August 8, 2024

Kini Kita Cerita Tentang Masyarakat Sipil Hari Ini

“Masyarakat sipil sempat terseok-seok menghadapi kondisi internal yang semakin mengecil. Saat kita berkaca kepada teman-teman yang lain, misalnya Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), bersama lembaga lain termasuk SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi) misalnya, juga di-support oleh teman-teman kampus, itu meyakinkan kita bahwa ada peran-peran yang diambil oleh teman-teman, yang membesarkan hati kami di KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilihan),” urai Sekretaris Jenderal KIPP, Kaka Suminta, pada diskusi “Kontribusi Masyarakat Sipil dalam Reformasi Elektoral Indonesia” yang diselenggarakan oleh Perludem pada Kamis (20/8).

Cerita Kaka mengenai tantangan masyarakat sipil hari ini melengkapi cerita mantan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini terkait kondisi masyarakat sipil. Bahwa demokrasi prosedural Indonesia yang telah dinilai cukup baik oleh dunia internasional di sisi lain membuat masyarakat sipil kesulitan secara pendanaan. Ada pengalihan dana demokrasi ke negara-negara yang demokrasi proseduralnya belum baik.

Namun meski demikian, masyarakat sipil terbukti telah banyak menorehkan kontribusi terhadap reformasi elektoral Indonesia. Sejak awal Reformasi 1999 hingga hari ini, masyarakat sipil menunjukkan peran aktifnya dalam mengawal demokrasi dan pemilu di tanah air.

Pengalaman Perludem

Perludem merupakan organisasi masyarakat sipil yang muncul pasca pemantauan Pemilu 2004. Didirikan oleh para mantan pemantau pemilu, yakni Bambang Wijayanto, Iskandar Sondhaji, Budi Wijarjo, Andi Nurpati, Didik Supriyanto, Topo Santoso, Nur Hidayat Sardini, dan Siti Noordjannah Djohantini. Perludem yang semula berbadan hukum perkumpulan berubah pada 2011 menjadi yayasan.

Sejak bertransformasi menjadi yayasan, Perludem bekerja untuk empat ranah, yakni mendorong reformasi elektoral melalui pembuatan kaidah hukum, mendorong kelembagaan aktor-aktor elektoral yang mencerminkan komitmen dalam reformasi, mendorong penegakan hukum yang berkontribusi pada penguatan demokrasi dan keadilan pemilu, dan penguatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemilu dan demokrasi yang partisipatoris.

“Dari empat sektor yang kami kerjakan, core Perludem adalah advokasi. Dari situ berkembang ke pengkajian dan riset,” kata Titi.

Dalam melakukan advokasi kebijakan, Perludem menggunakan berbagai saluran yang tersedia. Selain advokasi langsung Kodifikasi UU Pemilu ke Pemerintah dan DPR bersama masyarakat sipil lainnya, Perludem juga melakukan pengujian undang-undang dan peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Tak luput pula, turut serta dalam perumusan pembuatan Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu. Bahkan, petisi daring pun kerap dilakukan untuk menjaring dukungan masyarakat terhadap isu-isu yang diadvokasi.

Sejak 2012 hingga 2020, Perludem telah mengajukan 17 pengujian UU ke MK. 16 pengujian telah diputus dan 1 masih berproses. Dari 16 pengujian yang telah diputus, 2 dikabulkan seluruhnya, 5 dikabulkan sebagian, 4 ditolak, dan 5 tidak dapat diterima.

Bertahan selama 15 tahun bukanlah hal mudah bagi sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergelut di bidang kepemiluan. Biasanya, kata para pemerhati pemilu, hanya bertahan dua kali pemilu.

Panjang umur Perludem ditopang oleh empat hal. Pertama, jaringan masyarakat sipil nasional, regional, dan internasional. Kedua, lembaga donor. Ketiga, media. Keempat, individu pro demokrasi.

