August 8, 2024

Keuangan Partai Politik dan Dorongan Reformasi Regulasi

Laporan dana kampanye merupakan salah satu dari banyak permasalahan dalam pemilu di Indonesia, yang setiap usai penyelenggaraan pemilu, dinilai sebagai salah satu yang kurang jujur. Regulasi dana kampanye bermasalah, pengawasan terhadap dana kampanye tak cukup memberikan jaminan bahwa setiap kandidat yang tak jujur layak didiskualifikasi. Masalah-masalah itulah yang membuat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyelenggarakan sebuah konferensi regional khusus bertema keuangan partai politik, termasuk di dalamnya dana kampanye. Dalam rangkaian konferensi, salah satu diskusi (24/9) menyorot masalah dana kampanye di Indonesia.

Potret dana kampanye di Pemilu Indonesia

Dalam presentasinya, peneliti Perludem, Heroik Pratama menjelaskan, ada tiga sumber pendanaan kampanye dalam pemilu Indonesia, yaitu kandidat, partai politik, dan swasta. Swasta termasuk individu dan badan hukum yang memberikan sumbangan. Besaran maksimal sumbangan yang dapat diberikan oleh pihak swasta berbeda di Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Partai Politik.

Di Pemilu 2014 dan 2019, mayoritas kampanye kandidat didanai oleh besaran rekening masing-masing kandidat. Jika di Pemilu 2014 besaran persentasenya 85,10 persen, di Pemilu 2019 sedikit turun menjadi 84,71 persen. Dana dari partai politik menjadi sumber terbesar kedua untuk kampanye para kandidat, yakni 11 persen di Pemilu 2014, dan 13,4 persen di Pemilu 2019. Secara berurutan, 2,67 persen (2014) dan 0,64 persen (2019) dana kampanye berasal dari perusahaan swasta, 0,67 persen (2014) dan 0,4 persen (2019) dari kelompok, dan 0,56 persen (2014) dan 0,84 persen (2019) dari perorangan.

Heroik juga menyampaikan adanya hubungan antara sistem pemilu proporsional daftar calon dengan jumlah dana kampanye yang dikeluarkan. Variabel nomor urut sangat mempengaruhi besaran dana kampanye para kandidat.

Nomor urut kandidat Total dana kampanye kandidat Rata-rata dana kampanye kandidat
1 549,024,901,722 758,321,687
2 293,200,116,643 405,532,665
3 166,104,400,504 230,380,583
4 183,071,359,918 257,295,278
5 150,467,229,788 243,081,147
6 70,610,476,981 117,488,314
7 65,579,136,779 141,639,604
8 46,820,713,040 139,347,360
9 25,302,417,692 143,763,737
10 18,135,909,941 185,060,306

“Jadi, kandidat di nomor urut 1 cenderung mengeluarkan dana kampanye lebih besar dibandingkan dengan kandidat di nomor urut lainnya. Dan, kalau kita lihat keterpilihan calon berdasarkan nomor urut, memang kandidat nomor urut 1 jauh lebih banyak terpilih daripada kandidat dengan nomor urut lain,” terang Heroik.

Pada Pemilu 2009, 62,1 persen kandidat nomor urut 1 terpilih. Pemilu 2014, 64,96 persen. Pemilu 2019, 63,48 persen.

Menentukan kembali batas sumbangan dana kampanye

Berdasarkan data International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), terdapat tiga jenis formula untuk menghitung batas sumbangan dana kampanye, yaitu jumlah tetap, sebagaimana diterapkan di Italia dan Prancis, upah minimum yang berlaku, dan pengeluaran dana kampanye di pemilu sebelumnya. Perludem telah mensimulasikan formula penghitungan batas sumbangan dana kampanye, kesimpulannya, batasan sumbangan dana kampanye ideal jika didasarkan pada upah minimum regional.

“Pembatasan sumbangan dana kampanye untuk Indonesia yang direkomendasikan adalah berdasarkan upah minimum regional,” ujar Heroik.

Banyak masalah dalam pelaporan dana kampanye

Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Fritz Edward Siregar mengungkapkan sejumlah permasalahan dalam dana kampanye partai politik. Bawaslu yang diberikan wewenang untuk mengawasi dana kampanye dan mengecek validitas laporan dana kampanye, menemukan adanya transfer donasi berulang, transaksi yang dipecah agar tak melebihi batas yang diatur oleh UU Pemilu dan UU Pilkada, masih adanya transaksi kampanye yang dilakukan di luar rekening khusus dana kampanye, dan jumlah pengeluaran dana kampanye yang sangat sedikit. Padahal, Pasal 496 dan 497 UU Pemilu telah memberikan sanksi bagi peserta pemilu dan kandidat yang melaporkan dana kampanye secara tidak benar. Bagi peserta pemilu, sanksi berupa pidana penjara maksimal satu tahun dan denda paling banyak 12 juta rupiah. Sementara bagi kandidat, pidana penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.

