Ketua Panitia khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu, Muhammad Lukman Edy, mengatakan bahwa semua fraksi di parlemen menyetujui ketentuan ditingkatkannya sanksi pidana. Ringannya ketentuan sanksi pidana di dalam RUU Pemilu dikhawatirkan tidak mampu mencegah terjadinya tindak pidana pemilu oleh peserta pemilu.
“Satu hal yang bisa kita sepakati pada RDP (rapat dengar pendapat) hari ini, sanksi pidana akan kita tingkatkan,” kata Lukman, pada RDP di Senayan, Jakarta Selatan (18/1).
Kesimpulan di akhir RDP tersebut dipertimbangkan atas masukan dari tiga profesor hukum Universitas Indonesia, yakni Surya Jaya, Dian Puji Simatupang, dan Harkristuti Harkrisnowo. Surya berpendapat bahwa sanksi pidana pemilu perlu ditingkatkan, sebab kultur masyarakat Indonesia yang masih tak taat hukum, tak akan takut pada sanksi pidana pemilu yang ringan, yakni hukuman penjara paling lama satu tahun.
“Kalau ancaman pidana ringan, akan banyak yang ngelanggar. Apalagi pemilu ini banyak kepentingan, jadi banyak dorongan untuk melakukan pelanggaran,” jelas Surya.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Harkristuti yang mengatakan bahwa substansi hukum pidana, yakni, memberikan nestapa kepada pelanggaranya. Namun, dalam hukum kepemiluan, sanksi pelanggaran administrasi lebih berat dari sanksi pelanggaran pidana, sehingga sanksi administrasi lebih ditakuti. Pansus, menurut Harkristuti, mesti merumuskan kembali tujuan hukum pidana pemilu.
“Pansus perlu mempertimbangkan tujuan memberlakukan hukum pidana dalam ranah pemilu. Apakah pelanggaran yang dikategorikan sebagai pelanggaran pidana pemilu itu mengancam secara sosial dan tidak dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat? Ini perlu dikaji,” kata Harkristuti.
Ringannya sanksi pidana pemilu yang tertuang di dalam RUU Pemilu pernah disinggung sebelumnya oleh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie (7/12). Peserta pemilu dinilai tak takut pada ketentuan hukum pidama pemilu. Namun, berbeda dengan Surya, Jimly mengusulkan agar Pansus merubah ketentuan tindak pidana pemilu sebagai tindak pidana biasa, sehingga penanganan pelanggarannya diselesaikan oleh pihak kepolisian dan Mahkamah Agung (MA).