“Kami juga mendapatkan penguat yang sangat luar biasa dengan adanya jejaring, baik domestik maupun internasional. Jejaring sesama masyarakat sipil. Perludem adalah anggota ANFREL (Asian Network for Free Election), bekerja aktif dengan Internasional IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), dan organisasi internasional lainnya,” tukas Titi.

Selama 2006 hingga 2020, 38 buku telah ditulis dan dipublikasi oleh Perludem. Topik seputar hasil evaluasi pemilu dan pilkada, sistem pemilu, keuangan politik dan dana kampanye, hukum pemilu, kelembagaan penyelenggara pemilu, keterwakilan perempuan, hak pilih kelompok marginal, partisipasi masyarakat sipil, open data, dan teknologi pemilu, dipilih untuk memperbaiki demokrasi elektoral Indonesia.

Mitra strategis KPU

Ketua KPU RI, Arief Budiman mengatakan bahwa selama ini, masyarakat sipil menjadi mitra strategis KPU dalam mendorong pemilu berintegritas. Masyarakat sipil terlibat aktif dalam kegiatan uji publik PKPU, riset dan penulisan buku, advokasi isu-isu pemilu, sosialisasi pemilu, pelatihan, dan pendidikan pemilih.

“Kita sering minta penulis dan narasumbernya dari teman-teman masyarakat sipil. Kalau kita melakukannya sendiri, ada ruang-ruang yang kita tidak paham, yang sebetulnya teman-teman masyarakat sipil punya penglihatan lebih dalam. Itulah kenapa kami merasa teman-teman masyarakat sipil perlu dilibatkan bukan hanya di tahapan pemilu, tapi juga non tahapan,” pungkas Arief.

Masyarakat sipil jangan mengerdil

Capaian dan konsistensi masyarakat sipil untuk mendorong reformasi elektoral dan pemilu yang demokratis dan berintegritas menjadi cerita yang heroik di tengah keterbatasan sumber daya. Kini kita cerita tentang masyarakat sipil hari ini, yang diharapkan mampu mengimbangi kekuatan negara dengan segala sumber dayanya. Peran negara makin besar, tak boleh gerakan masyarakat sipil mengerdil.

Akademisi Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani, mendorong agar masyarakat sipil di bidang kepemiluan memperluas jaringan dengan masyarakat sipil yang bergerak di isu-isu demokrasi, lingkungan dan hak asasi manusia (HAM). Sesama masyarakat sipil mesti memperkuat ekosistem demokrasi guna membangun agenda setting dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dari oligarki, yang tak menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat.

“Capaian advokasi masyarakat sipil itu banyak. Sayangnya, evaluasi kritis, capaian advokasi kita itu sering berbenturan dengan agenda elektoral partai politik. Makanya, perlu ada kepemimpinan dalam mengarahkan agenda setting, yang selama ini lebih dominan diarahkan oleh elit politik. Kita selama ini hanya merespon apa yang mereka bikin, bukan kita men-direct agenda setting,” tandas Dani.

Pada 2015-2017, koalisi masyarakat sipil menyusun Kodifikasi UU Pemilu. Kodifikasi ini diadvokasikan ke seluruh fraksi di DPR RI. Sayangnya, hanya sedikit usulan Koalisi yang diakomodasi di dalam UU Pemilu No.7/2017. Salah satunya yakni definisi kampanye yang memasukkan citra diri.

Ada banyak capaian reformasi elektoral yang diupayakan masyarakat sipil yang bisa diceritakan pada hari ini. Memang, bukan tugas mudah saat regulasi kepemiluan dan demokrasi yang erat kaitannya dengan kepentingan ekonomi-politik para elit mendegradasi apa yang telah dicapai semenjak Reformasi. Tagar Reformasi Dikorupsi mengingatkan bahwa capaian reformasi bukanlah yang diberikan begitu saja oleh penguasa, melainkan yang direbut oleh rakyat bersama-sama. Semoga ada lebih banyak kisah tentang advokasi yang berubah jadi kebijakan untuk semua.