“Bawaslu menemukan ada calon yang dinominasikan, tetapi nominal pelaporan dana kampanye sangat rendah. Nah, hal ini tentu menimbulkan pertanyaan terkait akuntabilitas laporan dana kampanye,” kata Fritz.

Fritz juga menyoroti masih adanya fleksibilitas dalam tenggat waktu penyerahan laporan dana kampanye. Proses audit oleh auditor pun membuka celah lantaran auditor yang dipekerjakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan auditor yang menangani banyak area. Terlebih, Bawaslu juga belum diberikan akses terhadap Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam).

“Auditor menangani banyak area sehingga harus dipertimbangkan beban kerja auditor. Harus dipastikan auditor yang telah di-blacklist tidak ditunjuk,” ungkap Fritz.

Dilema partai politik

 

Politik membutuhkan uang, baik untuk kegiatan operasional partai, kaderisasi, maupun pengelolaan basis massa di daerah pemilihan (dapil). Mengorganisir partai politik di Indonesia tidaklah murah. Wilayah Indonesia yang besar dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 200 juta memerlukan biaya besar. Kondisi inilah yang membuat partai politik dilema, karena di sisi lain, kebutuhan uang yang besar memaksa partai untuk bergantung pada sumbangan dari pihak ketiga. Sumbangan tersebut kerap mengganggu independensi partai dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Mengacu pada persoalan tersebut, anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menekankan pada pentingnya intervensi regulasi untuk memaksa partai bersikap transparan, akuntabel, dan tetap dapat mempertahankan independensi partai sebagai institusi demokrasi terpenting. Salah satu aturan yang perlu ditegaskan ialah batasan sumbangan kepada partai politik, dan bantuan dana partai oleh negara.

“Ketika kita mendorong transparansi dan akuntabilitas, keuangan partai politik menjadi ranah internal partai. Nah, transparansi dan akuntabilitas bukan budaya yang terinternalisasi dalam partai politik. Oleh karena itulah, perlu ada pembatasan jumlah donasi yang dapat diterima oleh partai politik, dan bantuan dana dari pemerintah. Meningkatkan dana negara untuk parpol juga merupakan upaya untuk menghindari dominasi pengaruh pemilik modal dalam mengendalikan struktur parpol,” urai Titi.

Selain itu, Titi juga menyoroti ketiadaan institusi yang mengawasi keuangan partai politik. Bawaslu hanya diberikan wewenang untuk mengawasi dana kampanye. Alhasil, pelaporan dana politik hanya menjadi formalitas untuk memenuhi aturan hukum. Laporan keuangan dan dana kampanye juga absen dari perhatian pemilih, tak menjadi referensi dalam menentukan pilihan.

Bantuan dana partai untuk tingkatkan keterwakilan perempuan

Salah satu yang didorong oleh para pegiat pemilu dan aktivis perempuan di Indonesia ialah bantuan keuangan partai untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Afirmasi keuangan dipandang penting untuk perempuan calon, sebab banyak perempuan yang tak memiliki sumber daya modal untuk bertarung di pemilu atau pemilihan kepala daerah.

“Kekurangan akses pada keuangan merupakan tantangan terbesar bagi perempuan untuk masuk ke arena politik,” pungkas politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lena Maryana Mukti.

Ada tiga model afirmasi yang ditawarkan oleh Lena. Pertama, dana negara untuk partai yang dialokasikan untuk meningkatkan kesetaraan gender dan kegiatan pemberdayaan perempuan di partai. Kedua, kewajiban pelaporan keuangan partai yang dialokasikan untuk kesetaraan gender, sebelum bantuan dana negara dikirimkan ke rekening partai. Ketiga, adanya persentase bantuan dana partai yang diwajibkan untuk membentuk dan menjalankan organisasi sayap perempuan partai.

“Saya mendukung proposal yang mengatur pengeluaran partai, juga kerangka hukum yang mengatur keuangan partai. Ketika kita bisa mengatur agar partai mematuhi peraturan, demokratisasi di Indonesia akan masuk ke jalur yang benar,” tegas Lena.