhan para perempuan politik diyakini menjadi sebab peningkatan persentase keterwakilan perempuan DPR. Sebab, hampir semua partai politik peserta Pemilu 2024 tidak menjamin pencalonan 30% keterwakilan perempuan di tiap daerah pemilihan.

Ketentuan pembulatan ke bawah persentase pencalonan perempuan PKPU 10/2023 berdampak pada tidak terpenuhinya jumlah minimal perempuan 30% di daerah pemilihan beralokasi kursi 4, 7, 8, dan 11. Yang seharusnya, angka 22,1% keterpilihan perempuan DPR, bisa lebih tinggi lagi.

Melawan ketidaksetaraan

Perludem merinci hasil Pemilu DPR bahwa, capaian 22,1% keterwakilan perempuan DPR itu berasal dari sejumlah daerah pemilihan dengan total 84 daerah pemilihan. Misal, ada 20 daerah pemilihan yang persentase keterpilihan perempuannya 30-50%. Lalu, ada lima daerah pemilihan yang persentase keterpilihan perempuanya di atas 50%. Bahkan satu daerah pemilihan Bengkulu, persentase keterpilihan perempuannya mencapai 100%. Tapi, masih ada 16 daerah pemilihan yang tidak punya perempuan caleg yang terpilih masuk DPR.

Secara umum, mayoritas caleg terpilih merupakan caleg nomor urut 1. Total, ada 64% caleg terpilih merupakan caleg bernomor urut 1.

Meski capain keterpilihan perempuan belum menggambarkan kesetaraan daerah serta keberimbangan kontestasi nomor urut, ini semua merupakan buah dari perjuangan perempuan yang melawan ketidaksetaraan. Tanpa ketangguhan para perempuan politik, semua angka tersebut bisa jadi jauh lebih timpang.

Kita menyadari bahwa, ketakadilan politik lebih disebabkan budaya patriarki yang ada dalam masyarakat. Dominasi lelaki terhadap perempuan dalam dinamika masyarakat telah membentuk dan melanggengkan penetapkan ruang publik sebagai milik lelaki sedangkan ruang domestik sebagai tempat perempuan beraktivitas. Artinya, jika budaya patriarki masih kuat, suplai aspirasi dan keterwakilan dari masyarakat, akan sulit menciptakan pemerintahan adil, termasuk di parlemen.

Secara umum, perempuan sebagai peserta pemilu tidak lebih berdaya dibanding lelaki. Mulai dari aspek kesejahteraan ekonomi, pendidikan formal, dan pengetahuan politik. Keadaan ini bisa lebih membuat perolehan suara perempuan diambil oleh lelaki caleg.

Itu pun berlaku bagi perempuan sebagai pemilih. Di aspek kesejahteraan ekonomi, pendidikan formal, dan pengetahuan politik, perempuan pemilih lebih rentan dibanding lelaki. Perempuan pemilih rentan terkena politik uang, kriminalisasi, dan kehilangan hak pilih.

Buah keyakinan

Ketangguhan perempuan politik tersebut merupakan buah dari keyakinan kuat terhadap demokrasi. Bisa dibilang, perempuan merupakan identitas politik warga yang paling banyak terlibat dalam kehidupan bernegara. Bermulai dari politik domestik tapi banyak mempengaruhi kebijakan publik.

Sebelum Indonesia merdeka, identitas perempuan sudah solid hadir dalam demonstrasi dan kongres. Hari Ibu yang diperingati secara kultural adalah salah satu jejak capaian politik perempuan yang pernah formal diselenggarakan negara. Partai politik perempuan memang belum pernah eksis berbadan hukum tapi sejak dulu hingga sekarang, politik perempuan yakin terhadap kelembagaan partai politik dalam berdemokrasi. Sehingga, pendidikan dan kaderisasi gerakan politik perempuan salah satunya bertujuan untuk mengutus ragam individu perempuan ke partai politik.

Setelah melibatkan diri pada fase kemunduran Soeharto, gerakan politik perempuan juga aktif mempengaruhi amendemen konstitusi pasca-Reformasi. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mempunyai ketentuan afirmatif bagi warga negara. Pasal 28H Ayat (2) berbunyi: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal konstitusional ini menjadi dasar kuat ketentuan afirmatif dalam undang-undang yang digunakan banyak kelompok marjinal lainnya.

Pasal undang-undang dasar itu juga menjadi dasar ketentuan afirmatif dalam undang-undang politik. Kuota/kehadiran perempuan dalam undang-undang pemilu, undang-undang penyelenggara pemilu, undang-undang partai politik, dan lainnya, berhasil konkret dicapai gerakan politik perempuan.

Pada Pemilu 2024, dasar hukum kuat itu malah dilanggar oleh KPU melalui KPU. Beruntungnya, pelanggaran konstitusional itu tidak sampai menghancurkan politik perempuan. Karena nyatanya, perempuan punya ketangguhan politik berdasar keyakinan kuat terhadap demokrasi. []

USEP HASAN SADIKIN